Budaya Betawi di Antara Tuntutan Zaman dan Pertarungan Nilai
Beberapa tahun terakhir, upaya pelestarian kebudayaan Betawi terus dilakukan. Sayangnya, perayaan kebudayaan tersebut belum menyertakan nilai-nilai Betawi di dalamnya.
Komariah Munawar, pemilik Sanggar Seni Betawi Kota Bambu, Jalan Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat, menceritakan, sanggarnya berdiri tahun 2004. Mpok Kom, begitu dia biasa disapa, meneruskan pengelolaan sanggar itu dari orangtuanya. Kecintaannya terhadap budaya Betawi menjadi alasan utama dia mau melanjutkan pengelolaan.
Agar bisa terus relevan dengan perkembangan budaya, dia bersama tim menyesuaikan musik gambang keromong dengan datangnya kultur baru dan kesukaan pasar tanpa menghilangkan kekhasan tradisi, misalnya gambang keromong reggae dan pop modern.
Selain gambang keromong, Sanggar Seni Betawi Kota Bambu juga melatih tari dan lenong. Total anggota sanggar mencapai 40 orang. Mereka berlatar belakang usia, pekerjaan, dan pendidikan. Bahkan, ada anggota sanggar masih duduk di kelas 4 SD. Sanggar Seni Betawi Kota Bambu rutin berlatih setiap hari Rabu dan Minggu.
Menurut Mpok Kom, tidak semua anggota yang bergabung di Sanggar Seni Betawi Kota Bambu berlatar belakang orang Betawi. Ada juga orang-orang non-Betawi tetapi tertarik belajar kesenian Betawi.
”Mengenai regenerasi, kami terbuka kepada anggota yang memang punya anak mau belajar. Jadi, regenerasi tidak harus datang langsung dari orang Betawi karena itu akan susah,” katanya saat dihubungi, Kamis (18/6/2020).
Sebagai salah satu binaan Suku Dinas Pariwisata Jakarta Barat, Sanggar Seni Betawi Kota Bambu memperoleh bantuan seperangkat alat musik, bantuan pengajar, dan fasilitasi permintaan pentas. Di luar itu, Mpok Kom juga sering kali menerima permintaan rias dan segala kebutuhan acara pengantin adat Betawi. Dari sanalah sanggar ini berusaha ”hidup” mandiri.
”Istilah populernya jadi event organizer. Misalnya, saya dapat permintaan jasa merias pengantin dengan memakai tradisi Betawi, saya ajak juga anggota sanggar. Menciptakan lapangan kerja jadinya,” katanya.
Di tengah pandemi Covid-19, Mpok Kom mengaku kesulitan permintaan jasa dan pentas seni. Dia bersama sejumlah anggota sanggar mencoba berjualan ketan susu. Dia menceritakan sedang kesulitan mencari dandang untuk memasak dan wadah ketan susu.
Generasi ketiga
Komitmen melestarikan kesenian khas Betawi juga dilakukan Andi Supardi yang kini menjadi generasi ketiga pemimpin grup gambang keromong ”Kinang Putra”. Grup Kinang Putra dirintis oleh kakek-neneknya sekitar tahun 1918. Seluruh keluarganya adalah seniman Betawi. Tak heran, dia bukan hanya menguasai tari dan musik, tetapi juga lenong.
Andi pertama kali ikut pentas seni topeng Betawi keliling kampung saat usia 12-13 tahun, kurun waktu 1973-1974. Pada saat itu, dia pentas dari satu kampung ke kampung lainnya. Waktu itu, kampung-kampung di DKI Jakarta masih banyak. Rumah-rumah warga rata-rata masih memiliki halaman yang luas.
”Selama 40 tahun lebih berkarya, saya menjalani pentas dari kampung ke kampung, main di halaman rumah warga, dari belum ada dinas kebudayaan sampai ada. Sekitar 1990-an, saat layar tancap masuk ke kampung, jadwal pentas kesenian Betawi mulai terkikis. Kami berusaha bertahan hingga sekarang karena kecintaan kami terhadap seni tradisi Betawi,” ujarnya.
Menurut Andi, Kinang Putra berusaha menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya, mereka coba mengaransemen musik gambang keromong yang memadukan musik tradisi dan modern sehingga tetap cocok dengan permintaan pasar.
Kini, kelompok gambang keromong ini memiliki anggota-anggota berusia muda. Jumlahnya 25 orang yang terdiri dari 10 penari dan 15 pemain musik.
Kesenian Betawi sudah mendarah daging dalam diri Andi. Berkesenian jadi bagian dalam hidupnya. Dinamika kehidupan yang silih berganti dia nikmati bak air mengalir. Selain berkesenian, ia juga turut mengajar kesenian Betawi di sekolah.
”Ada anggota muda nyambi ngojek. Ada juga anggota yang lebih senior nyambi jadi pedagang,” kata Andi.
Selama pandemi Covid-19 berlangsung, Kinang Putra pernah mendapat tawaran dari pemerintah dan Pasar Seni Ancol untuk mengisi konten di Youtube. Lembaga Kebudayaan Betawi juga menantang kelompok ini untuk membuat konten tari dan musik di media sosial dalam rangka HUT DKI Jakarta.
”Sanggar-sanggar tetap tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Kalau diminta tetap berkarya, kami akan mengumpulkan anggota untuk latihan,” ujarnya.
