KPAI: Jangan Buat Siswa Terbebani karena Pembelajaran Jarak Jauh
Di masa pandemi Covid-19, guru diharapkan tidak menjejali anak-anak dengan kurikulum yang berat, tetapi yang sudah dipilah dan dipilih.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Agama sepakat menyusun dan menetapkan kurikulum dalam situasi darurat dalam rangka mendukung pembelajaran jarak jauh di masa pandemi Covid-19, penerapannya tidak semudah itu. Hingga kini, seperti apa model atau bentuk kurikulum yang akan diterapkan belum ditemukan.
Usulan pembuatan kurikulum darurat merupakan rekomendasi hasil rapat koordinasi nasional, Rabu (29/4/2020), di Jakarta. Rakornas tersebut menindaklanjuti 247 pengaduan dan penerimaan data 1.700 responden mengenai pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan Ujian Akhir Sekolah Tahun Ajaran 2019/2020 saat pandemi Covid-19.
”Sebenarnya usulan KPAI dalam rakornas daring Rabu lalu terkait penetapan kurikulum dalam situasi darurat adalah menggunakan kurikulum yang saat ini berlaku. Namun (perlu) disisir kembali oleh Kemendikbud mana yang esensial (utama, penting, dan siswa harus tahu) dan mana yang tidak,” ujar Retno Listyarti, komisioner KPAI Bidang Pendidikan, di Jakarta, Jumat (1/5/2020).
Jadi, guru juga tidak menjejali anak-anak dengan kurikulum yang berat, tetapi yang sudah dipilah dan dipilih.
Menurut Retno, materi yang diterapkan semestinya materi yang esensial saja sehingga akan sangat mengurangi beban kurikulum yang harus dipelajari anak-anak dan diajarkan para guru. ”Jadi, guru juga tidak menjejali anak-anak dengan kurikulum yang berat, tetapi yang sudah dipilah dan dipilih,” kata Retno.
Retno mengakui, dalam situasi darurat seperti masa pandemi Covid-19 saat ini, penerapan kurikulum tentu akan menghadapi banyak kendala, apalagi kalau bicara ketercapaian dan ketuntasan kurikulum. ”PJJ berjalan sederhana saja itu sudah lumayan,” ujarnya.
Ia memberikan contoh, saat gempa di Lombok (NTB) dan Palu (Sulteng) tahun 2019, ketika KPAI turun melakukan pengawasan langsung ke sekolah-sekolah darurat (saat itu mayoritas gedung sekolah hancur), KPAI mendapatkan fakta sulitnya pembelajaran berlangsung efektif dan nyaman di sekolah-sekolah darurat.
Saat itu KPAI mengusulkan ada kurikulum sekolah darurat untuk diterapkan di Lombok dan Palu. Namun, Kemendikbud menanggapinya hanya usulan soal ujian nasional di lokasi terdampak gempa hanya 5 semester, yang semester 6 tidak dimunculkan soalnya karena situasi darurat.
Analogi gempa itu, menurut Retno, seharusnya bisa menjadi acuan juga ketika situasi darurat Covid-19 seperti saat ini karena guru sulit melaksanakan pembelajaran dua arah. Bahkan, di beberapa daerah di mana siswanya kesulitan peralatan daring dan tak mampu membeli pulsa, maka pembelajaran nyaris tak terlaksana dengan baik.
”Yang terjadi para guru hanya bisa memberikan tugas afektif (sikap), seperti membantu orangtua di rumah atau berbuat baik dengan sesama. Banyak proses pembelajaran daring saat pendemi ini dikatakan siswa menjadi garing,” Retno.
Dalam kondisi seperti itu, menurut Retno, solusi sementara sekolah dan guru bisa dilakukan dengan sejumlah langkah. Misalnya, guru-guru yang siswanya bisa daring maka pembelajaran dilakukan dua arah, ini ketika guru didukung kuota dan alat serta para siswanya mampu secara ekonomi.
Langkah lain, jika para guru berharap pada situasi, guru memiliki fasilitas daring tapi mayoritas muridnya tidak memilikinya, maka bisa disiasati dengan pembelajaran yang diisi dengan penugasan via aplikasi Whatsapp (WA).
Sementara, jika bagi para guru yang tidak punya fasilitas daring dan muridnya juga tidak punya akses untuk belajar secara daring, maka pembelajaran bisa diberikan langsung, yakni guru mendatangi para siswa. ”Tapi mungkin saja ada yang sama sekali tidak terjadi pembelajaran,” ujar Retno.
Soal kurikulum, dalam situasi darurat, sebelumnya, Rabu lalu, Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan perlu ada patokannya, tidak bisa semua sama. ”Tentu perlu ada patokannya, jadi tidak semua langsung dengan selera masing-masing. Tapi, meskipun tidak semua bisa diaplikasikan sebagai mana keinginan kita, kita akan coba, paling enggak ada acuan secara tingkat nasional,” ujarnya.
Soal pelaksanaan PJJ, Fachrul mengakui perlu perhatian untuk sekolah-sekolah di daerah 3T (terdepan, terluar, dan terpencil), yang bukan saja sulit dicapai secara fisik melainkan juga sulit dicapai dengan sistem komputer dengan sistem daring.
”Tapi pelan-pelan naik. Hingga sekarang kalau tidak salah sudah sampai dengan beberapa hari yang lalu sudah 1.116.653 siswa yang bisa menjangkau pelajaran dengan sistem pembelajaran jarak jauh ini. Denagn demikian, saya lihat akan terus maju, pelan-pelan,” kata Menag.
Hasil survei
Hasil Survei Persepsi dan Evaluasi Guru terhadap Pelaksanaan PJJ yang dilakukan KPAI dan dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menemukan, PJJ sebagai implementasi kebijakan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid 19 yang berjalan lebih dari sebulan tidak berjalan mulus. Selain guru, para siswa pun merasa terbebani dan mengalami berbagai kendala dalam pembelajaran jarak jauh, terutama dalam pembelajaran daring (berbasis digital).
Perubahan metode pembelajaran dari tatap muka di ruang kelas ke komputer dan telepon pintar menjadi tantangan tersendiri bagi para guru. Selain kemampuan, keterbatasan kepemilikan media gawai pintar/laptop/komputer, serta keterbatasan akses terhadap internet (termasuk kuota), baik di pihak guru maupun siswa, membuat proses PJJ tidak berjalan lancar. ”Bahkan masih ada guru yang sama sekali belum pernah melaksanakan pembelajaran daring sebelum masa pandemi Covid-19,” ujar Ketua KPAI Susanto.