Pemulung termasuk kelompok yang terdampak pandemi Covid-19 karena mereka sulit mencari dan menjual hasil pulungan sehingga penghasilannya merosot. Namun, sebagian dari mereka tak terjangkau bantuan sosial.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian pemulung tidak terjangkau bantuan sosial selama pandemi Covid-19. Ini karena mereka tidak memiliki kartu tanda penduduk dan sebagian lagi tidak menetap di satu tempat. Padahal, kehidupan mereka kini semakin berat, terutama karena kesulitan mencari dan menjual hasil memulung. Kelompok rentan ini perlu didata dan dimasukkan dalam jaring pengaman sosial dari pemerintah.
Laporan dari sejumlah daerah, akhir pekan lalu, menunjukkan, hanya sebagian pemulung yang menerima bantuan sosial (bansos) dari pemerintah yang dimaksudkan untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Sri (54), pemulung di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, termasuk yang beruntung karena menerima bantuan kebutuhan pokok. Dia menerima satu kali bantuan lewat ketua rukun tetangga (RT) berupa 5 kilogram beras, 15 bungkus mi instan, 1 kaleng ikan sarden, dan 1 kg minyak goreng. ”Bantuan itu tidak cukup untuk hidup seminggu,” katanya.
Widodo (54), warga Purwodadi, Kabupaten Grobogan, yang sudah 10 tahun menjadi pemulung di Semarang, Jawa Tengah, tidak seberuntung Sri. Dia belum mendapatkan bansos dari pemerintah. Padahal, saat ini pendapatannya merosot. Dari botol dan dus bekas yang dipungutnya, sekarang dia hanya mengumpulkan Rp 30.000-Rp 40.000 per hari.
Untuk bertahan hidup, Widodo kini terus keluar-masuk kampung di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menahan laju penularan Covid-19. ”Harus berangkat terus setiap hari. Kalau sehari saja libur, uang saya minus karena kepotong untuk kebutuhan makan,” katanya.
Ketua Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) Bagong Suyoto, saat dihubungi di Jakarta, Senin (11/5/2020), mengungkapkan, hingga akhir pekan lalu baru 1.000 paket bantuan kebutuhan pokok dari pemerintah pusat yang diterima pemulung di wilayah TPST Bantargebang. Masih lebih banyak pemulung yang belum menerima bantuan karena jumlah mereka di Bantargebang mencapai 6.000 orang. Itu pun belum mencakup ribuan pemulung lain di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumurbatu. Sebenarnya sebagian pemulung di Bantargebang dan Sumurbatu, Bekasi, telah didata RT/RW setempat sejak sebulan lalu.
Ketiadaan data pasti terkait jumlah pemulung menjadi salah satu penyebab sulitnya menyalurkan bantuan kepada kelompok ini. ”Ada bantuan, tetapi terbatas. Kalau ada data pasti jumlah pemulung, bisa tepat sasaran,” kata Bagong.
Secara terpisah, Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Pris Polly Lengkong mengungkapkan, sebagian besar anggota IPI tidak memiliki KTP karena mereka umumya kesulitan memenuhi syarat pengurusannya, yaitu KTP lama atau kartu keluarga (KK) dan surat nikah. Masalah ini menghambat IPI untuk mengusulkan anggotanya memperoleh bantuan sosial. Padahal, saat pandemi ini, bantuan tersebut sangat diperlukan.
Menurut Pris Polly, sekitar 20.000 keluarga anggota IPI sangat membutuhkan bantuan pemerintah. Sebagian besar dari mereka berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat mengakui, Kemensos kesulitan mendata, memantau, dan menjangkau pemulung untuk diberikan bansos. Salah satu sebabnya, mereka lazimnya tidak menetap di suatu tempat dan tidak memiliki identitas. Untuk mengatasi masalah ini, Kemensos meminta pemerintah daerah lebih proaktif mendata masyarakat di wilayahnya meski mereka bukan asli warga setempat. Data warga pendatang dapat diusulkan ke Kemensos.
Setelah terdata, mereka dapat diberi bantuan dan tempat penampungan sementara. Contohnya, Kemensos bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan gelanggang olahraga (GOR) untuk menampung warga telantar, seperti tunawisma, korban pemutusan hubungan kerja, termasuk pemulung. Ada juga balai rehabilitasi sosial yang dijadikan tempat penampungan, seperti Balai Rehsos Mulya Jaya, Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Menteri Sosial Juliari P Batubara mengecek Balai Rehsos Mulya Jaya, Senin petang. ”Ini merupakan salah satu untuk membantu masyarakat yang mungkin terlupakan. Mereka yang tinggal di jalanan dalam keadaan normal saja sulit kehidupannya, apalagi saat pandemi,” katanya.
Pendataan pemulung mesti secepatnya dilakukan agar mereka terpantau dan dapat diajak bekerja sama mengatasi persoalan di komunitasnya dan berperan lebih aktif untuk menjaga lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui, pemulung berperan penting dalam pengelolaan sampah. Mereka bersama bank sampah dan tempat pengelolaan sampah terpadu 3R membantu pengurangan timbunan sampah yang menjadi beban di TPA.
Namun, keberadaan mereka masih terpinggirkan karena kerap luput dari program-program pemerintah. Sebagai langkah awal, pemerintah daerah diminta mendata keberadaan para pemulung ini untuk menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah di daerah.
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar mengatakan, para pemulung perlu didaftar sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah di daerah. Setelah terdaftar, pemerintah daerah bisa memberikan identitas, alat pelindung diri, dan seragam. ”Ini supaya teman-teman di sektor informal ini tidak lagi marjinal, masuk kompleks tidak boleh, dan sebagainya. Mereka bisa bekerja tanpa ketakutan dan dikejar-kejar,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial tahun 2019, ada 154.249 pemulung di Indonesia. Sebanyak 17.360 orang ada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). KLHK mencatat jumlah lebih besar, yakni 5 juta orang di 25 provinsi pada tahun 2018.
IPI menyatakan punya 3,7 juta anggota. Mereka belum termasuk atau beririsan dengan APPI dan Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia (APDUPI). APPI memperkirakan ada 1 juta pemulung di Jabodetabek. (ETA/SYA/XTI/TAM/DIT/DAN/SAN/SON/ICH)