Agar Bertahan di Saat Krisis, Keluarga Harus Adaptif
Jika tidak bisa dikelola, pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 berpotensi menyebabkan kekerasan di dalam rumah. Karena itu, suami istri mesti adaptif dalam melalui masa krisis ini.
Pandemi Covid-19 yang memaksa keluarga harus berada di rumah, tidak hanya berdampak ke sektor ekonomi, tapi juga akan memengaruhi kehidupan keluarga. Kemampuan keluarga dalam menghadapi krisis sangat menentukan keberlangsungan keluarga di masa mendatang. Jika tidak siap, akan muncul bencana-bencana baru di dalam rumah tangga.
Ketika dalam kurun waktu yang cukup panjang berada di dalam rumah, potensi konflik sangat mungkin terjadi di antara anggota keluarga. Perubahan cara hidup yang drastis, dari yang biasa keluar rumah, mendadak harus tinggal di dalam rumah, menimbulkan masalah besar.
Jika perubahan tersebut tidak segera diantisipasi, maka persepsi tentang rumah yang sebelumnya dipandang sebagai ‘rumahku istanaku’ bisa jadi akan berubah menjadi ‘rumahku adalah neraka’. Berbagai tekanan yang dihadapi saat pandemi berpotensi menimbulkan konflik dan ketegangan di rumah. Jika laki-laki dan perempuan (suami dan istri) tidak mampu mengatasi dan mengelolanya. Kekerasan bisa terjadi terhadap salah satu pihak.
Di tengah kesulitan ekonomi, tekanan psikologis saat tinggal lama di rumah dan daya tahan keluarga benar-benar diuji saat ini. Perempuan misalnya, ketika berada di rumah kini berperan ganda (mengurus rumah, mendampingi anak, sekaligus bekerja dari rumah jika dia seorang pekerja). Dalam kondisi seperti ini, peran laki-laki (suami) sangat berarti. Suami tidak bisa lagi berpangku tangan, membiarkan istri dengan beban ganda mengurus pekerjaan domestik.
Dalam kondisi krisis, suami harus ‘move on’ atau berubah. Agar keluarga bisa kuat menghadapi krisis saat ini, sangat dibutuhkan kerjasama antara suami-istri, termasuk anak-anak untuk saling mendukung, menghargai satu sama lain, serta berbagi peran domestik saat berada di rumah.
“Dalam situasi pandemi ini, rumah haruslah menjadi tempat yang paling aman dan nyaman. Keadaan ini dimulai dengan berbagi tugas domestik bersama pasangan, termasuk dalam pengasuhan anak, sehingga perempuan tidak akan mengalami tugas yang overload,” ujar Deputi Perlindungan Bidang Hak Perempuan (PHP) Vennetia R Dannes, saat membuka Diskusi Diskusi Webinar “Beradaptasilah dengan Krisis: Keluarga di Tengah Pandemi Covid-19” Jumat (15/5/2020) pekan lalu.
Hanya dengan cara seperti itu, keluarga-keluarga bisa tetap bertahan di masa krisis saat ini. Sebab, ketegangan, konflik, dan kekerasan, bisa membuat daya tahan keluarga terhadap krisis turun dan menjadi lemah.
“Ketidakmampuan suami-istri, ayah-ibu untuk adaptif dengan krisis akan menimbulkan masalah dalam keluarga,” ujar Nur Hasyim Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), UIN Walisongo Semarang.
Laki-laki paling gagap beradaptasi
Meskipun kedua pihak (suami-istri, laki-laki dan perempuan) dituntut untuk adaptif, menurut Nur Hasyim, sesungguhnya kemampuan laki-laki untuk adaptif terhadap krisis sangat memengaruhi baik tidaknya kondisi keluarga. Sebab, sejumlah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi, merupakan manifestasi dari relasi-relasi yang bermasalah dalam keluarga.
Mengapa laki-laki yang paling rentan dan gagap beradaptasi saat pandemi Covid-19? Karena laki-laki sangat dipengaruhi oleh konsep maskulinitas patriarkis, yang mengacu pada norma-norma laki-laki itu sendiri, yakni memiliki kekuatan kekuatan emosional, tidak tampak rapuh, pencari nafkah, dan keberanian mengambil risiko sebagai pemimpin, superior, dan dominan.
Selain sangat lekat dengan patriarki, laki-laki tidak memiliki kecakapan emosional dan relasional dalam mengelola emosi yang baik, komunikasi positif, kecakapan mendengarkan, dan cenderung menggunakan prinsip menang kalah dalam menyelesaikan masalah, serta tidak memiliki kecakapan bernegosiasi dan kompromi.
Dalam keseharian, laki-laki cenderung memainkan peran jender yang kaku. Misalnya, menuntut pelayanan daripada melayani, enggan terlibat dalam peran-peran domestik dan pengasuhan, cenderung memiliki perilaku beresiko, enggan mencari pertolongan, serta cenderung menerima penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Karena itulah, saat ada kebijakan isolasi atau pembatasan sosial di masa pandemi Covid-19, laki-laki lah yang justru mengalami tekanan luar biasa, terutama saat berubahnya situasi yang terkait dengan peran-peran jender selama ini. Mengapa? Karena suami yang selama ini terbiasa bekerja di ruang publik, kini harus beralih bekerja dari rumah. Perubahan ini bisa menjadi masalah, terutama ketika sang suami/ayah tidak memiliki relasi yang baik dengan istri dan anak-anak.