Mengalami diskriminasi
Sejarawan JJ Rizal mengatakan, pasca-1998 muncul organisasi-organisasi yang mengandalkan etnisitas. Akhirnya, Betawi (cenderung) diasosiasikan dengan tukang pukul dan arogansi. Cara memandang suatu kebudayaan, termasuk kebudayaan Betawi, akhirnya menjadi diskriminatif.
”Konstruksi sosial politik rezim berkuasa menjadi tuba di atas kebudayan Betawi,” ujarnya.
Belum lagi, ada wacana ondel-ondel yang keliling jalan dan kampung mau dilarang oleh pemerintah. Alasannya adalah ondel-ondel dianggap ”memalukan”. JJ Rizal sangat menyesalkan.
Ondel-ondel memang keliling karena dipakai untuk menolak bala. Apabila pemerintah mau menyalahkan ondel-ondel, pemerintah sebaiknya menyalahkan musik yang dipakai.
Dalam sejarahnya, ondel-ondel memang keliling karena dipakai untuk menolak bala. Apabila pemerintah mau menyalahkan ondel-ondel, pemerintah sebaiknya menyalahkan musik yang dipakai.
Sekitar 1950-an, praktik berkesenian ondel-ondel dan tanjidor mengalami represi sehingga mati. Padahal, secara historis, kebudayaan Betawi sangat interkultural. Begitu pula dengan DKI Jakarta.
Dalam peta tua, DKI Jakarta pernah disebut Sunda Kelapa. Sebelum menjadi Sunda Kelapa, namanya adalah Kalapa. Kalapa digambarkan sebagai kota pelabuhan sehingga secara posisi sudah kosmopolitan saat itu.
Ketika Kalapa diambil oleh Kerajaan Sunda, Kalapa disandingkan dengan kota pelabuhan lainnya milik Kerajaan Sunda sehingga namanya menjadi Bandar Sunda Kelapa.
Permukiman-permukiman di Bandar Sunda Kelapa pun sangat multikultural. Apalagi, setelah Sunda Kelapa berkaitan langsung dengan jalur rempah. Artefak kultural berupa kembang kelapa yang ditaruh di atas ondel-ondel menyiratkan ingatan bahwa masyarakat masa lalu sudah sangat inklusif.
Orang Betawi terbuka akan kultur lain. Mereka menerima kultur-kultur yang masuk tanpa tahu seperti apa hasilnya. JJ Rizal mencontohkan hidangan yang tersedia di meja makan orang Betawi saat Lebaran tiba. Dodol bersanding dengan kue nastar, kue keju, kue keranjang, dan aneka manisan. Kue kering yang dihidangkan datang identik perayaan Natal dari umat Kristiani. Kue keranjang dan aneka manisan identik dengan perayaan Imlek.
Menurut dia, salah satu solusi agar kebudayaan Betawi tetap lestari dan tumbuh adalah melalui pendidikan. Pada tahun 2002 saat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional keluar, setiap daerah harus punya muatan lokal. Muatan lokal ini menjadi medium bagi anak dan orangtua untuk ”menjernihkan” kembali kebudayaan Betawi. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan dia, hal itu tidak pernah terjadi di DKI Jakarta. Visi-misi muatan lokal justru dipakai sebagai konstruksi sosial politik, seperti cerita rasis.
Untuk kondisi sekarang, JJ Rizal melihat sudah banyak artefak-artefak kebudayaan Betawi di mana-mana. Sanggar seni bermunculan. Kampung-kampung Betawi dihidupkan dan terus didorong maju. Patung ondel-ondel terpasang di kantor-kantor pemerintah daerah. Pegawai negeri diminta memakai batik Betawi di hari tertentu.
Namun, lagi-lagi dia mengkritisi kondisi tersebut sering kali tidak mengikutsertakan inti makna kebudayaan Betawi. Atau dengan kata lain, artefak-artefak tersebut sebatas benda, tidak menjadi nilai. JJ Rizal mencontohkan, arahan pegawai pemerintahan wajib memakai batik Betawi di hari tertentu. Namun, batik yang dipakai bercorak motif ondel-ondel atau penari topeng.
”Betawi ada di mana-mana, seperti banyak orang bercakap-cakap dengan dialek Betawi ’jelasin’ atau ’apa sih’. Aktivitas berkesenian budaya Betawi pun marak. Akan tetapi, tantangan besar saat ini sejauh mana diseminasi nilai Betawi yang interkultural itu ditanamkan,” katanya.
Jika diseminasi nilai Betawi yang interkultural tidak ditanamkan, JJ Rizal khawatir, Betawi tinggal artefak benda dan pertunjukan tanpa ada tafsir pengetahuan. Inklusivitas yang dimiliki Betawi sejak zaman dulu menjadi luntur.
Saat ini sudah ada tiga dasar hukum untuk mengimplementasikan pelestarian budaya Betawi, yaitu Perda No 4/2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 229/2016 tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi, dan Peraturan Gubernur No 11/2017 tentang Ikon Betawi.
Baca juga: Menjaga Tradisi dan Budaya Betawi
Akan tetapi, JJ Rizal mengamati, praktik peraturan tersebut cenderung mengapitalisasi kebudayaan. Kebudayaan Betawi memang dirayakan, tetapi tidak menyertakan perayaan nilai.