Penerapan kebijakan pembatasan sosial dan bekerja dari rumah bisa menimbulkan beban berlapis bagi perempuan sebagai ibu dan perempuan pekerja. Pembagian peran dengan pasangan menjadi kunci untuk mengurangi beban itu.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah dalam menyikapi situasi darurat terkait antisipasi virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 melalui pembatasan sosial (social distancing), termasuk mendorong kebijakan kerja dari rumah dan belajar dari rumah, dikhawatirkan berdampak besar bagi perempuan. Kondisi ini membuat perempuan menghadapi beban berlapis, terutama posisi perempuan dalam keluarga sebagai ibu dan perempuan pekerja.
”Saat berada di rumah, ketika kerja domestik tertumpuk pada perempuan dan asupan gizi untuk perempuan terbatas, kondisi ini dapat menyebabkan kelelahan fisik dan psikis perempuan sehingga mereka semakin rentan terinfeksi Covid-19,” kata Siti Aminah Tardi, komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), di Jakarta, Jumat (27/3/2020).
Saat berada di rumah, ketika kerja domestik tertumpuk pada perempuan dan asupan gizi untuk perempuan terbatas, kondisi ini dapat menyebabkan kelelahan fisik dan psikis perempuan.
Siti Aminah bersama tiga komisioner Komnas Perempuan lainnya, yakni Rainy Hutabarat, Andy Yentriyani, dan Mariana Amiruddin, meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar menyerukan setiap keluarga menerapkan kesetaraan dan kerja sama dalam berbagi tugas di rumah, menyusul kebijakan pembatasan sosial yang disertai kerja dari rumah (KdR) dan belajar dari rumah (BdR).
”Menteri PPPA bisa menyerukan kepada tokoh masyarakat dan agama agar KdR dan BdR menjadi momen untuk saling berbagi peran pengasuhan, pendidikan, dan pekerjaan domestik antara suami, istri, dan anak,” kata Siti Aminah.
Hal itu disebabkan perempuan paling banyak menanggung dampaknya ketika semua anggota keluarga beraktivitas di rumah. Sebagai contoh, kebijakan BdR dapat berarti pelimpahan tugas guru kepada ibu. Itu akan menjadi beban tersendiri bagi seorang ibu, terutama ketika sekolah tidak menyediakan panduan cukup bagi orangtua untuk mendampingi anak dalam belajar. Apalagi ketika tugas BdR menggunakan teknologi informasi dan komunikasi di tengah kondisi keuangan keluarga terbatas.
Selain itu, menurut Mariana Amiruddin, kebijakan KdR dikhawatirkan berpotensi meningkatkan jumlah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menemukan sepanjang 2019, dari 14.719 kasus yang dilaporkan ke lembaga layanan, persentase terbesar adalah laporan soal KDRT/ranah personal, yakni 11.105 kasus (75 persen). Kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama (6.555 kasus) disusul kekerasan terhadap anak perempuan. Pelaku tertinggi adalah suami, ayah kandung, ayah tiri/angkat, dan paman.
”Gambaran kasus ini menunjukkan rumah bukan tempat aman bagi perempuan dan anak perempuan. Sementara itu, kebijakan KdR menyebabkan layanan penanganan korban mengurangi jenis layanan, cara mengakses layanan dan masa operasionalnya,” kata Andi.
Perempuan pekerja
Komnas Perempuan juga menyoroti, kebijakan KdR yang diterjemahkan dengan meliburkan pekerja disertai kebijakan pembayaran sebagian atau bahkan tanpa upah akan berdampak pada berkurangnya kesejahteraan pekerja. ”Bagi perempuan pekerja dengan penghasilan harian, kebijakan ini berarti kehilangan penghasilan karena ia tidak masuk kerja,” kata Siti Aminah.
Kebijakan KdR dan BdR juga dikhawatirkan meningkatkan kerentanan perempuan pekerja rumah tangga atau PRT. Sebab, kenyataannya pembatasan sosial tak berlaku bagi PRT, mereka bekerja tanpa perlindungan dari penularan Covid-19.
Tanpa payung perlindungan hukum dan jaminan kesehatan, pembatasan sosial membuat PRT rentan dieksploitasi dan menanggung tekanan fisik dan psikis sebagai imbas kehadiran penuh waktu seluruh anggota keluarga majikannya, termasuk akibat kecemasan pada penularan Covid-19.
Dampak kebijakan terhadap perempuan pekerja di sektor informal lainnya juga terpantau. Sebagai contoh, para perempuan di sektor informal, antara lain pedagang kecil di pasar tradisional seperti penjual jamu gendong dan keliling, perempuan yang bekerja di salon, perempuan pekerja pijat, berkurang penghasilannya akibat pembatasan sosial. ”Dalam kondisi tekanan ekonomi, perempuan lebih rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan,” kata Rainy.
Pegawai hamil
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengapresiasi komitmen Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang memprioritaskan karyawati dengan kondisi hamil untuk melaksanakan sistem bekerja dari rumah (work from home/WFH) di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.
”Penting perlindungan bagi karyawan perempuan dan anak yang dikandungnya. Ibu dan anak harus terlindungi dari bahaya paparan penyakit menular yang mengancam jiwa keduanya. Perlindungan bagi tumbuh kembang janin juga harus jadi prioritas utama mengingat hal ini sangat penting bagi masa depan generasi bangsa,” kata Bintang.
Terkait hal itu, semua kementerian/lembaga (K/L) dan perusahaan swasta diharapkan menerapkan hal serupa bagi para karyawati di lingkungan kerjanya. Hal ini harus dilakukan secara bersama-sama demi mencegah penyebaran Covid-19 yang penularannya sangat cepat. Saat ini, KPPPA menerapkan sistem bekerja dari rumah bergiliran bagi karyawan pada 16 Maret-31 Maret 2020.