Pemahaman Bias Jender Masih Mewarnai Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan ruang ideal untuk menyemai kesadaran yang menempatkan laki-laki dan perempuan secara adil. Namun, pemahaman bias jender, dengan laki-laki lebih dominan, justru masih mewarnai dunia kampus.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Perguruan tinggi berperan penting dalam memperkuat pemahaman yang menempatkan secara adil antara lelaki dan perempuan. Namun, hingga kini pemahaman yang bias jender justru masih mewarnai perguruan tinggi. Itu terlihat dari referensi pembelajaran, metode, serta pemaparan dalam proses pembelajaran.
Kondisi tersebut memengaruhi cara pandang, orientasi, sikap, dan pengambilan keputusan para mahasiswa yang lebih mengunggulkan lelaki ketimbang perempuan. Lelaki ditempatkan lebih dominan di ruang publik, sementara perempuan diarahkan pada urusan domestik. Jika dibiarkan, hal itu bakal berdampak pada ketidakadilan jender dalam pembangunan di Indonesia.
”Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, perlu dilakukan upaya peningkatan kualitas pendidikan yang berkeadilan dan berkesetaraan jender. Salah satunya melalui penyusunan bahan ajar yang responsif jender,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati pada Peluncuran dan Bedah Buku Mata Kuliah Responsif Jender di kantor Kementerian PPPA, Kamis (5/3/2020).
Ada 11 buku yang diluncurkan siang itu. Kesebelas buku tersebut adalah Ilmu Dakwah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bahasa Indonesia, Relasi Gender dalam Agama-agama, Gender dan Pembangunan, Fiqh An-Nisa, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, Pancasila, Hukum Pidana Islam, Studi Al Quran, dan Sejarah Peradaban Islam. Buku-buku tersebut disusun Kementerian PPPA bersama Kementerian Agama, UIN Surabaya, UIN Mataram, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ini bagian dari upaya mendorong pengarusutamaan jender dalam kurikulum di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Darmawati berharap, penyusunan bahan ajar yang responsif jender akan membentuk pola pikir mahasiswa, membentuk tingkah laku keseharian yang nondiskriminatif, adil, setara, serta memperhatikan aspek kebutuhan laki-laki dan perempuan. ”Harus diakui bahwa pendidikan merupakan ruang yang strategis dalam pembangunan kualitas manusia, terutama perempuan, sehingga berdampak positif pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) di Indonesia,” katanya.
Buku mata kuliah yang berorientasi kesetaraan jender sangat penting dipelajari oleh para mahasiswa di perguruan tinggi. Hingga kini, masih ditemui internalisasi nilai-nilai yang kurang responsif jender dalam pembelajaran. Ini berpotensi menghambat pemberdayaan perempuan.
Darmawati juga berharap, kerja sama Kementerian PPPA dengan perguruan tinggi tidak hanya berhenti pada lahirnya buku-buku mata kuliah responsif jender, tetapi menjadi awal gerakan bersama dalam mewujudkan komitmen bersama mengarusutamakan jender dalam pendidikan tinggi di Tanah Air.
”Besar harapan saya bahwa buku-buku ini dapat membantu seluruh sivitas akademika, baik pengajar maupun mahasiswa, untuk dapat lebih memahami dan menginternalisasi nilai-nilai penting kesetaraan jender dan dapat menularkannya lebih lanjut kepada masyarakat luas,” katanya.
Peluncuran buku mata kuliah responsif jender dilanjutkan dengan bedah buku dengan menghadirkan sejumlah narasumber. Mereka antara lain KH Husein Muhammad (pemimpin Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon/mantan anggota Komnas Perempuan), Siti Musdah Mulia (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Imam Nahei (komisioner Komnas Perempuan).
Husein Muhammad menyatakan, Indonesia sesungguhnya adalah negara yang sangat maju untuk isu jender. Ia mencontohkan, kita sudah memiliki perempuan presiden, perempuan legislatif, bahkan ada perempuan menjadi hakim di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Indonesia juga memiliki UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan sejumlah undang-undang lain.
Namun, kata Husein, masih ada sejumlah masalah lain yang berkaitan dengan posisi perempuan di Tanah Air. Misalnya, soal status, hingga kini perempuan belum boleh menjadi kepala keluarga karena suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Selain itu, perempuan belum boleh menikahkan dirinya sendiri meskipun dirinya berpendidikan, termasuk menjadi saksi untuk perkawinan dirinya sendiri.
Soal buku-buku yang diluncurkan, meski mengapreasi penulisan buku-buku tersebut, Imam Nahei menyarankan perlu dilakukan beberapa perbaikan isi dari beberapa buku. Salah satunya memperbaiki kesalahan terjemahan.