AJI Jakarta dan AMSI: Usut Kasus Ancaman Pembunuhan Jurnalis Detikcom
Peran pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Namun, dalam menjalankan peran itu, acap kali pers mengalami ancaman.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kekerasan dialami seorang jurnalis Detikcom, Selasa (26/5/2020). Korban mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh setelah menulis sebuah berita.
Sebelumnya, jurnalis Detikcom menulis berita tentang rencana Presiden Joko Widodo akan membuka mal di Bekasi di tengah pandemi Covid-19. Informasi itu muncul dari pernyataan Kepala Subbagian Publikasi Eksternal Humas Sekretariat Daerah Kota Bekasi.
Namun, pernyataan Kasubbag itu kemudian diluruskan oleh Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Bekasi, yang menyebut bahwa Presiden Jokowi hanya meninjau sarana publik di Kota Bekasi dalam rangka persiapan normal baru atau new normal setelah pembatasan sosial berskala besar. Klarifikasi itu pun telah dipublikasi Detikcom dalam bentuk artikel.
Meski sudah ada klarifikasi, jurnalis tetap mengalami hujatan di media sosial. Nama penulis yang tercantum di dalam berita bahkan menyebar di internet, dari Facebook hingga Youtube. Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris. Dia mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan. Selain itu, situs Seword melakukan hal serupa dan menyebarkan opini yang menyerang penulis dan media.
Cara-cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online.
”Cara-cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani, Kamis (28/5/2020), dalam siaran pers di Jakarta.
Selain doxing, jurnalis itu juga mengalami intimidasi lantaran diserbu pengemudi ojek daring yang membawa makanan kepadanya. Padahal, kenyataannya ia tak memesan makanan melalui aplikasi. Bahkan, jurnalis tersebut juga diduga menerima ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal melalui pesan Whatsapp.
AJI Jakarta menilai, di tengah upaya Presiden Jokowi melakukan persiapan normal baru, pemberitaan yang tak sepaham dengan narasi pemerintah tampaknya menjadi sasaran penyerangan. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 4 Ayat 1-3 menjelaskan, salah satu peran pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Yang menghambat atau menghalangi maupun menyensor dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Kasus kekerasan dalam bentuk doxing terhadap jurnalis bukan baru kali ini terjadi di Jakarta. Sebelumnya ada lima kasus jurnalis yang mengalami doxing terkait pemberitaan sejak 2018.
Melalui Dewan Pers
Menyikapi kasus ini, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengimbau warga masyarakat yang memiliki sengketa pemberitaan dengan media massa untuk menyelesaikannya melalui mekanisme UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Setiap pengaduan terhadap media bisa disampaikan kepada redaksi untuk memperoleh hak jawab dan koreksi.
”Jika dinilai belum memuaskan, warga bisa mengadu ke Dewan Pers untuk dicarikan solusi melalui mediasi. Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, Dewan Pers adalah lembaga negara yang berhak memberikan penilaian atas ada tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik serta memberikan sanksi kepada media massa,” kata Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut.
Pers tentu tidak alpa dari kesalahan. UU Pers dibuat untuk memastikan koreksi bisa dilakukan, dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers. Kesalahan jurnalistik tidak boleh berujung pada kekerasan atau pemidanaan terhadap wartawan. Dengan kebebasan pers yang kokoh, publik diuntungkan oleh adanya mekanisme checks and balances untuk memastikan akuntabilitas pemerintah melayani kepentingan warga. Menyerang pers dan mengintimidasi wartawan hanya akan mencederai ekosistem informasi yang kredibel dan bebas, serta merusak demokrasi.
Karena itulah AMSI mengkritik keras perisakan dan intimidasi siber, terutama praktik doxing atau membuka informasi pribadi yang dilakukan para buzzer maupun warganet yang berpotensi merusak kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini seperti yang dialami jurnalis Detikcom. Tanpa pers yang bebas dan jurnalisme yang berkualitas, informasi yang beredar di masyarakat akan mudah disetir oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai kepentingan politik maupun ekonomi.
”Kami meminta aparat penegak hukum segera mengusut dugaan pelanggaran pidana berupa kekerasan siber (perisakan online dan doxing) maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis hingga pelakunya diadili di pengadilan,” ujarnya.