Banyak hal yang harus dipertimbangkan secara matang untuk membuka sekolah di masa pandemi ini. Para ahli epidemiologi pun harus dilibatkan mengingat anak-anak termasuk kelompok rentan terhadap Covid-19.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan tahun ajaran 2020/2021 tetap dimulai pada minggu ketiga Juli 2020 atau pada Senin, 13 Juli. Bisa maju atau mundur satu minggu, tergantung keputusan pemerintah daerah.
Adapun pembukaan sekolah atau kembali ke proses belajar-mengajar dengan sistem tatap muka hanya dimungkinkan di kawasan zona hijau atau wilayah dengan catatan nol kasus Covid-19. Ini mengacu keputusan Gugus Tugas Covid-19.
Pada Kamis (28/5/2020) paling tidak terdapat 108 kabupaten/kota yang masuk kategori zona hijau atau sekitar 21 persen dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia. Ini belum angka pasti karena bisa bertambah atau berkurang karena pandemi Covid-19 belum berakhir.
Di tengah upaya pemerintah menyiapkan tatanan normal baru, sejumlah daerah pun mewacanakan membuka sekolah, paling tidak mulai tahun ajaran baru. Meski dengan protokol kesehatan sekalipun, menurut peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, pembukaan sekolah masih sangat berisiko.
Potensi mereka tertular Covid-19 sangat besar.
Bagi siswa dari kelas ekonomi menengah ke bawah, ke sekolah bisa berarti menggunakan transportasi publik yang memungkinkan mereka bertemu banyak orang dari wilayah dari zona Covid-19 yang beragam, bahkan berdesak-desakan di angkutan umum. Potensi mereka tertular Covid-19 sangat besar.
Dengan berbagai keterbatasan infrastruktur pendukung, belum tentu mudah juga bagi sekolah untuk melaksanakan protokol kesehatan secara baik. Alat pengecek suhu, cairan pembersih tangan, sabun cuci tangan, toilet, dan air bersih belum tentu mencukupi sesuai jumlah siswa. Belum lagi membuat ruang kelas yang berjarak terutama di sekolah negeri.
Penerapan protokol kesehatan secara ketat harus dijamin jika sekolah hendak dibuka. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahrisa Tanjung, harus ada jaminan pula semua warga sekolah menggunakan masker, dan alat pelindung diri pun tersedia di unit kesehatan sekolah atau klinik sekolah.
Apakah pemerintah pusat dan daerah dapat menjamin sekolah dapat menyiapkan beragam infrastruktur yang dibutuhkan untuk pelaksanaan protokol kesehatan tersebut? Kalaupun hal tersebut terpenuhi, kata Anggi, apakah ada jaminan protokol kesehatan dapat dipatuhi dengan baik.
Merujuk pada negara-negara seperti Singapura, China, dan Jepang, mereka sangat ketat ketika kembali membuka sekolah. Di Singapura, misalnya, sebelum sekolah dibuka, wajib ada tes usap (swab). Sumber daya yang lebih baik, jumlah siswa tidak banyak, dan wilayah yang kecil memungkinkan hal tersebut dilaksanakan.
Di China, untuk menjamin siswa disiplin menjaga jarak, setiap siswa sekolah dasar mengenakan ”sayap” di punggung mereka. China juga memiliki informasi yang lengkap status kesehatan warganya terkait Covid-19. Di Jepang, pembukaan sekolah hanya diberlakukan untuk siswa kelas pertama dan terakhir, dalam kelompok-kelompok kecil dan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Kelompok rentan
Disiplin dan protokol kesehatan yang ketat menjadi persyaratan mutlak karena anak juga termasuk kelompok rentan terhadap Covid-19. Di beberapa negara, seperti di Jepang, memang belum ada laporan kasus anak terinfeksi Covid-19. Namun, di Indonesia, data Ikatan Dokter Anak Indonesia menunjukkan, angka kesakitan dan kematian anak akibat Covid-19 cukup tinggi.
Hingga 18 Mei 2020, pasien ODP (orang dalam pengawasan) anak mencapai 3.324 anak, 129 anak berstatus ODP meninggal, 584 anak terkonfirmasi positif Covid-19, dan 14 anak meninggal karena Covid-19. Karena itu, menurut Anggi, pendapat para ahli epidemiologi yang memiliki otoritas haruslah menjadi acuan ketika pemerintah akan membuka sekolah.
Belajar dari kasus pembukaan sekolah di Perancis, keyakinan pemerintah bahwa pembukaan sekolah akan aman dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan ternyata tidak terbukti. Hanya seminggu setelah dibuka lagi, sekolah di Perancis ditutup kembali karena terjadi penularan Covid-19 di sekolah (AP, 19 Mei 2020).
Perancis termasuk negara dengan angka penularan Covid-19 yang rendah, dan pembukaan kembali sekolah pun hanya diberlakukan bagi sepertiga siswa di wilayah yang dinilai aman dari Covid-19. Pembukaan sekolah menambah paling tidak 70 kasus baru di Perancis.
Para ahli epidemiologi dunia mengingatkan (The New York Times, 8/5/2020), sekolah yang dibuka kembali dapat mendorong jumlah infeksi baru. Penelitian yang dipimpin ahli virus di Jerman, Christian Drosten, menunjukkan, konsentrasi virus korona jenis baru pada anak-anak yang terinfeksi sangat tinggi, bahkan pada mereka yang tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Konsentrasi virus berbanding lurus dengan daya penularannya.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) menekankan, keputusan untuk membuka sekolah harus didasarkan pada banyak pertimbangan. Selain jaminan kondisi lingkungan yang aman dari Covid-19 dan protokol kesehatan yang ketat, warga sekolah juga harus memahami informasi dasar tentang Covid-19, termasuk cara penularannya, gejalanya, komplikasinya, juga cara pencegahan penularannya.
Dengan segala pertimbangan tersebut, juga menilik perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia selama ini, pembelajaran jarak jauh masih menjadi opsi terbaik untuk menjaga keberlanjutan pendidikan di masa pandemi ini.