Layanan Rehabilitasi Anak Korban Kekerasan Tidak Tuntas
Anak-anak terus saja menjadi korban kejahatan, seperti kasus pornografi, kejahatan dunia maya, perdagangan orang, serta eksploitasi seksual. Kondisi kian parah karena sebagian korban tidak terehabilitasi sampai tuntas.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi perlindungan anak di Tanah Air pada 2019 hingga awal tahun 2020 belum membaik. Berbagai kekerasan menimpa anak-anak, terutama kasus pornografi, kejahatan dunia maya, perdagangan orang, serta eksploitasi seksual. Layanan rehabilitasi untuk korban pun masih kurang.
Penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2019 menemukan, layanan rehabilitasi anak-anak korban kejahatan tidak tuntas. Penelitian menggunakan 119 responden (pimpinan dan pelaksana rehabilitasi) di 23 provinsi. Penelitian KPAI dilakukan dengan 119 responden (pimpinan dan pelaksana rehabilitasi bagi anak korban) di 23 provinsi. Responden dari lembaga layanan di antaranya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Unit Pelayanan Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, rumah sakit umum daerah, lembaga bantuan hukum, Balai Rehabilitasi Sosial Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK), dan lembaga masyarakat.
”Hanya 48,3 persen hak rehabilitasi korban (anak) dilaksanakan tuntas. Penyebabnya, korban pindah, keluarga korban menolak, dan anggaran lembaga yang terbatas,” ujar Ai Maryanti Solihah, komisioner KPAI di Jakarta, Selasa (18/2/2020), saat menyampaikan Catatan Pelanggaran Hak Anak Tahun 2019 dan Proyeksi Pengawasan Perlindungan Anak Tahun 2020.
Hadir dalam acara itu Ketua KPAI Susanto bersama komisioner KPAI, yakni Rita Pranawati, Sitti Hikmawatty, Retno Listyarti, Margaret Aliyatul Maimunah, dan Jasra Putra.
Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty mengungkapkan, lembaga rehabilitasi memiliki batasan waktu dalam pelayanan. Jika batas waktu habis, sebanyak 37 persen lembaga mengembalikan korban kepada orangtua meski rehabilitasi belum tuntas. Sebanyak 37 persen lain memberika rujukan.
Menurut Susanto, rehabilitasi korban juga terhambat kurangnya anggaran dan sumber daya manusia dan jaringan. Pemerintah daerah harus memastikan anggaran untuk lembaga rehabilitas diperkuat, SDM berkualitas, dan mekanisme layanan berjalan.
KPAI melaporkan, terdapat 4.369 kasus pelanggaran hak anak sepanjang 2019. Jumlah itu menurun dibandingkan dengan 4.885 kasus tahun 2018. Menurut Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati, bukan kasus menurun, melainkan banyak lembaga layanan di daerah dan KPAD di kabupaten/kota sehingga laporan langsung di daerah.
Anak berhadapan dengan hukum
KPAI mencatat, kasus pelanggaran hak anak yang paling dominan pada 2019 adalah kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) sebanyak 1.251 kasus, pelanggaran hak anak dalam bidang keluarga dan pengasuhan alternatif (896 kasus), pelanggaran hak anak terkait pornografi dan cyber crime (653 kasus), serta pelanggaran hak anak terkait dengan kesehatan dan napza ( 344 kasus).
Terkait dengan kasus-kasus anak berbasis siber yang terus meningkat dan semakin kompleks, KPAI menilai perlu ada penguatan literasi digital kepada masyarakat. KPAI juga meminta pemerintah merevisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik yang dinilai belum responsif terhadap anak.
Anak-anak juga menjadi korban perdagangan orang dengan berbagai modus, termasuk eksploitasi seksual, seperti yang baru-baru ini terungkap di Jakarta. ”Monitoring kasus TPPO (tindak pidana perdagangan orang) periode Januari-Februari 2020, ada 63 anak jadi korban TPPO, mulai dari Papua, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bangka Belitung. Paling banyak dari Papua dan Jakarta,” kata Ai Maryati.