Kondisi Pekerjaan, Keuangan, dan Pangan Keluarga Memburuk Selama Pandemi
Masa pandemi Covid-19 dengan segala bentuk pembatasan sosialnya ternyata memperburuk kondisi keluarga, mulai dari sisi pekerjaan, keuangan, hingga pangan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 saat ini sangat memengaruhi kualitas kehidupan penduduk Indonesia dalam rangka meraih bonus demografi. Hasil survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menemukan kondisi kehidupan keluarga di Tanah Air berubah memburuk, terutama kondisi pekerjaan, keuangan, pangan, serta interaksi dan komunikasi keluarga.
Hasil survei daring tentang ”Kondisi Keluarga pada Masa Pandemi Covid-19” oleh Puslitbang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 19 April-3 Mei 2020 menemukan adanya perubahan hidup keluarga di masa pandemi. Survei ini melibatkan 20.680 responden suami istri dari sejumlah daerah.
Selain berimbas pada kondisi pekerjaan (67 persen) dan keuangan (67,7 persen), sebagian besar responden juga mengakui, selama pandemi, kecukupan pangan mereka memburuk (53,1 persen) dan juga interaksi/komunikasi keluarga besar (41,0 persen). Adapun dalam kondisi kesehatan, hanya 23,7 persen responden yang menyatakan keadaannya memburuk. Begitu juga dengan interaksi/komunikasi keluarga inti, hanya 23,3 persen yang mengakui kondisinya lebih buruk.
”Kondisi kecuku pan makanan yang memburuk ada 51 persen, lebih tinggi daripada mereka yang tidak berubah (dalam) hal kecukupan makanan. Yang menarik di sini adalah 75,6 persen responden merasa kondisi kesehatan mereka tetap biasa saja. Saya juga khawatir ketika mereka tidak merasa kesehatan mereka tak terancam,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam seminar daring tentang ”Tantangan Kependudukan di Tengah Pandemi Covid-19 PMI Pulang Kampung” yang digelar BKKBN dan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis (28/5/2020).
Selain Hasto, juga tampil berbicara adalah Aswatini (peneliti LIPI) dengan topik ”Pekerja Migran Indonesia dan Risiko Penularan Covid-19” serta Salut Muhidin (pakar demografi yang juga dosen senior Macquarie University, Sydney, Australia) dengan topik ”Antara Pulang Kampung, Keluarga, dan Covid-19: Perspektif Pekerja Migran Indonesia”.
Puluhan ribu PMI akan pulang
Seminar tersebut membahas dampak yang akan terjadi menyusul pulangnya puluhan ribu pekerja migran Indonesia (PMI) yang habis masa masa kontraknya pada Mei-Juni 2020. Selain berisiko pada penyebaran virus korona baru, kepulangan mereka dikhawatirkan memberikan dampak lain, terutama pada perkembangan penduduk di Tanah Air.
”Kembalinya pekerja migran Indonesia juga menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran. Peningkatan pengangguran usia produktif berimplikasi pada masalah kependudukan, terutama terhadap pencapaian dan pemanfaatan bonus demografi,” ujar ketua panitia seminar Hitima Wardhani.
Diperkirakan Indonesia akan menyambut kepulangan sekitar 260.000 pekerja migran Indonesia sampai akhir tahun ini.
Hitima mengungkapkan, dalam rapat kabinet terbatas pada 11 Mei 2020, Presiden Joko Widodo menyebutkan sekitar 34.000 PMI akan habis masa kontraknya dan akan pulang ke Indonesia pada periode Mei-Juni 2020. Kedatangan PMI ini akan terus berlanjut, bahkan diperkirakan Indonesia akan menyambut kepulangan sekitar 260.000 PMI sampai akhir tahun ini.
Salut Muhidin mengingatkan dampak yang dihadapi ketika terjadi gelombang PMI pulang ke Tanah Air saat pandemi masih terjadi. ”Jadi, dampak paling besar akan terjadi pada PMI dengan pendapatan kecil. Sebab, kita tahu pendapatan PMI tidak selalu besar. Ada yang gajinya mulai dari Rp 1 juta,” katanya.
Menurut Salut, saat ini langkah yang bisa dilakukan para PMI adalah bertahan dengan segala upaya, termasuk mengirim bantuan kepada PMI, bukan sebaliknya menerima remitansi. Sejumlah PMI saat ini terpaksa harus menyiasati hidup menggunakan tabungan atau menjual aset ataupun meminjam.
”Sejumlah keluarga dapat mengalami kesulitan keuangan karena pengeluaran harus tetap ada, sementara pemasukan tidak ada. Strategi yang dilakukan dengan mengurangi belanja, atau jika memungkinkan memakai tabungan dan mencari pinjaman,” ujarnya.
Namun, untuk jangka panjang, jika situasi terus terpuruk, akan berdampak besar pada keharmonisan dalam rumah tangga, hubungan pasangan suami-istri dan juga dengan anggota lainnya, termasuk gizi dan pendidikan anak.
”Perlu ada jaringan pengaman sosial untuk PMI sehingga ada sumber yang dapat digunakan pada saat terjadi hal-hal yang bersifat darurat, seperti saat pandemi Covid-19,” katanya.
Aswatini juga mengingatkan kepulangan PMI ke daerah asalnya, terutama dari negara-negara dengan kasus Covid-19 cukup besar, memerlukan perhatian serius dari pemerintah setempat guna mengurangi penyebaran Covid-19, khususnya di tingkat kabupaten.
Akan tetapi, dia mengatakan, PMI yang sudah kembali ke Indonesia memiliki hak kapan saja untuk kembali bekerja di luar negeri selama ada negara yang menerima.
”Mencermati dampak Covid-19 yang menyebabkan tingginya pengangguran di Indonesia, di saat Indonesia juga sedang mengalami bonus demografi, maka adanya peluang bekerja di luar negeri merupakan alternatif yang tentu dipertimbangkan calon PMI yang baru ataupun yang kembali,” kata Aswatini.