Meski Takut, Penjual Jamu dan Sayur Tetap Berkeliling
Di tengah pandemi Covid-19, pekerja sektor informal tetap berada di luar rumah, mencari nafkah seperti biasa. Meski dilanda ketegangan dan kekhawatiran, mereka terpaksa menantang bahaya demi keberlangsungan hidup.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Hari masih pagi, Minggu (29/3/2020). Jarum jam menunjukkan pukul 08.30 tetapi jalanan di Gang Pos Pengumben Dalam, Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, terlihat sepi. Padahal, biasanya gang tersebut ramai dipenuhi anak-anak yang bermain atau orang lalu lalang. Semenjak virus korona tipe baru merebak dan kebijakan pembatasan sosial dilontarkan, masyarakat di kawasan tersebut jarang keluar rumah.
Namun, di tengah jalan yang lengang, pagi itu terdengar suara seorang perempuan, ”Jamu...jamu...jamu,” seraya mendorong sepeda ontelnya yang membawa botol-botol berisi jamu (minuman tradisional Jawa).
Mendengar suara tersebut, sejumlah ibu keluar dari balik pagar rumah masing-masing sambil memegang gelas. Ayu (53), penjual jamu, asal Sukoharjo, Jawa Tengah, mendekati setiap ibu yang memanggilnya. Sambil menggunakan masker, Ayu melayani setiap ibu di depan rumah masing-masing. Ramuan jamu campuran beras kencur, kunyit, temulawak, jahe, dan rempah lainnya pun dinikmati ibu-ibu.
Ayu menuturkan, semenjak virus korona tipe baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 merebak, harga rempah-rempah meroket, terutama jahe yang sebelumnya hanya Rp 40.000-Rp 50.000 per kilogram, kini harganya di atas 100.000 per kilogram. Begitu juga kencur dan dan temulawak, harganya juga ikut-ikutan melambung hingga mendekati Rp 100.000 per kilogram.
Namun, meroketnya harga rempah-rempah tidak membuat Ayu menaikkan harga jamu. Dia tetap mematok Rp 3.000-Rp 4.000 per gelas kecil. ”Mau gimana lagi. Kalau harganya dinaikkan, saya enggak enak. Tetapi biasanya pelanggan sudah tahu dan kasih lebih kalau bayar,” katanya.
Bagi Ayu, biar untung sedikit tidak masalah. Dia harus berjualan jamu tiap hari selain karena keluarga membutuhkan pemasukan rutin juga pelanggannya perlu minum jamu agar badan tetap fit. ”Kalau saya enggak jualan, kasihan. Tiap hari banyak yang menunggu,” ujarnya.
Tidak hanya Ayu, Sulastri (37), penjual sayuran keliling, asal Pekalongan, juga tetap berjualan sayur setiap hari. Meskipun sedikit takut mendengar soal virus korona baru yang mematikan, dia mengaku tidak punya pilihan. ”Semuanya pasti takut, tetapi yang penting kita harus waspada. Saya pakai masker, cuci tangan selalu, dan jaga jarak dengan orang, lalu istirahat dan minum jamu tiap hari,” ujar perempuan yang akrab disapa Lastri tersebut.
Cuci tangan yang dimaksud Lastri adalah membasuh tangannya dengan air yang dicampur sabun pencuci piring di dalam kantong plastik yang digantung di gerobaknya. Ia tak membawa cairan pencuci tangan yang mengandung alkohol.
Tulang punggung keluarga
Lastri mengaku, sejujurnya dirinya takut jika terjangkit Covid-19. Namun, jika dia tidak berjualan, kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anaknya tidak ada yang menanggung. Sementara di Jakarta, dia dan suaminya beserta dua anaknya masih mengontrak. Dua anak lainnya dititipkan pada orangtua di kampung. Hingga sekarang, tiga anaknya masih sekolah.
Kalau saya tinggal di rumah dan enggak jualan, apa pemerintah mau menanggung hidup keluarga kami?
”Kalau saya tinggal di rumah dan enggak jualan, apa pemerintah mau menanggung hidup keluarga kami? Lha wong katanya presiden bilang boleh tunda bayar utang, tetapi nyatanya cicilan motor saya tetap ditagih. Saya tanya balik ke penagih, malah dibilang jangan percaya, itu hanya untuk nelayan dan yang menarik ojek,” ujarnya.
Ayu dan Lastri hanyalah segelintir dari perempuan-perempuan pekerja sektor informal yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Mereka tetap berada di luar rumah, mencari nafkah seperti biasa. Mereka menantang bahaya meski dilanda ketegangan, kekhawatiran, bahkan rasa takut akan Covid-19.
Mereka tidak punya pilihan. Semua rasa takut terkalahkan, demi keluarga, demi asap di dapur agar tetap mengepul. Saat ditanya bagaimana kalau dilarang berjualan? Baik Ayu maupun Lastri mengungkapkan, mereka tidak keberatan jika diminta tidak berjualan dalam sepekan atau bahkan sebulan, tetapi harus ada jaminan dari pemerintah, setidaknya bantuan untuk kehidupan sehari-hari keluarganya.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak pekan lalu telah mengeluarkan pernyataan sikap, meminta perhatian pemerintah terhadap masyarakat, terutama perempuan yang menghadapi beban berlapis dalam situasi pandemi Covid-19.
Sebab, dari pantauan Komnas Perempuan, para perempuan di sektor informal otomatis berkurang penghasilannya akibat pembatasan sosial, seperti pedagang kecil di pasar tradisional, penjual jamu gendong dan penjual keliling, perempuan yang bekerja di salon, dan perempuan pekerja pijat.
”Kementerian Sosial diharapkan segera menyusun skema bantuan sosial untuk pekerja di sektor informal yang karena kebijakan karantina wilayah dan pembatasan sosial secara luas membuat mereka kehilangan mata pencariannya,” ujar Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan.
Kini, dalam situasi pandemi Covid-19 yang terus menelan korban, perempuan-perempuan tersebut tidak berdaya. Memilih tinggal di rumah atau berjualan. Jika tinggal di rumah, mereka tidak memiliki biaya hidup. Namun, jika keluar rumah, mereka rentan terjangkit Covid-19. Sebuah kondisi yang sulit!