Dampak Covid-19 Berimbas pada Pekerja Rumah Tangga
Para pekerja rumah tangga yang tetap bekerja setiap hari, terutama yang pergi-pulang, rentan terhadap penularan virus korona baru karena berangkat dan pulang kerja tanpa mengggunakan alat pelindung diri.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran virus korona baru penyebab Covid-19 juga berdampak pada pekerja sektor informal, khususnya perempuan pekerja rumah tangga. Selain kehilangan pekerjaan, sejumlah pekerja rumah tangga menghadapi risiko terjangkit Covid-19 karena tidak menggunakan alat pelindung diri.
Hingga Minggu (29/3/2020), pantauan dari survei daring yang dilakukan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) melalui Serikat PRT menemukan sejumlah laporan dari sejumlah PRT anggota Jala PRT terkait dampak coronavirus disease 2019 (Covid-19).
”Selama krisis Covid-19, teman-teman PRT menghadapi masalah, mereka mengalami berbagai persoalan,” ujar Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini.
Persoalan PRT antara lain pemutusan hubungan kerja tiba-tiba tanpa pesangon.
Menurut Lita, persoalan PRT antara lain pemutusan hubungan kerja tiba-tiba tanpa pesangon. Hal ini seperti dialami PRT yang bekerja pada ekspatriat yang pulang ke negaranya secara tiba-tiba. Ada juga PRT yang dirumahkan sementara tanpa dibayar atau dipotong upahnya.
Sementara itu, sejumlah PRT yang tetap bekerja setiap hari, terutama yang model pekerjaannya pergi-pulang (berangkat pagi-pulang sore), rentan terhadap penularan virus karena berangkat bekerja dan pulang tanpa mengggunakan alat pelindung diri (APD) yang memadai. Sebagian masih menggunakan angkutan umum karena jika menggunakan transportasi daring biayanya tinggi, sementara ongkos tidak diganti majikan.
”Para PRT kesulitan mengakses APD karena jarang ada dan kalaupun ada harganya naik. Sementara PRT tetap diminta majikan untuk berbelanja seperti biasanya,” kata Lita.
PRT juga berada pada situasi rentan karena sulit bagi PRT melindungi dirinya terkait situasi kerja di tempat majikan. Sebab, mereka tidak mengetahui kondisi kesehatan keluarga majikannya.
Kehilangan pekerjaan
Oom Umiyati dari Serikat PRT Sapulidi mengungkapkan, semenjak pandemi Covid-19, di serikat pekerjanya ada beberapa PRT yang kehilangan pekerjaan. Sejauh ini sudah lebih dari 10 PRT anggotanya yang melapor, tetapi kebanyakan malu menyampaikan. Padahal, sebagian besar PRT adalah tumpuan keluarganya di kampung.
”Majikannya pulang ke luar negeri, tanpa batas waktu. Ada yang dikasih haknya, ada juga yang tidak. Bahkan ada yang majikan pergi, tetapi belum bayar gaji PRT. Janjinya mau ditransfer, tetapi sampai sekarang belum juga dibayar dan putus komunikasi,” ujar Oom.
PRT juga mengalami perlakuan sepihak dari majikan yang takut akan Covid-19. Ada kasus seorang PRT terkena penyakit asam lambung, tetapi karena majikannya takut, saat membayar gaji hanya dioper melalui jendela.
Sebagian PRT saat ini masih bekerja seperti biasa. Oom, misalnya, masih bekerja pada ekspatriat asal Jepang. Senin-Jumat, jam kerjanya mulai pukul 08.30 hingga hingga pukul 17.30, kadang bisa sampai pukul 18.00. Oom berangkat menggunakan ojek daring karena majikannya tidak mau ambil risiko jika dia menggunakan angkutan umum. Biaya perjalanan dari rumahnya ke rumah majikan untuk ojek daring sekitar Rp 30.000.
”Di rumah majikan disiapkan pencuci tangan, tetapi masker saya beli sendiri,” kata Oom yang setiap saat meminta teman-temannya sesama PRT untuk tetap saling kontak. Dia juga meminta teman-teman PRT agar tetap sabar bekerja, saling membantu, dan saling menginformasikan kondisi kesehatan.
Perlu jaring pengaman sosial
Dalam kondisi seperti itu, menurut Lita, pemerintah perlu mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi pada rakyat kelas bawah akibat kebijakan penanganan wabah Covid-19. ”Setidaknya dibutuhkan jaring pengaman sosial yang kuat dan konkret agar dampak sosial ekonomi pada masyarakat bisa terkendali,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan program bantuan sosial yang bisa diakses mayoritas masyarakat lapisan bawah, seperti PRT. Sebab, mereka termasuk kelompok yang paling berisiko pada akses ekonomi karena kehilangan pendapatan baik karena PHK, dirumahkan, maupun gaji dipotong atau tidak dibayarkan.
Jika tidak ada bantuan sosial, kondisi perekonomian PRT akan semakin terpuruk, bahkan berisiko pada kecukupan kebutuhan kehidupan sehari-hari. Padahal, saat ini, sekitar 4,2 juta PRT menerima upah hanya berkisar 20-30 persen dari upah minimum regional. ”Padahal, 4,2 juta pekerja rumah tangga saat ini menjadi tulang punggung keluarga mereka,” ujar Lita.
Dari sisi pelayanan kesehatan, pemerintah juga perlu memperhatikan perlindungan kesehatan PRT, yang antara lain menyangkut APD dan akses layanan pengobatan tanpa diskriminasi. Sebab, mayoritas PRT tidak dapat ikut serta Jaminan Kesehatan KIS PBI dan tidak mendapat hak BPJS Ketenagakerjaan.
Sementara mayoritas PRT juga urban dan tidak tersentuh sebagai segmen masyarakat pekerja atau ekonomi bawah yang diperhatikan dalam kebijakan bantuan ekonomi dan kesehatan.
Sejauh ini, menurut Lita, Jala PRT melakukan berbagai tindakan antisipasi, yakni penyebaran informasi yang selektif tentang pandemi Covid-19 mulai dari pencegahan, pemeriksaan, hingga pengobatan. Termasuk di dalamnya pembekalan mengenai pembatasan sosial serta perlindungan dari, ke, dan di wilayah kerja dan tempat tinggal.
Jala PRT juga meminta para PRT tetap saling memberikan informasi terkini terkait situasi kerja dan tempat tinggal melalui kelompok/komunitas, kemudian diteruskan melalui grup media sosial atau media lain.