Informasi yang andal sangat penting untuk memerangi pandemi Covid-19. Namun, wartawan dan media di sejumlah negara justru terancam ketika memberitakan tentang Covid-19.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menekankan peran penting media dalam menyebarluaskan informasi yang akurat pada masa krisis akibat pandemi Covid-19. Informasi atau berita yang tepat dan akurat akan meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya Covid-19, dan ini merupakan salah satu langkah penting untuk memerangi penyakit yang telah menyebar di dunia ini.
Namun, di saat harus berhadapan dengan gempuran berita palsu, media dan jurnalis di sejumlah negara justru dituduh menyebarkan berita palsu terkait Covid-19. Media juga dituduh menyebarkan kepanikan yang berujung pada kontrol pemberitaan, dan lebih dari itu juga kriminalisasi terhadap wartawan dan sanksi kepada media.
Dalam sejumlah laporan Reporters Without Borders (RFS) pada minggu terakhir Maret hingga awal April 2020 disebutkan, beberapa negara berusaha mengendalikan informasi terkait Covid-19. Bahkan, ada upaya untuk menutupi fakta tentang bahaya Covid-19.
Korea Utara, misalnya, ketika kasus Covid-19 sudah menyebar ke seluruh dunia, otoritas setempat melaporkan bahwa kasus Covid-19 masih ”nol”. Padahal, negara ini berbatasan dengan China dan Korea Selatan di mana banyak terdapat kasus Covid-19.
Dengan kontrol hampir sepenuhnya atas semua komunikasi dan media, Pemerintah Korea Utara membuat warga negaranya tidak tahu bahaya Covid-19.
Dengan kontrol hampir sepenuhnya atas semua komunikasi dan media, Pemerintah Korea Utara membuat warga negaranya tidak tahu bahaya Covid-19. Agen media internasional, yaitu Agence-France Presse (AFP), Associated Press (AP), dan Kyodo News Agency, juga kecil kemungkinan memberikan laporan secara independen karena di bawah pengawasan ketat pemerintah Korea Utara.
Di Brasil, Presiden Jair Bolsonaro bahkan menyangkal bahaya Covid-19 meski penyakit ini telah berjangkit di Brasilia, lebih dari negara lain di Amerika Latin. Media yang memberitakan Covid-19 justru dituduh menciptakan histeria dan menyebabkan kepanikan masyarakat.
”Masyarakat akan segera menyadari bahwa mereka telah ditipu media,” kata Bolsonaro pada 22 Maret 2020 seperti dikutip RSF pada 31 Maret.
Untuk meyakinkan rakyatnya, Bolsonaro mengunggah video di akun media sosialnya, yang menunjukkan dirinya tengah berjalan di jalanan di Brasil dan bertegur sapa dengan sejumlah warga seolah-olah kondisi aman dari Covid-19. Ini bertentangan dengan rekomendasi WHO untuk mencegah penyebaran Covid-19. Pada 30 Maret, Facebook dan Instagram menghapus video Bolsonaro tersebut.
Memblokir media daring
Pemerintah Turkmenistan juga berupaya menutupi informasi tentang Covid-19 dengan memblokir situs media daring Turkmenistan Chronides. Media ini merupakan salah satu media independen di sana. Pemerintah juga menghapus informasi serta kata ”virus korona” dari brosur informasi kesehatan yang didistribusikan ke sekolah dan rumah sakit.
Mesir pun menuding media telah menyebarkan desas-desus dan informasi palsu tentang Covid-19, tanpa membuat kriteria apa yang yang disebut informasi palsu tersebut. Dengan alasan itu, sejak awal Maret, pemerintah mesir membatasi akses lebih dari 10 situs media daring dan akun media sosial. Televisi swasta juga diperingatkan karena menyebut Mesir kekurangan obat-obatan.
Mesir juga memperingatkan wartawan New York Times karena mempertanyakan angka resmi kasus Covid-19 di Mesir. Wartawan Guardian, Ruth Michaelson, dari Inggris bahkan diusir dari Mesir pada 20 Maret karena dalam artikelnya mengutip pernyataan peneliti medis yang menyebut jumlah kasus Covid-19 di Mesir 15 kali dari angka resmi pemerintah.
