Pencegahan Kekerasan di Sekolah Belum Pernah Tuntas
Sejumlah siswa dan guru pelaku kekerasan di sekolah di berbagai daerah di Indonesia telah diberi sanksi dan pembinaan. Namun, langkah itu tidak cukup. Perlu pencegahan yang melibatkan guru, siswa, orantua, dan sekolah.
JAKARTA, KOMPAS- Kasus kekerasan di sekolah terus berulang karena program pencegahan belum dikaji dan diterapkan secara tuntas antara guru, orangtua, dan murid. Saat bersamaan, sebagian kalangan menganggap aneka bentuk kekerasan sebagai kejadian biasa.
Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo, saat dihubungi Jumat (14/2/2020), di Jakarta, mengatakan, kekerasan tidak semuanya meninggalkan luka fisik, seperti perudungan. Namun, kekerasan tetap permasalahan yang harus diatasi. Salah satu caranya, sekolah mengakui kekerasan sebagai permasalahan dan berusaha mengatasinya secara bersama.
"Kurikulum tidak bisa dipakai mencegah praktik kekerasan, seperti perundungan. Siswa, guru, dan orangtua harus duduk bersama membicarakan kekerasan sebagai permasalahan, lalu mencari solusi bersama-sama sampai tuntas," katanya.
Pekan ini, mencuat sejumlah kasus kekerasan di sekolah. Seorang guru berinisial I terekam memukul siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 12 Bekasi, Kota Bekasi, Jawa Barat. Video itu viral di media sosial. Di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, tiga siswa SMP Muhammadiyah di Kecamatan Butuh menjadi tersangka perundungan terhadap rekannya, CA (16). Dari Kota Malang, Jawa Timur, dilaporkan kasus perundungan tujuh siswa terhadap seorang siswa SMPN yang mengakibatkan ruas jari tengah korban harus diamputasi.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengemukakan, di tengah pertukaran informasi melalui internet, anak dan remaja kian mudah meniru perilaku orang lain, termasuk kekerasan. "Orangtua dan guru semestinya menjadi teman bercerita, tetapi kenyataannya tidak. Akibatnya, persoalan kekerasan, seperti perundungan, tidak mendapatkan solusi pencegahan," katanya.
Sekolah diharapkan mengembangkan konseling untuk mencegah kekerasan yang melibatkan guru dan murid. Jika diperlukan, sekolah dapat merujuk kepada psikolog.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengeluarkan Peraturan Mendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Peraturan menyebut, kekerasan ditanggulangi oleh sekolah, pemerintah daerah, dan Kemendikbud. Kementerian menyediakan kanal pelaporan di sekolahaman.kemdikbud.go.id. Pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk gugus pencegahan dan tim penanggulangan. Namun, penerapan Peraturan Mendikbud itu belum optimal.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Harris Iskandar, menyatakan prihatin atas berbagai kasus kekerasan di sekolah. Pemerintah daerah dan kepolisian kini menangani kasus-kasus itu. "Jika sekolah menerapkan Permendikbud No 82/2015, pencegahan lebih optimal. Terima kasih kepada media yang mengangkat isu kekerasan sehingga mendapat perhatian," ujar dianya.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menilai, kekerasan di sekolah terjadi karena adanya perilaku bermasalah dari siswa atau guru. Faktor lain, pemantauan dari sekolah masih kurang. “Itu (kekerasan) adalah kebodohan. Orang yang melakukan bullying (perundungan) tidak merasa melakukan dan hanya main-main saja. Ini tidak akan terjadi jika guru tidak lengah,” katanya saat ditemui di Jakarta, Jumat.
Itu (kekerasan) adalah kebodohan. Orang yang melakukan bullying (perundungan) tidak merasa melakukan dan hanya main-main saja.
Muhadjir mendesain sekolah agar membuat program pembelajaran dan pemantauan untuk mencegah terjadinya kekerasan. Pemerintah membentuk tim khusus yang memantau tindakan kekerasan dan perundungan di sekolah. “Sanksi tegas harus diberlakukan pada orang yang melakukan tindak kekerasan di sekolah. Kasus di Malang, misalnya, kepala sekolah langsung digeser,” ucapnya.