Pendidikan Ditempatkan sebagai Komoditas dengan Mekanisme Pasar
RUU Cipta Kerja mengubah sejumlah pasal dalam undang-undang terkait pendidikan tinggi. Perubahan ini dinilai menafikan norma-norma kebangsaan dan pilar normatif kebebasan akademik di perguruan tinggi.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di bidang pendidikan tinggi dinilai akan menempatkan hasil pendidikan sebagai komoditas dengan mekanisme pasar. Perubahan sejumlah undang-undang terkait pendidikan tinggi untuk memudahkan investasi guna memproduksi tenaga kerja berpotensi menimbulkan konflik etika.
RUU ini akan mengubah sejumlah pasal dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Perubahan sejumlah pasal di tiga undang-undang ini menafikan norma-norma kebangsaan dan pilar normatif kebebasan akademik di perguruan tinggi.
Perubahan UU No 12/2012, misalnya, sumber norma kebudayaan bangsa sebagai dasar pelaksanaan pendidikan yang tertuang dalam Pasal 1 Angka 2 undang-undang ini dihapus. Kemudian, penghapusan prinsip nirlaba dalam penetapan otonomi pengelolaan perguruan tinggi yang diatur dalam Pasal 63 mengubah prinsip penyelenggaraan pendidikan lebih mengikuti mekanisme pasar.
”Dalam RUU Cipta Kerja, pendidikan diletakkan dalam konteks uang, investasi, dan perolehan laba, serta hasilnya untuk memenuhi suatu proses produksi industri. Oleh karena itu, budaya bangsa, keadilan, dan kemanusiaan sebagai landasan proses pendidikan tidak diperlukan. Hal itu bertentangan dengan Pasal 28C dan Pasal 28E UUD 1945,” kata Hariadi Kartodihardjo dari IPB University dalam diskusi RUU Cipta Kerja di Bidang Pendidikan Tinggi yang diadakan Dewan Guru Besar IPB University dan Asosiasi Profesor Indonesia, Senin (11/5/2020).
Kentalnya mekanisme pasar dalam RUU Cipta Kerja di bidang pendidikan tinggi, antara lain, juga tertuang dalam perubahan Pasal 90 UU No 12/2012 yang menghapus segala bentuk persyaratan bagi perguruan tinggi asing yang mendirikan kampusnya di Indonesia. Tidak ada lagi ketentuan akreditasi, lokasi, program studi yang boleh dikembangkan, kewajiban kerja sama dengan perguruan tinggi lokal, serta memprioritaskan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
Perubahan Pasal 8 UU No 14/2015 juga akan lebih menghargai perguruan tinggi luar negeri. Pasalnya, dosen yang mendapat gelar sarjana dari perguruan tinggi luar negeri yang terakreditasi tidak wajib mempunyai persyaratan sertifikat pendidik, sebaliknya dosen yang mendapat gelar sarjana dari perguruan tinggi di dalam negeri wajib memiliki sertifikat pendidik.
Terkait sertifikasi dosen tersebut, kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam, konteksnya adalah lulusan perguruan tinggi asing tidak perlu mendapat sertifikat dari pemerintah. Sertifikat dari pemerintah akan membawa konsekuensi pemberian tunjangan oleh negara.
”Dalam redaksional draf RUU Cipta Kerja agak miss sehingga seolah-olah mereka yang lulusan luar negeri tidak perlu sertifikasi,” kata Nizam.
Dia sepakat dengan Hariadi bahwa seharusnya sumber norma kebudayaan bangsa sebagai dasar pelaksanaan pendidikan yang tertuang dalam Pasal 1 Angka 2 UU No 12/2012 harus dipertahankan. Hal ini juga sesuai Pasal 31 Ayat 3 dan 4 UUD 1945.
Era kompetisi
Ferdiansyah, anggota Badan Legislasi (Baleg) RUU Cipta Kerja DPR dari Fraksi Golkar Daerah Pemilihan Jawa Barat, mengatakan, klausul kebudayaan bangsa yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan makna pemajuan kebudayaan Indonesia. Hal ini sudah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
”RUU Cipta Kerja di bidang pendidikan ini untuk mendorong perlunya budaya kompetisi perguruan tinggi (dalam negeri) agar bersaing untuk menghasilkan riset dan inovasi. RUU ini untuk mendukung riset dan inovasi,” ujarnya. Ferdiansyah mengatakan, RUU Ini belum final dan Baleg masih menyerap aspirasi dari masyarakat.
Dodi Nandika, anggota Dewan Guru Besar IPB University, mengatakan, pendirian perguruan tinggi asing di Indonesia tidak mungkin dilarang. Namun, pemerintah juga harus melindungi kepentingan bangsa. ”Kita boleh menerima perguruan tinggi asing, tetapi syaratnya prodi harus diatur, wilayah pendirian juga tidak bisa bebas di mana saja,” ujarnya.