Pastikan Sekolah, Guru, dan Siswa Siap Sebelum Sekolah Dibuka
Pembukaan sekolah di zona hijau Covid-19 hendaknya didasarkan pada kesiapan sekolah dan warga sekolah, mulai dari guru hingga siswa, untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
Pembukaan sekolah tidak bisa hanya berpatokan pada status zona hijau suatu daerah. Pemerintah juga harus memastikan kesiapan sekolah dan warga sekolah untuk menyelenggarakan pembelajaran dengan metode tatap muka secara langsung, terutama terkait pelaksanaan protokol kesehatan.
Pemerintah harus memastikan sekolah yang akan dibuka kembali memiliki sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan protokol kesehatan, mulai dari penyediaan air bersih yang cukup dan tempat untuk cuci tangan yang memadai, cairan antiseptik pembersih tangan, hingga alat pelindung diri. Untuk sekolah-sekolah tertentu, pengadaan sarana dan prasarana ini sering kali terkendala dana.
Selain itu, warga sekolah, mulai dari guru hingga siswa, harus tahu dan memahami informasi dasar terkait Covid-19 dan upaya pencegahannya. Pemahaman siswa sering kali terkait dengan usia atau jenjang sekolah. Karena itu, pembukaan sekolah sebaiknya juga dilakukan secara bertahap mulai dari jenjang paling tinggi, yaitu SMA/SMK/MA.
Masuknya pun harus bertahap, misalnya tiga hari dulu, kemudian diikuti dengan tes usap untuk evaluasi apakah benar-benar aman.
”Masuknya pun harus bertahap, misalnya tiga hari dulu, kemudian diikuti dengan tes usap untuk evaluasi apakah benar-benar aman. Ini untuk memastikan bahwa pembukaan sekolah tidak berisiko (memunculkan kasus Covid-19) bagi siswa ataupun guru,” kata Ahmad Sua’idi, komisioner Ombudsman RI Bidang Pendidikan, Sosial, dan Agama, ketika dihubungi Kompas di Jakarta, Rabu (3/6/2020).
Pemerintah, kata Ahmad, harus memastikan persyaratan tersebut benar-benar terpenuhi agar jangan sampai pembukaan sekolah justru menciptakan kluster baru Covid-19. Penetapan status zona hijau juga harus didukung dengan data, bukan sekadar karena di daerah itu tidak tercatat ada kasus Covid-19. ”Jika belum siap, pembelajaran jarak jauh (PJJ) dilanjutkan dulu,” katanya.
Hal senada dikatakan Kepala Dewan Pimpinan Daerah Keluarga Peduli Pendidikan Jawa Barat Ekasari Widyati. Dia mengatakan, banyak orangtua belum yakin sekolah akan menjadi lingkungan yang aman bagi anak-anak mereka meskipun pemerintah memastikan protokol kesehatan dilaksanakan.
”Kalau saat ini banyak siswa ingin masuk sekolah lagi (pemelajaran dengan tatap muka), itu karena mereka jenuh. Demikian juga guru, banyak yang ingin balik ke sekolah, itu karena selama ini banyak kendala dalam pelaksanaan PJJ,” kata Ekasari.
Pastikan akses internet merata
Karena itu, menurut Ekasari, sembari menunggu sekolah siap dibuka kembali, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta dinas pendidikan, harus memastikan PJJ terselenggara lebih baik. Akses internet dan teknologi informasi harus dipastikan lebih merata.
”Pemerintah bisa memanfatkan dana desa untuk membantu siswa di daerah pelosok yang tidak dapat mengakses internet atau terkendala kuota internet. Misalnya, balai desa dijadikan pusat untuk anak-anak dapat mengakses internet dan juga menggunakan komputer untuk PJJ,” ujarnya.
Secara terpisah, peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, mengatakan, pemerintah seharusnya telah memiliki evaluasi PJJ yang berlangsung sejak pertengahan Maret lalu. Dari evaluasi tersebut, pemerintah memiliki peta pendidikan pada masa pandemi.
”Dari evaluasi itu akan ketahuan efektivitas PJJ, apa kekurangan PJJ, hal apa yang mendesak untuk diperbaiki, bagaimana nasib anak-nak kelas menengah bawah ketika PJJ dilaksanakan,” ucapnya.
Dengan begitu, Anggi berharap, ada perbaikan untuk pelaksanaan PJJ pada masa pandemi ini. Dalam kondisi saat ini, pola PJJ menggunakan berbagai platform internet masih perlu dilakukan.