RUU Ketahanan Keluarga dinilai malah akan membuat rentan ketahanan suatu keluarga. Sebab, negara akan turut campur dalam urusan keluarga yang sebenarnya merupakan ranah pribadi pasangan suami istri.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Pekerjaan istri tak sekadar mengurus urusan rumah tangga di rumah. Keberadaan istri juga dapat membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Di era kesetaraan jender, istri juga memiliki hak untuk bekerja, mendapatkan uang, dan membantu pemenuhan kebutuhan keluarga.
Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga, istri berkewajiban mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Kewajiban ini tidak tertulis dalam rincian tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga. Karena urusan rumah tangga di rumah lebih banyak dibebankan kepada istri, mau tidak mau, istri harus lebih banyak di rumah. Kondisi ini tentu akan membatasi para istri yang ingin bekerja membantu keuangan keluarga.
Dalam Pasal 25 Ayat (3) RUU Ketahanan Keluarga dikatakan, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Selain itu, istri wajib menjaga keutuhan keluarga serta memperlakukan suami dan anak secara baik. Memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan juga menjadi kewajiban istri.
Sementara dalam Pasal 25 Ayat (2a) RUU Ketahanan Keluarga dikatakan, sebagai kepala keluarga, suami bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, serta bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga.
Rancangan aturan ini menuai kontroversi dari kalangan masyarakat. Desi (26), karyawan swasta di Jakarta, saat ditemui pada Kamis (20/2/2020) menyampaikan, urusan keluarga, termasuk memenuhi kebutuhan keluarga, merupakan tanggung jawab suami dan istri. Sebab, baginya, membangun rumah tangga memerlukan kerja sama.
Jika dirinci, penghasilan Desi bersama suami per bulan sekitar Rp 17 juta dan bisa menyisihkan untuk menabung sebanyak Rp 3 juta. Pengeluaran mereka digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kebutuhan anak yang baru berusia 9 bulan, dan untuk membayar cicilan.
”Ibaratnya, dua dapur lebih bagus daripada satu dapur. Lagi pula, sekarang, kan, istri kerjanya bukan cuma urus dapur, sumur, dan kasur. Istri juga bisa bekerja untuk membantu dalam hal keuangan, misalnya membeli kebutuhan anak,” kata Desi.
Desi pun berharap, baik pemerintah maupun DPR yang berwenang dalam RUU Ketahanan Keluarga memikirkan dampaknya bagi masyarakat luas. ”Apakah ada jaminan pemerintah memberikan tunjangan? Kalau ujung-ujungnya perempuan harus mengutamakan keluarga tanpa bekerja, itu berat,” ucapnya.
Harti (35), penjual gado-gado di Jakarta, menuturkan, ia tidak bisa membayangkan jika ada aturan yang mewajibkan istri hanya mengurus rumah tangga. Pasalnya, suaminyalah yang kini justru lebih banyak mengurus rumah tangga dan sesekali membantunya berjualan.
”Kalau mengandalkan suami, pasti berat. Kecuali suami bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga. Apalagi sekarang anak ada tiga dan masih kecil-kecil (usia 5 tahun, 7 tahun, dan 16 tahun),” kata Harti.
Pendapatan bersih Harti per bulan dari berjualan gado-gado berkisar Rp 6 juta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Kemunduran
Pengurus Perhimpunan Rahima, Masruchah, menyampaikan, RUU Ketahanan Keluarga merupakan kemunduran dari kesetaraan jender yang selama ini diperjuangkan. Kewajiban perempuan yang hanya berada di ruang domestik sudah tidak relevan dengan keadaan saat ini.
RUU Ketahanan Keluarga merupakan kemunduran dari kesetaraan jender yang selama ini diperjuangkan.
”Penyusun RUU ini tidak melihat dengan cermat naskah konstitusi atau sejumlah dokumen undang-undang lainnya, karena sebenarnya ketika bicara soal sejumlah aturan, itu sudah ada dalam aturan-aturan lain,” ujar Masruchah.
Misalnya, tentang pengasuhan anak sudah diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Indonesia. Apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga, negara pun dapat memberi perlindungan melalui UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Masruchah pun mempertanyakan, apa sebenarnya tujuan dari RUU Ketahanan Keluarga, apakah untuk melengkapi undang-undang lainnya dengan benar atau hanya untuk mencari sensasi. Sebab, RUU ini akan mengondisikan negara untuk mengintervensi urusan dalam keluarga yang merupakan ranah pribadi.
”Kok, negara mau ikut campur dalam urusan sosial personal, urusan ranah keluarga. Nanti di mana kebebasan dan kemerdekaan jika semua diurusi? Di satu sisi kita bicara kebebasan bagi setiap warga negara, tetapi, kok, jadi mengintervensi urusan pribadi?” kata Masruchah.
Pengawas Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Budi Wahyuni, menilai, ketidaksetaraan jender akan membuat perempuan semakin terpuruk. Urusan domestik seharusnya menjadi urusan suami istri, bukan urusan negara.
Untuk itu, Budi mendorong agar naskah akademik kembali dipelajari secara komprehensif. ”Jangan hanya mengacu pada satu aspek. Kita harus melihat, apakah benar ketahanan keluarga itu seperti yang dimaksudkan dalam pasal tersebut, karena tidak tertutup kemungkinan, kuncinya ada di komunikasi,” katanya.
Menurut Budi, ketahanan keluarga dapat diwujudkan jika keluarga memiliki nilai-nilai yang dianggap penting dan berkomitmen untuk menegakkannya. Nilai setiap keluarga bisa saja berbeda, tetapi yang terpenting adalah bagaimana membangun komunikasi untuk menyepakati nilai-nilai tersebut.
”Jadi, bukan negara yang mengatur ranah keluarga. Ketahanan keluarga itu adalah keluarga yang akan mendiskusikan kalau ada gempuran masalah sehingga mencapai kesepakatan berdasarkan nilai-nilai yang mereka pegang,” ujar Budi.
Untuk diketahui, RUU Ketahanan Keluarga diusulkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 dan masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020.