Penyalahgunaan Kebijakan Bermunculan, Awasi Proses Penerimaan Siswa Baru
Proses penerimaan peserta didik baru yang sedang berlangsung mulai diwarnai praktik penyalahgunaan kebijakan. Jika tidak diawasi sampai ke tingkat daerah, praktik itu akan menyebar luas.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Proses penerimaan peserta didik baru yang sedang berjalan mulai diwarnai praktik-praktik yang berpotensi mencederai pendidikan nasional. Pengawasan penerimaan sampai ke tingkat daerah perlu diperkuat.
Pekan lalu, di Jawa Barat, surat berkop DPRD Jawa Barat yang merekomendasikan seorang calon siswa agar diterima di sekolah negeri beredar luas. Surat itu secara detail memuat logo kujang, di bawah kop surat tertulis nama salah seorang anggota DPRD Jawa Barat. Surat ditujukan kepada Kepala SMK Negeri 4 Bandung. Tujuannya pun ikut dituliskan, yakni ”Rekomendasi Sekolah”.
Sementara itu, Dinas Pendidikan DKI Jakarta, melalui Surat Keputusan Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Pelajaran 2020/2021, dalam menyelenggarakan seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur zonasi memakai usia menuai kritik dari sejumlah orangtua yang tergabung di Forum Orangtua Murid.
Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta No 501/2020 pada poin Proses Seleksi dijelaskan, jika jumlah calon siswa baru yang mendaftar jalur zonasi melebihi daya tampung zonasi, maka dilakukan seleksi berdasarkan usia tertua ke termuda, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar.
Arahan kebijakan itu juga berlaku pada seleksi jalur afirmasi. Jika jumlah calon siswa baru yang mendaftar melalui jalur afirmasi melebihi daya tampung afirmasi, maka dilakukan seleksi berdasarkan usia tertua ke termuda, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar.
Untuk jalur prestasi akademik dan luar DKI Jakarta, arahannya pun sama. Dinas Pendidikan DKI Jakarta hanya menambahkan syarat perkalian nilai rerata rapor dengan nilai akreditasi.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim saat dihubungi Senin (15/6/2020), di Jakarta, berpendapat, pelanggaran PPDB berupa titipan surat pejabat sudah ada sejak bertahun-tahun lalu. Praktik seperti itu akan menggeser kuota calon siswa yang memang berhak.
Sementara terkait fenomena PPDB di DKI Jakarta, dia mengatakan bahwa Dinas Pendidikan DKI Jakarta bukan pertama kali menciptakan kebijakan di luar arahan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud). Pada tahun lalu, Dinas Pendidikan DKI Jakarta membuat kebijakan seleksi jalur zonasi dengan tetap memprioritaskan hasil nilai ujian nasional.
Praktik itu merusak semangat jalur zonasi. (Satriwan Salim)
Tahun ini, Dinas Pendidikan DKI Jakarta juga kembali melakukan hal sama dan ditambah syarat usia tertua ke termuda. Satriwan memandang praktik itu merusak semangat jalur zonasi. Jika dibiarkan, praktik tersebut bisa menciptakan diskriminasi bagi calon siswa baru yang tergolong cerdas, istimewa, dan dulunya bersekolah di swasta, tetapi kini ingin masuk sekolah negeri.
”Dinas Pendidikan DKI Jakarta semestinya langsung mengarahkan anak usia ’lanjut’ dan pernah tinggal kelas karena kemiskinan ke seleksi jalur afirmasi. Dinas Pendidikan DKI Jakarta seharusnya patuh terhadap Permendikbud,” katanya.
Satriwan menambahkan, Dinas Pendidikan DKI Jakarta semestinya terlebih dahulu mendata jumlah calon siswa baru berusia ’lanjut’ dan kurang mampu. Pemerintah provinsi pun harus paham Permendikbud. Dia berharap, pelaksanaan seleksi PPDB di DKI Jakarta tidak menimbulkan diskriminasi.
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, menyampaikan pandangan senada. Seleksi PPDB diwarnai praktik titipan pejabat bukanlah kasus baru. Jauh sebelum pemerintah menetapkan seleksi PPDB jalur zonasi, pejabat pemerintah sudah ikut campur titip siswa di sekolah-sekolah favorit. Praktik tersebut mencederai pendidikan. Sementara untuk kasus kebijakan memasukkan unsur usia anak di jalur zonasi, dia menilai praktik itu mengabaikan esensi zonasi.
”Semua orangtua murid kini fokus ke pandemi Covid-19. Hal yang harus dikhawatirkan adalah muncul praktik-praktik kurang baik selama seleksi PPDB yang memanfaatkan kelengahan orangtua,” katanya.
Rakhmat berpendapat, ada dua penyebab yang memicu praktik negatif seleksi PPDB muncul. Pertama, adanya kesenjangan pemahaman Permendikbud di kalangan pemerintah daerah ataupun dinas pendidikan sampai tingkat kabupaten/kota. Kedua, lemahnya pengawasan pelaksanaan PPDB. Padahal, Inspektorat Jenderal Kemendikbud bisa turun mengawasi dan mengantisipasi lebih cepat dengan cara menggandeng forum-forum guru. Namun, dia mengamati, Inspektorat Jenderal Kemendikbud cenderung akan turun ketika praktik pelanggaran seleksi PPDB sudah ramai dibicarakan khalayak.
Pelaku minta maaf
Anggota Kelompok Ahli Satgas Saber Pungli Provinsi Jawa Barat, Iriyanto, saat dihubungi secara terpisah dari Jakarta, mengatakan, pelaku surat berkop DPRD Jawa Barat yang merekomendasikan seorang calon siswa agar diterima di sekolah negeri beredar luas sudah ketahuan. Pelakunya pun sudah meminta maaf kepada publik. Kejadian itu amat disayangkan.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebenarnya sudah menyediakan program untuk membantu calon siswa kurang mampu. Apabila ada orangtua siswa terdampak Covid-19, pemerintah provinsi mau membantu.
”Seleksi PPDB jalur afirmasi pun dapat dioptimalkan untuk membantu calon siswa kurang mampu. Kami berupaya terus menyosialisasikan agar proses seleksi PPDB sesuai dengan arahan di Permendikbud,” ujarnya.
Untuk praktik di Jawa Barat, Pelaksana Tugas Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbud Chatarina Muliana Girsang saat dikonfirmasi mengatakan, sepanjang permintaan itu tidak ditindaklanjuti oleh dinas pendidikan dan sekolah bersangkutan, maka tidak terjadi pelanggaran.
Untuk praktik kebijakan PPDB di DKI Jakarta, dia menjelaskan karena kapasitas sekolah masih kurang. Apalagi seleksinya memakai jalur zonasi. Jika jarak sama, seleksi ebih tepat dengan umur yang batasan umurnya sudah diatur dalam peraturan yang ada.
”Jangan diseleksi dengan nilai karena ini untuk jalur zonasi. Kita harus memahami bahwa kebijakan zonasi untuk memperluas akses pendidikan. Layanan pendidikan harus memenuhi hak anak,” katanya.
Chatarina menyarankan, pemerintah daerah yang melihat jumlah sekolah tidak memadai harus membangun. Apalagi, jika jumlah sekolah ada, termasuk sekolah swasta, tidak memadai lagi sesuai kebutuhan warga di wilayahnya.