Dwi Putro Mulyono Jati, yang akrab disapa Pak Wi, seniman yang juga seorang penyintas gangguan mental dengan gangguan wicara dan pendengaran, menampilkan 75 karya lukis dalam pameran Perempuan-Perempuan Pak Wi.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
Berkaca dari lukisan-lukisan Picasso, Dwi Putra Mulyono Jati menelusuri ingatannya tentang orang-orang yang mencintainya untuk melukis. Selain ibunya, ia juga melukis saudara-saudaranya. Itulah Pak Wi, seorang penyintas gangguan mental dengan gangguan wicara dan pendengaran.
Kurator Suwarno Wisetrotomo pernah bertanya kepada Nawa Tunggal, adik Pak Wi, tentang ada tidaknya permasalahan interaksi perempuan yang dialami Pak Wi. Menurut adiknya, Pak Wi pernah menaksir teman sekelasnya yang dipanggilnya Teteh.
Sosok Teteh juga digambar oleh Pak Wi. Lukisan Teteh secara khusus bisa dilihat di kluster tema ”Mencuri dari Picasso” dalam pameran tunggal Pak Wi bertajuk Perempuan-Perempuan Pak Wi, di Museum Basoeki Abdullah, yang dibuka Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, Rabu (17/6/2020), secara daring. Dalam lukisan itu, Pak Wi membubuhkan tulisan ”Teteh pindah Samarinda kapal terbang.”
Suwarno merasa emosional melihat karya-karya Pak Wi bergambar interaksi ibu dan anak. Pak Wi menyuguhkan 75 lukisan dan sketsa dalam pameran tunggalnya.
Dengan menggambar, Pak Wi menemukan dirinya. Pak Wi seperti napak tilas perjalanan dirinya.
Suwarno memaknai keseluruhan karya Pak Wi sebagai ”jalan pulang” bagi dirinya. ”Pada satu titik kehidupan, keterbatasan yang dimilikinya membuat Pak Wi kehilangan dirinya sendiri. Keluarga mempunyai kelapangan luar biasa untuk mencari tahu minat Pak Wi, yaitu menggambar. Dengan menggambar, Pak Wi menemukan dirinya. Pak Wi seperti napak tilas perjalanan dirinya,” ujar Suwarno.
Pameran tunggal Perempuan-Perempuan Pak Wi didukung oleh Museum Basoeki Abdullah. Saat pembukaan pameran, Pak Wi ditampilkan sedang melukis secara langsung.
Karya-karya Pak Wi didominasi obyek gambar interaksi ibu dan anak, seperti ibu menyusui anak bayinya, ibu menidurkan anak, ibu menggendong anak, dan ibu memangku anak. Gambar ibu menggendong anak pun memiliki beberapa versi, mulai dari gendong samping hingga gendong di belakang.
Ekspresi wajah ibu ataupun anak digambarkannya dengan mata tertutup, mata terbuka, riang, senyum, dan teduh. Sejumlah karya menampakkan obyek ibu berkerudung berlapis-lapis, yang mengingatkan kurator Suwarno kepada sosok Bunda Maria.
Sebanyak 75 karya itu dibagi menjadi lima kluster tema, yaitu tema Kasih Ibu I, Kasih Ibu II, Mencuri dari Hendra Gunawan, Mencuri dari Picasso, Pahlawan, dan Sketsa. Hendra Gunawan dikenal sebagai pelukis yang banyak menggunakan sosok perempuan dalam karya-karyanya. Karya-karya tersebut memancing memori Pak Wi tentang suasana relasi ibu dan anak. Pak Wi meniru Hendra Gunawan, tetapi Suwarno menilai hasil yang dibuat Pak Wi justru berbeda.
Selalu kontekstual
Hilmar mengatakan, dirinya selalu menikmati karya-karya Pak Wi. Setiap karyanya selalu menawarkan hal baru. Dia setuju dengan gagasan seni liyan yang belakangan kerap disematkan kepada seniman berkebutuhan khusus. ”Dunia kita selalu dibentuk oleh norma-norma yang dianggap rasional. Maka, masyarakat mengenal pasung dan ilmuwan dikerahkan untuk ’menormalkan’. Ketika dunia kesenian juga diberlakukan norma-norma rasional tertentu, kita tidak akan mendapatkan karya-karya yang luar biasa,” paparnya. Menurut Hilmar, dunia kesenian harus selalu menjunjung keberagaman.
Maeva Salmah, Kepala Museum Basoeki Abdullah, menyampaikan, museum mengambil tema ”Wanita” untuk tahun 2020. Basoeki Abdullah semasa hidupnya menjadikan perempuan, terutamanya ibu, sebagai sumber inspirasi. Karya Pak Wi sejalan dengan tema itu. Tahun 2017, Pak Wi juga pernah tampil melukis langsung di Museum Basoeki Abdullah.
”Tema besar itu berlangsung sampai akhir 2020. Apabila pandemi Covid-19 usai, kegiatan museum dengan tema ’Wanita’ berlanjut, seperti menggelar tentang pameran lukisan, melukis bersama, dan seminar,” katanya.