Di Belarusia, editor sebuah media daring ditangkap karena mengkritik penanganan Covid-19 oleh Presiden Alexander Lukas Henko. Di Republik Chad, kru televisi nasional yang terdiri dari seorang wartawan, juru kamera, dan sopir ditangkap polisi saat meliput penertiban pembatasan sosial. Meski setelah diinterogasi selama 3 jam mereka dilepas, penangkapan ini merupakan ancaman bagi wartawan saat melakukan kerja jurnalistik.
Dua wartawan di Filipina juga ditangkap dan terancam dihukum dua bulan penjara dan denda 1 juta peso (sekitar Rp 327,7 juta). Mereka dinilai melanggar Bayanihan to Heal As One Act, undang-undang yang baru disahkan Presiden Duterte pada 25 Maret lalu untuk memerangi informasi palsu tentang Covid-19.
Pemerintah Thailand juga mengeluarkan aturan baru terkait dengan keadaan darurat Covid-19 mulai 26 Maret. Dengan dalih mengatur informasi tentang Covid-19, pemerintah menyatakan berhak memutuskan berita/informasi mana yang benar dan mana yang salah/palsu.
Dengan aturan baru tersebut, siapa pun yang memberikan informasi tentang Covid-19 yang oleh Pemerintah Thailand dianggap salah atau menimbulkan ketakutan masyarakat, dapat dihukum hingga 5 tahun penjara. Namun, tidak ada definisi berita palsu.
Di Hongaria pun demikian. Pemerintah setempat membuat undang-undang baru yang disahkan pada akhir Maret, yang memberi hak pemerintah untuk memutuskan berita yang benar atau salah. Wartawan yang dinyatakan menyebarkan berita palsu dapat dihukum hingga 5 tahun penjara. Undang-undang ini juga memungkinkan pemerintah mengontrol ruang redaksi yang tidak sejalan dengan pemerintah.
Ancaman
Kondisi-kondisi yang demikian tidak hanya menyebabkan masyarakat tidak mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang bahaya pandemi Covid-19, tetapi juga menyebabkan wartawan dan media berada di bawah tekanan ketika menyampaikan informasi tentang Covid-19. Hal ini semakin mengancam kebebasan pers.
Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2019 yang disusun RSF menunjukkan bahwa kekerasan terhadap wartawan terus terjadi. Jumlah negara yang dianggap aman untuk wartawan terus menurun. Sejumlah negara rezim otoriter terus memperketat pengawasan dan menekan media.
Dari 180 negara yang disurvei, hanya 24 persen yang masuk kategori baik dan cukup baik untuk kebebasan pers, atau menurun dibanding pada 2018 yang sebanyak 26 persen. Apa yang terjadi terkait pemberitaan Covid-19 ini semakin mengancam kebebasan pers.
”Informasi yang andal dan berkualitas sangat penting selama pandemi ini. Tetapi, informasi tersebut juga harus dilaporkan secara bebas dan independen,” kata Sabrina Benneoui, Kepala RSF Timur Tengah, seperti dikutip di laman RSF pada 3 April 2020.
Kebebasan untuk memberikan informasi harus dihormati pada saat krisis seperti saat ini karena kebebasan pers tidak dapat dibatasi untuk kepentingan masyarakat umum.
”Apa yang dilakukan wartawan sangat penting dalam keadaan darurat seperti ini, karenanya mereka harus bekerja tanpa rasa takut,” kata Daniel Bastard, Kepala RSF Asia Pasifik, pada 31 Maret lalu.
Kebebasan pers saat ini bahkan lebih penting dari sebelumnya karena informasi yang akurat dapat menyelamatkan nyawa dalam situasi krisis kesehatan ini. Dengan penyebaran Covid-19 yang sangat eksponensial ini, semua negara seharusnya memastikan bahwa jurnalis dapat melaporkan tentang Covid-19 ini secara independen.
Bahkan, menurut Asisten Direktur Jenderal Komunikasi dan Informasi UNESCO Chackhouk, semua negara harus meningkatkan jumlah informasi yang tersedia untuk publik, bukan malah menutup-nutupinya.