“Bayangkan, selama ini hubungan mereka tidak dekat, lalu si suami atau ayah harus tinggal di rumah dalam 24 jam. Bagaimana anak-anak tidak nyaman, ayahnya juga tidak nyaman. Itu akan jadi persoalan. Kalau mereka tidak segera membangun rekonsiliasi dan pola hubungan baru, itu berpotensi stres, dan kalau gagal akan berubah jadi kemarahan,” papar Nur Hasyim.
Jika tidak bisa dikelola, kondisi ini berpotensi terjadi kekerasan di dalam rumah. Idealnya, sikap adaptif harus ditunjukkan oleh laki-laki dan perempuan. Namun konsep maskulinitas patriarki, ketidakcakapan emosional, dan relasional, peran jender yang kaku, membuat posisi kaum laki-laki sangat rentan di saat pandemi Covid-19.
Satu-satunya cara untuk dapat menghadapi krisis, laki-laki harus beradaptasi dengan situasi yang berubah. Laki-laki harus adaptif di saat krisis dengan cara terbuka dan dapat menerima konsep-konsep baru menjadi laki-laki (maskulinitas), mempraktikkan peran jender yang lebih terbuka dan fleksibel, serta memiliki kemampuan untuk mengelola emosi sendiri dan merespon emosi orang lain secara positif.
Selain adaptif, kunci dalam menjaga keluarga agar bisa bertahan melewati krisis adalah daya tahan keluarga harus kuat. “Ada prasyaratnya yakni keluarga harus bisa jadi tahan banting, mesti lentur dan fleksibel. Kelenturan keluarga bergantung pada kelenturan anggota keluarga, suami-istri dan juga anak-anak,” kata Nur Hasyim.
Kelenturan tersebut mengharuskan mereka untuk keluar dari konsep pembagian-pembagian peran yang dikotomi, rigid, dan hirarki. Dengan begitu, laki-laki tidak lagi mengacu pada ukuran-ukuran yang diciptakan oleh norma-norma patriarki tentang kekuatan fisik, superioritas, dan dominasi. Sebaliknya mengedepankan konsep-konsep yang lebih menghormati, menghargai, kerjasama, tolong-menolong.
“Itu menjadi cara pandang baru bagi laki-laki di dalam situasi krisis ini, sehingga memungkinkan mereka untuk menghargai, bekerja sama dan saling mendukung dengan pasangan,” katanya.
Maka, laki-laki membutuhkan kemampuan yang fleksibel berkaitan dengan mengelola emosi dirinya sendiri dan merespon emosi orang lain secara positif. Selain itu, mempraktikkan peran-peran jender yang lebih terbuka dan fleksibel. Tidak lagi berpikir soal peran laki-laki atau perempuan dalam keluarganya, tetapi bagaimana keluarga ini bisa bertahan dalam situasi krisis.
Pertaruhan keluarga
Alissa Wahid, psikolog, Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Kemasyarakatan Keluarga NU (LKKNU), menilai keluarga adalah unit yang kemudian terdampak paling dahsyat dalam situasi pandemi Covid-19, mulai dari risiko kesehatan, ekonomi, hingga kesejahteraan keluarga. Utuh tidaknya sebuah keluarga dipertaruhkan dalam masa pandemi ini.
Fenomena kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di dunia pada saat pandemi juga terjadi di Indonesia. Kasus perceraian juga meningkat, belum lagi kehamilan yang tidak direncanakan. Di tengah situasi tersebut, relasi kuasa ini akan semakin terlihat. Ketika ruang-ruang gerak terbatas, ruang privasi makin sempit, akan muncul ketegangan yang akan akan memicu emosi yang berlebihan.
“Nah yang paling berat itu adalah ketidakmampuan beradaptasi terhadap tekanan ini, ujungnya yang paling parah adalah kekerasan, baik kekerasan berbasis jender terutama kekerasan terhadap perempuan maupun anak. Orang tua yang tidak sabar kepada anak, pada pada akhirnya mudah sekali terjebak pada kekerasan verbal maupun kekerasan fisik,” papar Alissa.
Kekerasan tersebut bersumber dari ketidakmatangan pasangan suami-istri dan kurangnya pembekalan dalam mengelola dinamika perkawinan. Bagi Alissa, sesungguhnya apapun tantangan yang muncul sekarang ini muncul, ibarat menaman dan menuai. Kalau yang ditanam benih baik maka saat pandemi sekarang ini, seharusnya menjadi masa panen raya, karena keluarga berkumpul.
“Tapi kalau benih yang kemarin kita tanam itu benihnya kurang baik dan kurang disiangi maka sekarang ini yang terjadi adalah gagal panen,” tandasnya.
Bahkan, Alissa mengibaratkan kondisi keluarga yang tidak kokoh bagaikan sebuah bangunan yang masih berdiri tapi pilar-pilarnya sudah retak. Jadi memang bangunannya masih berdiri tapi begitu ada guncangan sedikit, gempa misalnya, maka pilar tersebut akan patah dan bangunannya ambruk, termasuk saat pandemi seperti sekarang.
Artinya, landasan yang kokoh menjadi penentu daya tahan keluarga, saat krisis. Landasan tersebut harus ditopang dengan visi keluarga yang jelas, agar keluarga mampu bertahan melewati krisis saat ini. Semoga !