Sejumlah pihak mendesak agar pemerintah tidak terburu-buru membuka kembali sekolah. Keselamatan anak didik mesti diutamakan.
Oleh
Mediana/Deonisia Intan/Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pembukaan sekolah tahun ajaran 2020/2021 masih belum ditetapkan. Kajian yang mendalam perlu dilakukan untuk mencegah penularan baru kasus Covid-19 pada anak di lingkungan sekolah.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ketika dihubungi di Jakarta, Senin (1/6/2020) mengatakan, Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan agar pengkajian secara detail dilakukan sebelum keputusan pembukaan sekolah ditetapkan. Kajian ini juga diperlukan pada pembukaan madrasah.
Waktu pembukaan sekolah pun belum ditentukan hingga saat ini. “Sebetulnya tidak ada penundaan karena kapan sekolah akan dibuka belum ditetapkan. Kalau permulaan tahun ajaran baru bisa saja dibuka pertengahan Juli, sebagaimana telah diatur dalam kalender sekolah, tetapi kegiatan belajarnya tetap dilakukan di rumah masing-masing,” ujarnya.
Pembukaan sekolah butuh berbagai pertimbangan untuk menjaga keselamatan seluruh siswa (Muhadjir Effendy)
Menurut Muhadjir, pembukaan sekolah butuh berbagai pertimbangan untuk menjaga keselamatan seluruh siswa. Hal ini juga untuk mencegah kemungkinan sekolah menjadi klaster penyebaran Covid-19.
Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Hasbi mengatakan, pernyataan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sejalan dengan kebijakan Mendikbud. Pembukaan kembali satuan pendidikan menunggu arahan presiden terkait perkembangan terkini pandemi Covid-19.
“Sesuai arahan Mendikbud Nadiem Makarim, kami semua telah menyiapkan opsi yang dibutuhkan untuk menyikapi dinamika perkembangan penyebaran Covid-19,” kata dia.
Dia mencontohkan beberapa opsi, yaitu pertama pembelajaran tatap muka dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan, kedua hanya satuan pendidikan di zona hijau yang diperbolehkan menggelar pembelajaran tatap muka, dan ketiga tetap melanjutkan mekanisme pembelajaran jarak jauh seperti yang sudah dilaksanakan selama tiga bulan terakhir.
Hingga Desember
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan mengatakan, kegiatan belajar mengajar sebaiknya tetap dilaksanakan melalui skema pembelajaran jarak jauh. Sekolah sebaiknya tidak dibuka terlebih dahulu, setidaknya hingga Desember 2020.
“Pertimbangannya untuk mengantisipasi lonjakan kasus kedua, dan kondisi saat ini masih sulit untuk menerapkan pencegahan infeksi pada anak-anak. Sekolah bisa kembali dibuka dengan pertimbangkan jumlah kasus yang menurun,” katanya.
Menurut data IDAI per 18 Mei 2020, ada 3.324 anak berstatus pasien dalam pengawasan (PDP). Sebanyak 129 anak bertatus PDP meninggal dunia, sebanyak 584 anak dinyatakan positif Covid-19, dan 14 anak meninggal akibat Covid-19. Data ini dihimpun oleh internal IDAI untuk keperluan merawat pasien.
“Angka rata-rata infeksi Covid-19 yang dialami anak adalah 3-4 persen dibandingkan total kasus Covid-19 di Indonesia. Angka ini masih terjaga karena anak-anak masih berada di rumah selama pandemi,” tambah anggota Satuan Tugas Covid-19 IDAI Anggraini Alam.
Angka rata-rata infeksi Covid-19 yang dialami anak adalah 3-4 persen dibandingkan total kasus Covid-19 di Indonesia.
Sementara itu, Ikatan Guru Indonesia (IGI) menolak apabila pembelajaran tatap muka secara fisik dijalankan dalam waktu dekat. IGI menilai metode pembelajaran seperti itu tetap berisiko bagi anak-anak, meskipun memakai protokol kesehatan.
“Potensi penularan Covid-19 kepada anak tetap ada. Jangan sampai mempertaruhkan nyawa peserta didik. Normal baru di dunia pendidikan seharusnya diterapkan jika normal baru di sektor non edukasi sukses dijalankan,” ujar Ketua Umum IGI M Ramli Rahim dalam pernyataan tertulis, Minggu (31/5).
Terkait pelaksanaan protokol kesehatan, Ramli meragukan semua sekolah mampu menjalankannya. Sebab, kondisi dan kemampuan masing-masing sekolah berbeda-beda.
“Kami akui memang ada sekolah unggulan yang mampu menerapkan protokol kesehatan secara ketat, tetapi jangan sampai itu dijadikan alasan untuk menerapkan pembelajaran tatap muka secara menyeluruh,” kata Ramli.
Koordinator Nasional Jaringan Pemerhati Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji berpendapat, pandemi Covid-19 menimbulkan berbagai persoalan kepada sekolah dan keluarga. Sejumlah sekolah swasta dan orang tua murid mengalami penurunan pendapatan.
“Mereka tertatih menghadapi pandemi. Mereka juga harus menghadapi penerimaan peserta didik baru yang tidak jelas,” kata dia.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan, ada 66 persen orang tua yang tidak setuju dengan wacana pembukaan sekolah. Angka ini dihimpun dari survei yang diunggah di Facebook pada 26-28 Mei 2020. Ada 196.559 orang tua murid se-Indonesia yang berpartisipasi dalam survei ini.