Tata kelola Lembaga Penyiaran Publik TVRI diharapkan berada di bawah direksi yang independen. Direksi juga disarankan bisa melahirkan program-program sesuai kebutuhan publik dari Sabang sampai Merauke.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Tata kelola Lembaga Penyiaran Publik TVRI diharapkan tidak terjebak pada fakta historis pendiriannya di masa Orde Baru. Pengelolaannya harus tetap independen, netral, memperhatikan kebutuhan publik, dan adaptif terhadap zaman.
Aktivis perkumpulan Masyarakat Peduli Media (MPM), Darmanto, di sela-sela diskusi virtual ”TVRI dengan Nakhoda Baru Mau Dibawa ke Mana?”, Sabtu (30/5/2020) malam, di Jakarta, mengatakan, selama tiga periode direksi, LPP TVRI digoyang isu ekonomi politik. Ada pihak-pihak tertentu yang tidak ingin LPP TVRI berkembang.
Dia mengakui, ada fakta sejarah yang tidak bisa dihilangkan, yakni TVRI dirintis di era Orde Baru. Fakta itu di masanya pernah membuat tata kelola TVRI tidak independen dan netral. Namun, dia berharap agar pengelolaan saat ini dan jangka panjang tidak terus-menerus terpaku pada masa lalu.
Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI melantik Direktur Utama Pengganti Antarwaktu LPP TVRI 2020-2022 Iman Brotoseno, Rabu (27/5/2020), di Jakarta. Darmanto menceritakan sempat membaca cuitan-cuitan Iman Brotoseno saat masih menjadi buzzer Presiden saat ini, yaitu Joko Widodo. Iman Brotoseno bahkan secara terang-terangan mengakuinya. Hal itu mengkhawatirkan.
Bagaimana dia kemudian menjaga independensinya selama menjabat Direktur Utama LPP TVRI?
”Bagaimana dia kemudian menjaga independensinya selama menjabat Direktur Utama LPP TVRI? Bagaimana Dewan Pengawas LPP TVRI mengawasi kinerja Iman Brotoseno?” ujarnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara menyebutkan syarat-syarat pejabat tinggi madya non-pegawai negeri sipil, seperti harus lulus pascasarjana program magister dan punya rekam jejak 10 tahun. Darmanto tidak menemukan persyaratan tersebut dipenuhi oleh Direktur Utama Pengganti Antarwaktu LPP TVRI 2020-2022 Iman Brotoseno. Apabila isu seperti ini tidak dikelola secara optimal sejak awal, dia khawatir akan muncul permasalahan baru di kemudian hari.
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Puji Rianto, memandang, kekhawatiran publik terhadap independensi direktur baru LPP TVRI harus menjadi perhatian Dewan Pengawas. Apabila kekhawatiran terbukti, publik harus berani menyelamatkan TVRI.
”Keberadaan LPP adalah capaian reformasi yang harus dipertahankan. Menyelamatkan LPP sama dengan menyelamatkan Republik Indonesia. Mandat LPP adalah melayani masyarakat yang beragam,” ujarnya.
Pengamat penyiaran sekaligus Ketua Panitia Khusus Undang-Undang (UU) Penyiaran 2002, Paulus Widiyanto, menekankan, konsep ”publik” dalam UU Penyiaran artinya seluruh rakyat Indonesia. Konsep publik seperti itu mengacu pada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Dalam konteks LPP TVRI, publik berarti warga dari Sabang sampai Merauke.
Oleh karena itu, dia berharap, Direktur Utama LPP TVRI harus bisa membawa partisipasi publik lebih konkret. Teknologi digital yang kini pesat berkembang harus dioptimalkan untuk menjangkau publik ke seluruh Indonesia.
”Program-program TVRI yang lebih menyentuh kebutuhan publik. Jangan mendudukkan LPP dengan logika lembaga penyiaran swasta karena itu akan susah,” katanya.
Meminta komitmen dirut baru
Pada saat bersamaan, Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI Arief Hidayat Thamrin mengatakan, seleksi direktur utama dimulai sejak Februari dengan diikuti 22 pendaftar. Semua mekanisme seleksi sesuai dengan regulasi, yakni penilaian, panel ahli, uji kelayakan dan kepatutan, sampai pelantikan tanggal 27 Mei 2020. Seleksi dilakukan bukan karena terburu-buru, melainkan untuk menyelamatkan lembaga. Salah satu persoalan lembaga adalah belum dibayarkannya tunjangan kinerja terhadap karyawan. Direktur utama yang berstatus pelaksana tugas tidak bisa menjalankan. Kementerian Keuangan meminta pembayaran tunjangan harus dilakukan oleh direktur utama definitif.
Dia menyampaikan, Dewan Pengawas LPP TVRI juga meminta komitmen independensi Direktur Utama Pengganti Antarwaktu Iman Brotoseno. Iman Brotoseno menyanggupi dengan bersedia melepas posisi masa lalunya, yaitu sebagai konsultan politik.
”Lihat kinerja direktur utama tiga sampai enam bulan mendatang. Dia (Iman Brotoseno) telah mempunyai quick wins,” kata Arief.
Direktur Utama LPP TVRI Iman Brotoseno dalam siaran pers, Jumat (29/5/2020), mengatakan, di era digital, semua orang memiliki rekam jejak digital dan peristiwa masa lalu. Hal ini pun terjadi pada dirinya.
Sejak awal mengikuti seleksi direktur utama, dia mengaku tidak pernah berbohong kepada publik. Siapa pun dapat melihat jejak digital dirinya. Dia juga mengklaim tidak terlibat kasus pelanggaran hukum pada masa lalu.
”Pada masa lalu, warganet belum terpolarisasi dan terpecah ke dalam kubu aspirasi politik ataupun ideologi tertentu. Percakapan yang melibatkan beberapa orang, seperti pekerja seni, termasuk saya, dapat menggunakan bahasa gurauan yang oleh pihak lain mungkin dapat dianggap sebagai hal serius,” ujarnya.
Imam menuturkan, 14 tahun lalu, dirinya sebagai pekerja seni tidak menyangka akan menduduki jabatan di LPP TVRI. Dia berkomitmen bertanggung jawab atas hal yang pernah ditulis di media sosial dan sikapnya sebagai warga negara.
Apabila di kemudian hari, saat dia menjabat sebagai Direktur Utama LPP TVRI, ada pihak yang menangkap tulisannya di media sosial dan sengaja membelokkannya, dia akan siap menghadapi. Hal-hal yang diungkapkan masyarakat dimaknai sebagai kritik dan masukan agar lebih baik dalam bekerja di LPP TVRI, berperilaku, dan bernarasi di ruang publik.
Imam menambahkan, dirinya sudah mulai berusaha menyelesaikan urusan internal yang strategis. Dia, misalnya, mulai menyelesaikan tunjangan kinerja karyawan dan pengisian jabatan struktural yang masih kosong guna memperlancar penyelenggaraan TVRI.