Pembelajaran jarak jauh yang sudah lebih dari satu bulan diterapkan di sekolah harus lebih dioptimalkan. Sejumlah masalah masih menghadang pelaksanaan sistem belajar tersebut.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski sudah sebulan lebih diterapkan, berbagai masalah masih menghambat pelaksanaan pembelajaran jarak jauh. Pengelola sekolah, guru, dan siswa di sejumlah daerah mengeluhkan keterbatasan teknologi, jaringan sinyal, dan kuota internet. Perlu terobosan untuk mengatasi berbagai masalah ini.
Kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) diambil pemerintah untuk mengatasi laju penularan penyakit Covid-19 akibat virus korona baru. Guna melaksanakan kebijakan itu, diterbitkan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Namun, pelaksanaan di lapangan tak selalu mudah.
Kesulitan pelaksanaan kebijakan itu dialami sejumlah sekolah, mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA dan sederajat, di sejumlah daerah di Indonesia. Salah satunya terkait kemampuan guru mengajar jarak jauh. Tak semua guru dapat segera beradaptasi dengan teknologi dan metode mengajar jarak jauh. Wakil Ketua Umum Pengembangan Regional Sumatera Bagian Utara Ikatan Guru Indonesia (IGI) Khairuddin, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (29/4/2020), mengungkapkan, sejumlah guru yang tergabung dalam IGI pernah mengikuti pelatihan PJJ. Namun, kebanyakan dari mereka sulit menerapkannya di kelas.
Ada sejumlah anak yang tidak mempunyai tablet untuk kegiatan pembelajaran ini.
”Ketika PJJ mulai sekitar 16 Maret, hampir semua guru kaget. Kondisi kemampuan mereka berbeda, harus menghadapi heterogennya siswa dan keluarganya. Siswa dan keluarganya tidak pernah disiapkan untuk PJJ,” ujarnya. Masalah lain, siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu tidak memiliki telepon pintar yang memadai untuk belajar jarak jauh. Orangtua tak bisa serta-merta membeli gawai karena terdesak kebutuhan lain, seperti bahan pokok. Tanpa gawai yang memadai, sistem PJJ sulit berjalan optimal.
Wakil Kepala SMK Negeri 2 Yogyakarta Sumadi mengakui, sebagian siswa di sekolah itu berasal dari keluarga berekonomi lemah. ”Ada sejumlah anak yang tidak mempunyai tablet untuk kegiatan pembelajaran ini,” katanya.
Masalah dalam pelaksanaan PJJ juga berasal dari jaringan internet yang tidak merata sampai seluruh desa. Di Kabupaten Mahakam Ulu di pedalaman Kalimantan Timur, sebagian besar dari 64 sekolah (SD, SMP, SMA) di lima kecamatan di daerah itu tak didukung jaringan internet. Hal ini terutama terjadi di Kecamatan Long Hubung, Long Pahangai, Laham, dan Long Apari.
”Di sini akses internet tidak ada, hanya di kantor desa, dan itu sangat lambat. Orangtua harus berlaku menjadi guru mengawasi anak-anak supaya paham materi yang diberikan guru,” kata Murdini (55), salah satu orangtua siswa SDN 003 Long Tuyoq di Kecamatan Long Pahangai. Desa Long Tuyoq terletak di hulu Sungai Mahakam dan dikelilingi hutan. Dari Kota Samarinda, daerah itu dapat dicapai dengan menyusuri Sungai Mahakam dengan perahu bermesin selama 27 jam.
Kondisi serupa juga dialami sejumlah sekolah di Sumatera Selatan. Endang Saputra, guru mata pelajaran Bahasa Inggris di SMP Negeri 1 Ujan Mas, Kabupaten Muara Enim, mengungkapkan, ada lima murid di kelasnya yang tinggal di kawasan dengan keterbatasan sinyal, yaitu di Desa Guci dan Desa Ulak Bandung, Kecamatan Ujan Mas. Untuk mencari sinyal, mereka harus memanjat ke atas pohon atau pergi ke pinggiran sungai.
”Merepotkan, tapi harus dilakukan agar belajar-mengajar tetap berlangsung,” ucapnya. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Selatan Riza Pahlevi, keterbatasan jaringan bukan hanya terjadi di Muara Enim, melainkan juga di beberapa daerah di Sumsel. Persiapan PJJ tidak optimal lantaran wabah Covid-19 datang tiba-tiba. Problem jaringan internet bahkan menghambat sekolah yang ada di pusat kota provinsi, seperti di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Meri Aryani, guru di SMAN 1 Mataram, mengatakan, kegiatan PJJ di sekolah itu menggunakan aplikasi Google Classroom, Whatsapp, atau Zoom. ”Siswa-siswa suka bermasalah (koneksi internetnya). Belum lagi yang pakai Wi-Fi, koneksinya putus. Saat mengerjakan Google Form, tiba-tiba eror,” tutur Meri. Jika ada ponsel dan jaringan internet, persoalan tak lantas selesai. Sebagian siswa tidak memiliki dana yang cukup untuk membeli kuota internet.
Padahal, penggunaan beragam aplikasi belajar daring memakan banyak kuota. Yuliana Dewi Marithawati, Kepala SMP Negeri 1 Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah, mengatakan, sebagian siswa di sekolahnya tak mampu membeli kuota internet. ”Jika ada kendala terkait kuota atau sinyal internet, biasanya kami akan datang untuk mengantarkan fotokopi materi dan tugas untuk dikerjakan siswa selama satu minggu,” ujarnya.
Sebagian siswa tidak memiliki dana yang cukup untuk membeli kuota internet.
Guru mengunjungi siswa
Untuk menjamin belajar-mengajar tetap berjalan, sebagian guru di sejumlah daerah akhirnya mengunjungi para siswa yang kesulitan belajar dengan jaringan internet. Salah satunya Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Plus Al Hidayah, Karangrayung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ahmad Zaki (42), kepala sekolah madrasah itu, mengatakan, para guru berkeliling ke rumah para siswa yang kesulitan PJJ.
Para siswa didatangi guru satu minggu sekali. Setiap guru membimbing siswa 30 menit hingga 1 jam. Dalam sehari, guru membimbing 3-4 siswa. ”Kami fokus pada mata pelajaran yang membutuhkan penjelasan lebih, seperti Matematika dan IPA,” ujarnya. Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Kemendikbud Praptono berharap dinas pendidikan daerah memperhatikan dan memenuhi PJJ sesuai Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020.
Untuk mengatasi masalah terkait jaringan internet, Kemendikbud bekerja sama dengan TVRI untuk menyiarkan materi pelajaran. ”Kami harap sekolah dan keluarga siswa serius melaksanakan pembatasan sosial. Hanya dengan cara ini pandemi Covid-19 bisa diatasi,” katanya.
Pengamat pendidikan Muchlas Samani berpendapat, keputusan menggelar PJJ diambil dalam keadaan ”terpaksa” karena kegiatan tatap muka tidak memungkinkan. Guru belum dipersiapkan optimal, begitu pula dengan siswa. ”PJJ hanya untuk situasi darurat. Kurikulum darurat bisa disusun, tetapi lebih mendesak menyiapkan guru dan fasilitasnya,” katanya.