Kebebasan Pers Meningkat, tetapi Wartawan Masih Terancam
Pasal-pasal dalam KUHP dan UU ITE bisa mengancam kebebasan pers yang membaik dibanding tahun lalu. Ancaman lainnya adalah ”tradisi” impunitas yang membuat pelaku kekerasan terhadap jurnalis tetap bebas.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
Indeks kebebasan pers Indonesia meningkat dan media dinilai dapat memainkan peran yang sangat menentukan dalam memastikan demokrasi berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun begitu, kekerasan terhadap wartawan masih mengancam saat wartawan menjalankan fungsi kontrol.
Survei Indeks Kebebasan Pers Dunia 2020 yang dilakukan Reporters Without Borders (RSF) menempatkan Indonesia di posisi ke-119 atau meningkat dibanding pada 2019 yang berada di posisi ke-124 dari 180 negara yang disurvei. Presiden Joko Widodo dinilai berada dalam posisi menempatkan kebebasan pers pada periode kedua kepemimpinannya ini.
”Ini belum tentu menunjukkan situasi (kebebasan pers di Indonesia) lebih baik. Kalau kita lihat pada 2019, justru kondisinya tidak membaik. Atau, bisa jadi situasi di luar (kebebasan pers di luar negeri) yang lebih buruk,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan dalam diskusi ”Etika dan Kebebasan Pers” yang digelar @america, Kamis (30/4/2020) petang.
Pelanggaran kebebasan pers masih terjadi di sejumlah wilayah di dunia, yang diperburuk pembatasan informasi terkait Covid-19 yang berujung sanksi hingga pemidanaan bagi wartawan.
Secara global, seperti disebutkan di laman rsf.org, kebebasan pers dunia sedikit membaik, meningkat 0,9 persen dibandingkan dengan tahun 2019. Namun, pelanggaran kebebasan pers masih terjadi di sejumlah wilayah di dunia, yang diperburuk pembatasan informasi terkait Covid-19 yang berujung sanksi hingga pemidanaan bagi wartawan.
Pelanggaran kebebasan pers di Asia merupakan yang terburuk dibanding wilayah lain. Korea Utara (posisi 180) dan China (177) tidak berhenti meningkatkan sistem kontrol informasi dan penganiayaan terhadap jurnalis, ditambah lagi terkait informasi Covid-19.
Indeks kebebasan pers sedikitnya di 20 negara lain di Asia juga turun. Termasuk Hong Kong (dari posisi ke-73 ke posisi ke-80) karena unjuk rasa besar-besaran yang menyebabkan sejumlah wartawan mengalami kekerasan akhir tahun lalu.
Di Indonesia, meski tidak menjadi catatan RSF, wartawan masih sering menjadi sasaran tindak kekerasan ketika meliput unjuk rasa atau meliput peristiwa lain. AJI Indonesia mencatat, pada 2019 terjadi 53 kasus kekerasan terhadap wartawan, dan paling banyak pelakunya adalah polisi (30 kasus), kemudian warga (7 kasus), dan organisasi massa (6 kasus).
Ancaman undang-undang
Manan mengatakan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang kini tengah direvisi serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) rawan mengancam wartawan ketika menyampaikan informasi. Selain itu juga ”tradisi” impunitas yang membuat banyak kasus kekerasan terhadap wartawan terhenti tanpa penyelesaian.
”Bagaimana kebebasan pers mau terwujud jika orang yang memukul wartawan tidak diadili, orang yang membunuh wartawan tidak dikejar,” kata Manan. Dia melanjutkan, demokrasi di Indonesia saat ini demokrasi dengan banyak tanda minus karena keterbukaan dan partisipasi publik, terutama dalam pembahasan rancangan undang-undang, masih sangat kurang.
Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers Asep Setiawan menyebutkan, indeks kebebasan pers yang membaik masih diwarnai kriminalisasi terhadap wartawan dan tingkat kesejahteraan wartawan yang masih buruk. Meskipun begitu, wartawan/media juga tidak lepas dari kesalahan.
”Pada 2019 terdapat 626 kasus pelanggaran dan pada 2020 terdapat 113 kasus, paling banyak kasus pencemaran nama baik dan pemberitaan sepihak atau tidak ada verifikasi. Ini menunjukkan, betapa besar tantangan untuk melaksanakan kode etik jurnalistik yang berfungsi memandu wartawan ketika mengekspresikan kebebasan berpendapat,” tutur Asep.
Pada kesempatan itu, Political Officer Kedutaan Besar Amerika Gabriel M Hons-Oliveier mengatakan, profesionalisme merupakan salah satu syarat penting dalam kebebasan pers. Jurnalis yang bebas mengekspresikan pendapatnya merupakan bagian dari demokrasi.
Dia melihat, tantangan bagi wartawan di Indonesia, selain sejumlah aturan yang bisa membatasi ruang gerak wartawan dalam mengekspresikan pendapatnya, juga keberadaan media sosial yang masih menjadi tumpuan masyarakat dalam mendapatkan informasi.
”Media arus utama sangat berpengaruh, tetapi ada media sosial yang sering disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks. Tantangan wartawan di sini,” katanya.