Hingga kini, Indonesia kekurangan guru unggul yang mampu menggerakkan pendidikan berkualitas. Pemerintah berusaha menggelar berbagai pelatihan untuk mengembangkan guru penggerak.
Oleh
CAECILIA MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggandeng organisasi masyarakat sipil untuk bekerja sama mengembangkan tenaga pendidik yang berkualitas unggul. Mereka nanti diharapkan menjadi guru penggerak yang memelopori kemajuan pendidikan di daerah masing-masing.
”Guru penggerak adalah gurunya guru. Guru penggerak biasanya datang dari daerah yang sama. Hampir semua kabupaten mengalami kesulitan guru berkualitas unggul sehingga kalau mencari, sekolah tidak bisa sebatas mengandalkan hasil tes,” ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR, Kamis (20/2/2020), di Jakarta.
Nadiem mengatakan, paradigma pendidikan perlu berubah 180 derajat. Program pelatihan guru dari semula dilakukan mandiri kini dapat menggandeng organisasi nirlaba yang selama ini bergelut memperbaiki pendidikan secara mandiri. Metode pelatihannya pun bisa dikemas sesuai dengan kebutuhan sekolah.
”Harapannya, guru, pengawas, dan kepala sekolah di satu instansi pendidikan tertentu menciptakan sendiri metode belajar-mengajarnya. Nanti terbuka ruang saling berkompetisi menciptakan sekolah unggulan,” katanya.
Pelatihan guru penggerak akan dimulai tahun 2020. Seleksi guru penggerak berasal dari luar dan dalam. Guru penggerak mengajar salah satunya dimunculkan dari program Pendidikan Profesi Guru (PPG), yang disebut program Guru Merdeka.
Sebanyak 35.000 guru dilatih di Balai Guru Merdeka. Pelatihan digelar Kemendikbud dengan berkolaborasi bersama sekolah, orangtua, masyarakat, dan organisasi. Kemendikbud juga menyiapkan sejumlah strategi memperbaiki kualitas guru. Misalnya, pengembangan model PPG inovatif dan revisi kurikulum PPG.
”Kami masih menggodok kebijakan Merdeka berikutnya yang menyasar guru, tetapi ini butuh waktu panjang,” kata Nadiem.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Golongan Karya, Mujib Rohmat, mengatakan, persoalan guru di Indonesia tidak semata-mata menyangkut distribusi, tetapi juga kualitasnya.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Zainuddin Maliki, secara khusus menyorot karakter kebanyakan tenaga pendidik. Sebagian dari mereka mengarahkan siswa agar berorientasi pada hasil, seperti nilai tinggi dalam ujian nasional.
Berdasarkan data Kemendikbud, jumlah guru berstatus aparatur sipil negara (ASN) saat ini 1,786 juta orang, guru/pendidik tidak tetap yayasan 927.428 orang, guru/pendidik tidak tetap provinsi 20.015 orang, guru/pendidik tidak tetap kabupaten/kota 215.467 orang, guru bantu pusat 3.085 orang, dan guru honor sekolah 1,07 juta orang.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim saat dihubungi terpisah memandang, program PPG selama ini tidak berjalan efektif. Perguruan tinggi pelaksana PPG lebih banyak memberikan teori. ”Sejumlah guru peserta kerap mengeluhkan proses pelaksanaan PPG yang terkesan formalitas,” ujarnya.
IGI menyarankan agar PPG dikemas langsung oleh Kemendikbud dibandingkan dengan ditangani perguruan tinggi. Misalnya, dibuat program profesi untuk mencetak guru profesional. PPG sebaiknya tidak ditangani perguruan tinggi, tetapi dibuat program profesi guru khusus oleh Kemendikbud yang memang disiapkan untuk membuat guru jadi profesional.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menjelaskan, Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjadi alasan di balik kemunculan program PPG sebelum dan sesudah guru menjabat.
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat. Kompetensi wajib dilalui dengan mengikuti pendidikan profesi.
Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga pendidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah.
Pada tahap sebelum menjabat, calon pendidik wajib berasal dari sarjana atau diploma empat pendidikan guru. Setelah lulus, mereka wajib mengikuti program PPG dan memperoleh sertifikat. Permasalahannya, kata Satriwan, calon pendidik yang sudah tersertifikat tidak langsung segera mengajar tetap dan ditempatkan. Akhirnya, mereka menjadi guru honorer dan tidak mendapat tunjangan.
Bagi pendidik yang telah menjabat, tetapi belum mengantongi sertifikat, mereka wajib mengikuti program PPG yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pada tahap ini pun menyimpan persoalan, yakni tidak semua kampus penyelenggara PPG dan tempat sertifikasi bermutu.
Untuk menyelenggarakan program PPG dan sertifikasi pendidik, perguruan tinggi haruslah Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) eks Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Dari 421 LPTK, hanya sekitar 18 di antaranya terakreditasi A.
”Memperbaiki mutu guru memerlukan rancangan induk. Jika hanya mengurusi PPG, kami rasa itu hanya memperbaiki bagian terkecil. Kalau perlu, UU No 14/2005 direvisi,” katanya.