Kehadiran negara pada nasib mahasiswa diperlukan agar mereka bisa terus melanjutkan perkuliahan. Mereka membutuhkan kepastian keringanan biaya perkuliahan di masa pandemi ini.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahasiswa terus menyerukan agar pemerintah segera mengambil sikap untuk membantu mengatasi persoalan beban berat uang kuliah selama pandemi Covid-19. Mahasiswa beranggapan solusi jangan diserahkan ke masing- masing pimpinan kampus karena permasalahan itu sudah terjadi secara nasional.
Mahasiswa UIN Walisongo Kota Semarang, Rubait Burhan, menyampaikan hampir 90 persen mahasiswa pada delapan fakultas yang disurvei mengaku tidak akan melanjutkan kuliah. Ada dua alasan yang mengemuka. Alasan pertama, keluarga mereka terdampak ekonomi selama pandemi sehingga tidak sanggup membayar uang kuliah tunggal (UKT). Alasan kedua, mereka memilih cuti karena pembelajaran jarak jauh (PJJ) tetap berlangsung, sementara kondisi ekonomi keluarga berat dan tidak ada insentif UKT.
Menurut dia, kelompok mahasiswa sudah pernah menghubungi pimpinan kampus untuk menanyakan kejelasan ada tidaknya insentif UKT bagi mahasiswa yang keluarganya kesulitan ekonomi. Pimpinan kampus pernah menyanggupi audiensi melalui telekonferensi, tetapi karena kendala teknis, audiensi ditunda. Mahasiswa tidak mendapatkan tindak lanjut sehingga memutuskan bertemu langsung, tetapi pimpinan kampus menolak karena alasan pandemi.
”Pimpinan kampus meminta kami beraudiensi ke Kementerian Agama (Kemenag). Sementara kami tahu bahwa Kemenag sudah membatalkan surat edaran yang isinya tentang insentif UKT. Kami merasa, ada saling lempar tanggung jawab,” ujar Rubait saat menghadiri diskusi daring ”Pandemi Covid-19: Kuliah di Rumah, UKT Harus Turun”, Senin (15/6/2020), di Jakarta.
Raynaldo Rendi, mahasiswa dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, mengatakan, kebijakan keringanan UKT hanya diberikan pimpinan kampus kepada mahasiswa tingkat akhir. Kebijakan itu tidak tepat karena mahasiswa yang mengalami beban berat ekonomi juga berasal dari tingkat lebih rendah.
Kami juga tidak memperoleh ilmu secara penuh.
Dia berpendapat keringanan UKT perlu karena mahasiswa harus mengikuti PJJ secara penuh, fasilitas di kampus tidak terpakai, dan ada beban ekonomi keluarga. ”Kami juga tidak memperoleh ilmu secara penuh,” katanya.
Joshua Frans, mahasiswa Universitas Negeri Semarang, menyampaikan hal senada. Pada semester genap tahun ajaran 2019/2020, mahasiswa hanya masuk satu bulan di kampus. Sisanya, mahasiswa harus mengikuti PJJ. Fasilitas kampus tidak terpakai. Beban UKT rata-rata mahasiswa bisa sampai Rp 8 juta.
Sementara pandemi membuat keluarga mereka kekurangan penghasilan. Maka, tuntutan mereka adalah pimpinan kampus mengembalikan UKT yang sudah dibayar kepada mahasiswa. Lebih lanjut, jika semester gasal tahun ajaran 2020/2021 dimulai dan kampus kembali menerapkan PJJ, mahasiswa menuntut agar ada lagi insentif UKT.
Joshua mengakui Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia telah mengeluarkan kebijakan insentif UKT, tetapi arahan pelaksanaannya dikembalikan ke setiap rektor. Hal ini menurut dia tidak tepat.
”Insentif uang kuliah seharusnya pemerintah pusat ambil peran, misalnya mengeluarkan peraturan. Jangan cuma sekadar memberikan surat edaran,” katanya.
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Cornel Gea, mengamati, kalaupun kampus memberikan insentif pembayaran uang kuliah, itu pun mahasiswa harus melalui proses administrasi yang rumit. Bahkan, kebijakan pemberian insentif tidak sampai tersosialisasi kepada seluruh sivitas akademika.
Hasil pengaduan
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja mengatakan, pihaknya membuka kanal pengaduan warga terdampak Covid-19 sejak April 2020. Total pengaduan yang diterima mencapai di atas 100. Di DKI Jakarta, pengaduan terbanyak datang dari pelaku jasa daring, sementara dari luar DKI Jakarta, pengaduan berasal dari karyawan. Keluhan yang diadukan mulai dari bantuan sosial hingga kesusahan sewa hunian yang dia sebut mencakup biaya pendidikan.
”Jaring pengaman yang pemerintah desain tidak menjawab persoalan ekonomi sosial yang saat ini terjadi, termasuk tidak menjawab masalah mahasiswa,” katanya.
Elisa mengatakan, bantuan sosial tidak tepat sasaran karena beberapa faktor. Pertama, kesulitan di luar pangan tidak dijawab sama sekali, seperti ketidakmampuan membayar biaya sewa hunian. Kedua, jenis bantuan sosial tidak cocok, antara lain ada yang membutuhkan bantuan untuk membeli susu. Tim dia bahkan menemukan ada orang yang terpaksa menjual bantuan sosial agar bisa membeli susu.
Ketiga, jumlah penerima melebar, yang tidak terdaftar sekarang memerlukan bantuan sosial. Hal ini disebabkan kenaikan jumlah pemutusan hubungan kerja dan jumlah kehilangan pendapatan.
Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan, mahasiswa jangan dibiarkan berjuang sendirian di tengah pandemi Covid-19. Hal itu menunjukkan negara seolah-olah menghilangkan kewajibannya.
Kondisi saat ini pemerintah pusat tidak memiliki peta jalan membantu beban biaya mahasiswa. Data mahasiswa terdampak pun tidak ada sehingga susah dipetakan.
Tuntutan insentif UKT saat ini kian menambah kekacauan pendidikan nasional. Padahal, di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Awal Juni 2020, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam menegaskan, tidak ada kenaikan UKT selama masa pandemi Covid-19. Pembayaran UKT sesuai dengan kemampuan.
Menurut dia, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia bersepakat kepada orangtua yang terdampak Covid-19 dengan empat skema. Pertama, meminta penundaan pembayaran. Kedua, mencicil pembayaran. Ketiga, mengajukan penurunan UKT pada level sesuai dengan kemampuan teraktual. Keempat, mengajukan beasiswa jika memang orangtua bangkrut atau jatuh miskin sehingga berhak atas beasiswa.
Nizam pun menyampaikan, pemerintah hadir dengan menyediakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah sebesar Rp 400.000 penerima atau hampir empat kali lipat dari tahun sebelumnya. KIP Kuliah bisa diakses oleh mahasiswa yang orangtuanya terdampak.