Belajar melalui Radio, Alternatif di Tengah Pandemi Covid-19
Akses internet menjadi kendala dalam pemelajaran jarak jauh, baik karena terbatasnya fasilitas infrastruktur maupun kondisi sosial ekonomi orangtua siswa. Pemelajaran melalui radio pun bisa menjadi alternatif.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
Akses jaringan internet yang belum merata dan kondisi sosial ekonomi, membuat sejumlah anak tidak dapat mengikuti kegiatan belajar-mengajar jarak jauh dengan optimal. Pemelajaran melalui radio bisa menjadi alternatif agar semua siswa dapat mengikuti kegiatan belajar-mengajar jarak jauh dengan baik selama masa pembatasan sosial karena Covid-19 ini.
Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) menawarkan alternatif tersebut dengan membuat program Belajar di Radio bagi siswa sekolah dasar hingga menengah atas sejak 26 Maret 2020. Untuk pelaksanaan program ini, RRI bekerja sama dengan sekolah dan para guru di daerah sebagai pengisi program di stasiun RRI di daerah tersebut.
”Program ini disiarkan di 105 stasiun RRI di daerah, melalui RRI Pro-2. Semua kepala stasiun RRI di daerah mengomunikasikan program ini ke sekolah-sekolah di daerah dan ternyata mendapat sambutan baik dari para guru. Mereka bergantian mengajar melalui radio, materinya sesuai dengan segmen di daerah,” kata Direktur Utama LPP RRI Rohanudin ketika dihubungi di Jakarta, Senin (5/4/2020).
Program Belajar di Radio, selain bisa didengarkan melalui radio program RRI Pro-2, juga bisa dilihat melalui kanal Youtube atau ke RRI Net. Siaran dilakukan secara serentak dari setiap stasiun radio di daerah, pada pukul 10.00-11.00. Siswa bisa mengajukan pertanyaan secara langsung ke guru yang sedang memberikan pelajaran di radio, melalui Whatsapp atau telepon.
Rohanudin mengatakan, respons masyarakat sangat baik, terutama di Kota Padang, Sumatera Barat. Secara terpisah, Direktur Program dan Produksi LPP RRI Soleman Yusuf menambahkan, di Padang, setiap hari ada 8.000 akun penonton di kanal Youtube, RRI Net, dan RRI Play Go. Akses program ini melalui radio banyak di daerah-daerah dengan jaringan internet yang belum bagus atau bahkan belum ada.
”Sasaran kami memang untuk daerah-daerah yang layanan internetnya belum baik atau mungkin internet ada, tetapi tidak ada biaya untuk membeli paket kuota internet. Tetapi ternyata, masyarakat di perkotaan pun, seperti Kota Padang, merespons dengan baik,” kata Soleman.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019, secara nasional baru terdapat 53,06 persen siswa usia 5-24 tahun yang menggunakan internet, yaitu di perkotaan 62,51 persen dan di perdesaan 40,53 persen. Penggunaan telepon seluler oleh siswa juga belum 100 persen, di perkotaan 76,60 persen dan di perdesaan 64,69 persen.
Dalam kondisi ketimpangan digital seperti itu, menurut peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anggi Afriansyah, pelaksanaan pemelajaran daring bukan perkara yang mudah.
”Pemelajaran (daring) ini tidak akan terjadi ketika guru dan siswa sama-sama tidak memiliki laptop, handphone, atau kuota dan jaringan internet yang memadai. Pemerintah daerah harus memiliki solusi konkret, tanpa itu semua anak-anak dari keluarga miskin akan semakin termarjinalkan karena tidak mendapatkan haknya di bidang pendidikan,” kata Anggi dalam diskusi secara daring beberapa waktu lalu di Jakarta.
Ketimpangan digital tersebut juga terjadi di sejumlah negara, yang juga menghambat penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar jarak jauh pada masa pandemi Covid-19 ini. Sejumlah negara pun mengambil alternatif pemelajaran menggunakan radio dan televisi agar siswa yang terkendala akses internet dan teknologi informasi dan komunikasi tidak tertinggal pelajaran. Apalagi, kendala tersebut juga dialami sejumlah guru.
Di Peru misalnya, hanya 35 persen guru yang memiliki akses ke komputer dan koneksi internet. Karena itu, seperti dikutip dari laman Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), Kementerian Pendidikan Peru juga menyediakan solusi berteknologi rendah, seperti televisi dan radio untuk pemelajaran jarak jauh.
Solusi serupa juga diambil Kementerian Pendidikan Kamerun karena hanya 20-25 persen guru yang memiliki akses internet, dan mayoritas guru tidak memiliki keterampilan TIK sehingga pemelajaran daring sangat tidak optimal. Pemerintah Kamerun membentuk satuan tugas untuk membentuk semacam perlindungan pemelajaran yang memungkinkan guru dan pelajar mengakses pendidikan melalui platform yang sudah mereka kenal, seperti radio dan televisi.