Perempuan Terdampak secara Psikis dan Fisik Saat Pandemi
Perspektif dan analisis jender diharapkan betul-betul digunakan dalam semua kebijakan menyangkut respons terhadap Covid-19 saat ini. Perempuan merupakan salah satu pihak yang mengalami dampak serius selama pandemi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial di sejumlah daerah akibat pandemi Covid-19 memunculkan berbagai persoalan bagi perempuan di Tanah Air. Selain menghadapi masalah ekonomi, mereka juga mengalami dampak secara psikis dan fisik.
Karena itu, Gerakan Perempuan terhadap Penanganan Covid-19 Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Nasional Perempuan Bangkit berharap kepada pemerintah agar tetap memperhatikan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi selama masa krisis ini.
”Pemerintah perlu memastikan berbagai program yang dilaksanakan benar-benar responsif jender, misalnya kebutuhan spesifik perempuan yang sering terlupakan, baik itu kebutuhan pembalut, vitamin bagi ibu menyusui, dan alat kontrasepsi yang difasilitasi negara,” ujar Valentina Sagala, aktivis perempuan dan pendiri Institut Perempuan, mewakili Aliansi Nasional Perempuan Bangkit, Senin (13/4/2020), di Jakarta.
Menurut Valentina, poin terpenting adalah bagaimana perspektif dan analisis jender betul-betul digunakan dalam semua kebijakan menyangkut respons terhadap Covid-19 saat ini. Realokasi anggaran, misalnya, harus benar-benar memperhatikan situasi dan kondisi perempuan.
Para aktivis perempuan meminta pemerintah juga memberikan layanan bagi kebutuhan kesehatan mental secara efektif, termasuk hotline telepon atau panggilan video yang dapat diakses dengan mudah, membentuk komunitas pendukung secara virtual bagi pelayanan darurat, dan juga mengirimkan obat-obatan bagi para perempuan yang membutuhkan.
Kurang transparan
Aliansi Nasional Perempuan Bangkit yang didukung Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Institut Perempuan, PWAG Indonesia/Arts for Women, dan Women’s Research Institute menilai, selama ini kebijakan pemerintah terkesan lamban, tidak komprehensif dan berubah-ubah, serta tidak transparan dalam pelaporan data dan kondisi kasus yang sebenarnya.
Kondisi tersebut tidak memberikan rasa aman kepada rakyat secara umum dan kepada kelas bawah secara khusus sehingga rakyat terpaksa mencari perlindungan dan keamanan dengan cara dan logika masing-masing.
Karena itulah, Aliansi Perempuan Bangkit mendesak agar dalam menangani permasalahan akibat Covid-19, pemerintah mengambil langkah yang komprehensif, mendasar, tidak bias kelas dan jender, serta konsisten dengan standar dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Selain memastikan realokasi anggaran dan peruntukan anggaran penanganan Covid-19 disusun dan dilaksanakan dengan analisis dan perspektif jender, pemerintah diharapkan juga menyediakan masker, vitamin, dan atau obat-obatan yang diperlukan bagi masyarakat umum. Layanan kesehatan wajib diberikan tanpa diskriminasi dan dengan protokol yang jelas, tanpa prosedur yang berbelit-belit, termasuk melakukan tes cepat (rapid test) sebanyak-banyaknya.
”Pemberian masker dan vitamin gratis diutamakan bagi masyarakat rentan dan kurang mampu,” ujar Olin Monteiro, mewakili Aliansi Nasional Perempuan Bangkit.
Terkait kondisi ekonomi saat ini, sangat diperlukan proteksi sosial dan bantuan ekonomi kepada warga kelas bawah yang paling terdampak, seperti pekerja sektor ekonomi informal yang berpenghasilan harian, perempuan dan anak-anak, warga lansia, kelompok disabilitas, buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja, dan kelompok-kelompok sosial marjinal lainnya.
”Sebab, mayoritas perempuan Indonesia bekerja sebagai ibu rumah tangga dan sektor informal yang tidak terlindungi,” lanjut Olin.
Di sisi lain, para aktivis perempuan juga menyuarakan perlindungan dan keamanan bagi perempuan yang berada di garis depan sektor kesehatan. Sebab lebih dari 60 persen tenaga kerja kesehatan adalah perempuan. Sementara beban pekerjaan perawatan di ranah domestik juga menjadi tanggung jawab perempuan.