Pemerataan akses layanan pendidikan dan kualitas pendidikan melalui kebijakan zonasi harus diikuti pula dengan langkah redistribusi guru berkualitas serta pembenahan sarana dan prasarana di semua sekolah.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Bank Dunia dalam laporan tahun 2019 yang berjudul ”Janji Pendidikan di Indonesia” menyebutkan bahwa sejak 2000 angka partisipasi siswa meningkat lebih dari 10 juta orang atau 25 persen. Namun, tantangan masih banyak, mulai dari rendahnya kualitas pendidikan hingga tingginya ketimpangan pembelajaran antardaerah, bahkan antarsekolah.
Hasil Program Asesmen Siswa Internasional (PISA) 2018 menunjukkan, kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, yaitu di peringkat ke-72 dari 77 negara yang disurvei. Indeks Modal Manusia pun masih rendah, yaitu di peringkat ke-87 dari 157 negara dalam Human Capital Index yang diterbitkan Bank Dunia pada 2018.
Sementara itu, hasil ujian nasional menunjukkan, siswa di wilayah Indonesia bagian tengah umumnya berprestasi baik dibandingkan siswa di wilayah timur dan paling barat Indonesia. Kabupaten dengan pendapatan yang lebih tinggi, pusat-pusat kota besar, cenderung memiliki hasil ujian nasional yang lebih baik daripada daerah yang berpendapatan rendah, seperti di perdesaan.
Pendidikan yang berkualitas terpusat di wilayah-wilayah tertentu dan bahkan di sekolah-sekolah tertentu.
Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan yang berkualitas terpusat di wilayah-wilayah tertentu dan bahkan di sekolah-sekolah tertentu. Munculnya dikotomi sekolah favorit dan sekolah nonfavorit pun melanggengkan ketimpangan pembelajaran tersebut.
Upaya mengurai permasalahan tersebut dengan menerapkan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) sejak tahun ajaran 2017/2018 belum dapat dikatakan membuahkan hasil yang baik meski dari tahun ke tahun ada upaya perbaikan sistem. Masyarakat masih saja memburu sekolah favorit yang identik dengan berkualitas bagus karena dinilai menjadi kunci sukses dan garansi masa depan anak-anak mereka.
Sekolah berkualitas bagus memang tidak hanya di negeri, tetapi ada juga di swasta. Hasil ujian nasional tingkat SMA pada 2019, misalnya, menunjukkan, dari 100 sekolah dengan nilai UN terbaik, 63 sekolah merupakan sekolah swasta. Masalahnya, secara umum, sekolah berbiaya murah ada di sekolah negeri sehingga sekolah negeri yang berkualitas akan selalu menjadi favorit masyarakat.
Hak akses layanan pendidikan
Tak ayal, ketidakpuasan dan protes orangtua yang anaknya tidak bisa masuk di sekolah favorit karena kendala zona selalu terjadi. Sistem zonasi dinilai tidak berkeadilan karena siswa yang mempunyai nilai ujian bagus tidak bisa memilih sekolah favorit hanya karena rumahnya tidak masuk dalam zona sekolah tersebut.
Demikian pula anak-anak yang di daerah tempat tinggalnya tidak ada sekolah, seperti siswa di daerah pinggiran atau di daerah kepulauan, mereka tidak mempunyai hak sama untuk mengakses layanan pendidikan. Mereka harus mempunyai nilai bagus atau prestasi nonakademik untuk bisa diterima di sekolah negeri, bahkan yang tidak favorit sekalipun.
Namun, bagi siswa yang tinggal di dekat sekolah favorit, sistem zonasi ini menguntungkan. Demikian pula dengan siswa pemegang Kartu Indonesia Pintar. Mereka kini mempunyai kesempatan lebih besar untuk diterima di sekolah negeri, termasuk sekolah yang dinilai favorit, melalui jalur afirmasi.
Penelitian Gunarti Ika Pradewi dan Rukiyati dari Universitas Negeri Yogyakarta yang dimuat di Jurnal Manajemen dan Supervisi Pendidikan pada 1 November 2019 menunjukkan, kebijakan zonasi memberikan kemudahan akses pendidikan bagi masyarakat. Masyarakat bisa bersekolah di sekolah yang ada di lingkunganya.
Selain itu, sistem zonasi juga memungkinkan setiap sekolah negeri memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh input siswa yang unggul. Hal ini dapat menghilangkan label sekolah favorit yang selama ini menjadi pengastaan dalam dunia pendidikan.
Namun, pemerataan tersebut belum berbanding lurus dengan peningkatan kualitas. Justru sistem zonasi dapat menurunkan kualitas sekolah. Karena sekolah menjadi sama, menurut pendapat para guru dalam penelitian tersebut, motivasi untuk bersaing menjadi sekolah unggulan bisa berkurang.
Merata rendah
Darmaningtyas, pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa, pun mengkhawatirkan, sistem zonasi justru akan menciptakan pemerataan kualitas pendidikan yang rendah. Kualitas pendidikan yang tinggi tidak hanya ditentukan oleh input-nya, tetapi juga oleh prasarana dan sarana, guru, serta proses pembelajaran itu sendiri.
Untuk meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan, pembenahan PPDB dalam waktu yang sama harus diikuti perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, pemerataan kuantitas dan kualitas guru, serta perbaikan proses pembelajarannya. Jika tidak, sepuluh tahun mendatang bisa jadi akan sulit mendapatkan sekolah negeri yang bermutu.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengatakan, sistem zonasi pada PPDB akan diikuti dengan redistribusi guru. Tujuannya, agar guru-guru berkualitas bisa tersebar di seluruh wilayah, tidak hanya terpusat di wilayah atau sekolah tertentu.
Namun, Hamid mengakui, redistribusi guru belum optimal karena belum bisa serentak dilakukan di semua daerah. Demikian pula dengan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Karena itu, dia meminta pemda cermat dalam menetapkan zonasi, termasuk memperhatikan wilayah blank spot atau wilayah yang tidak ada sekolah negerinya agar siswa di daerah tersebut mempunyai hak yang sama dengan siswa lain.
Perlu komitmen semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat, untuk mewujudkan pendidikan yang merata, baik dari segi akses maupun kualitas. Otonomi daerah tidak seharusnya menjadi kendala. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendikbud, kata Darmaningtyas, mempunyai kuasa untuk mengendalikan mutu pendidikan meski kewenangan pendidikan dasar dan menengah ada di daerah.
Namun, yang terpenting, upaya pemerataan pendidikan jangan sampai melanggar hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan bermutu, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.