Hoaks Marak karena Informasi Resmi Pemerintah Masih Kurang
Maraknya hoaks pada masa pandemi Covid-19 saat ini, selain masyarakat mengandalkan informasi dari media sosial dan rendahnya literasi digital, informasi pemerintah yang kurang jelas juga mempunyai andil.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakjelasan informasi terkait Covid-19 memicu munculnya disinformasi dan hoaks yang membanjiri masyarakat melalui media sosial. Untuk mengimbangi hal ini, pemerintah harus membangun kepercayaan publik dengan memberikan informasi yang akurat, transparan, dan rutin tentang Covid-19 serta upaya penanganannya.
Disinformasi dan hoaks dapat berisikan informasi yang dapat menambah kepanikan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Pemerintah telah membuat portal covid19.go.id sebagai salah satu upaya agar masyarakat dapat memiliki referensi informasi yang akuntabel. Namun, masih banyak oknum tertentu yang menyebarkan hoaks, khususnya informasi terkait Covid-19.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sejak akhir 2019 terdapat sekitar 1.300 disinformasi dan hoaks. Persebarannya melalui media sosial, paling banyak melalui Facebook, yaitu mencapai 831 isu. Sebanyak 89 orang ditetapkan sebagai tersangka, 14 orang di antaranya ditahan.
Ismail Fahmi, pencipta aplikasi analisis media sosial Drone Emprit, mengatakan, membangun kepercayaan publik berarti membuat masyarakat tenang dan yakin pemerintah menangani Covid-19 ini dengan baik. Dia mencontohkan, pemerintah pernah beralasan tidak membuka data terkait Covid agar masyarakat tidak panik. Namun, yang terjadi, justru ini menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat.
”Ternyata persoalannya trust (kepercayaan kepada pemerintah), terkait soal bagaimana perkembangan kasus ini, bagaimana penanganannya, dan sebagainya,” kata Ismail dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas), di Jakarta, Kamis (16/4/2020).
Setelah sekitar sebulan, pada Senin (13/4/2020), Presiden Joko Widodo akhirnya memerintahkan data terkait Covid-19 dibuka ke publik. Data ini tidak hanya jumlah mereka yang positif dan meninggal akibat Covid-19, tetapi juga termasuk jumlah orang dalam pengawasan (ODP). Alasan Presiden, pemerintah tidak ingin ada kesimpangsiuran informasi di masyarakat.
Widodo Muktiyo, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, mengakui, komunikasi publik yang komprehensif efektif untuk mengantisipasi hoaks. Komunikasi yang efektif juga bisa menjadi tulang punggung untuk menggerakkan masyarakat agar disiplin dalam menghadapi Covid-19 ini.
Widodo mengatakan, informasi yang disampaikan pemerintah tidak muncul tiba-tiba, koordinasi juga terus dilakukan dengan pihak-pihak terkait sebelum informasi disampaikan kepada masyarakat. Pemerintah juga melibatkan akademisi, dunia usaha, dan media untuk menyebarluaskan informasi terkait Covid-19 ini.
”Tapi memang komunikasi yang akan diumumkan kepada publik itu dinamikanya sangat tinggi. Misalnya, (sektor) transportasi punya kebijakan yang tidak sederhana, tetapi publik maunya simpel (sederhana) saja. Para pemangku kepentingan harus mempertimbangkan banyak hal, misalnya kenapa bukan lockdown (penguncian wilayah), tetapi PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Hoaks muncul karena dinamikanya ini tinggi sekali,” kata Widodo.
Dia mengatakan, disinformasi dan hoaks memang tinggi pada masa Covid-19 ini, tetapi kini sudah mulai berkurang. Disinformasi dan hoaks tersebut paling banyak muncul pada 16-22 Maret 2020 dan 23-29 Maret 2020. Kominfo berkoordinasi dengan Polri dan pemilik platform digital untuk menangani hoaks yang beredar di masyarakat.
”Setiap hari kami masih menerima (pesan melalui) Whatsapp menanyakan informasi yang mereka terima benar atau tidak, tetapi tidak bisa dilayani satu per satu. Kalau memang meragukan, tidak usah dipercaya. Kita ini sedang berperang dengan musuh yang tidak kelihatan, jadi harus hati-hati,” katanya.
Garuda Sugardo, anggota Tim Pelaksana Wantiknas, menyatakan, hoaks cepat menyebar karena sebagian besar masyarakat masih mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi. Penyebaran hoaks paling banyak melalui Facebook, yaitu di atas 81 persen, kemudian melalui Whatsapp (56-58 persen).
”Ini juga terjadi di seluruh dunia, tetapi kasus di Indonesia memang termasuk tinggi. Ini karena masyarakat Indonesia tidak suka membaca. Indonesia merupakan negara dengan tingkat literasi terendah kedua di dunia dan 65 persen masyarakat gampang percaya hoaks,” ujarnya.
Secara regulasi, kata Garuda, Indonesia lemah karena setiap orang bisa dengan mudah meregistrasi kartu seluler prabayar tanpa ada validasi dan langsung aktif. ”Ini sumber penyebaran hoaks di Indonesia,” kata Garuda.
Dia mengimbau masyarakat untuk mengecek informasi yang diterima sebelum dibagikan kepada orang lain. Karena pemerintah belum mengeluarkan ciri-ciri hoaks terkait Covid-19, masyarakat bisa menggunakan ciri-ciri hoaks politik sebagai panduan. Informasi patut dicurigai sebagai hoaks jika sumber informasinya tidak jelas, tidak mengandung 5W1H (rumus dasar berita), serta ada permintaan untuk menyebarluaskan informasi tersebut.