Kasus Kekerasan Seksual Tak Bisa Diselesaikan Secara Damai
Masyarakat seringkali meremehkan risiko anak-anak ketika berada di tempat-tempat yang dianggap aman. Padahal, predator seksual bisa berada di lingkungan yang dianggap aman, seperti tempat pendidikan maupun keagamaan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·6 menit baca
Kekerasan seksual terhadap anak-anak merupakan kejahatan hak asasi manusia, yang tidak bisa dimaafkan apalagi diselesaikan secara damai, atau diselesaikan oleh forum-forum di luar negara. Sebaliknya, negara harus ikut campur dengan melakukan proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual sesuai dengan hukum yang berlaku.
“Kalau di situ sudah ada kejahatan, apalagi kejahatan terhadap kemanusiaan, maka negara yang harus jalan. Dalam hal ini adalah hukum pidana beserta dengan hukum acaranya. Oleh karena pidana, maka tidak dikenal permaafan, perdamaian, karena harus ada penjeraan pada pelaku,” ujar Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, Minggu (28/6/2020) dalam konferensi pers “Usut Tuntas Kejahatan Seksual terhadap Putera Altar di Paroki Herkulanus, Depok, Jawa Barat.
Kekerasan seksual yang dialami sejumlah putera altar di Paroki Herkulanus, Depok, yang terungkap sejak media Juni mengundang perhatian berbagai kalangan. Apalagi kasus tersebut diduga telah berlangsung puluhan tahun.
Maka, Kelompok Perempuan Katolik Pegiat HAM dan Kemanusiaan, dalam pernyataan sikap yang disampaikan, Minggu, siang, mendesak agar kasus kejahatan seksual terhadap putera altar di Paroki Herkulanus, Depok harus diusut tuntas. Mereka mengutuk keras kejahatan yang diduga dilakukan oleh SM, seorang pembina putra altar di paroki tersebut yang juga berprofesi sebagai advokat.
Terungkapnya kasus tersebut berawal dari laporan keluarga pada bulan Maret 2020 kepada pastor paroki mengenai anak laki-laki mereka yang mengalami tiga kali kejahatan seksual. Belakangan, kasus tersebut dilaporkan kepada kepolisian pada 8 Juni 2020 lalu.
Pelaku saat ini sudah ditahan dan dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Belakangan, dari penelusuran tim hukum gereja diketahui bahwa perbuatan pelaku terjadi sejak tahun 2002, dan setidaknya ada 21 anak yang menjadi korban, dan kemungkinan ada korban-korban lain yang belum bicara.
Dalam kasus tersebut korbannya adalah anak-anak dan pelakunya adalah orang yang memiliki relasi kuasa yang lebih
Oleh karena itulah, Sulistyowati dalam materinya yang berjudul “Kekerasan Seksual Terhadap Anak yang Tersembunyi:Hukum Dan Penegakannya” menegaskan ketika ada tindakan yang tidak ada konsensual dan kesukarelaan, maka terjadi pemaksaan dan itu sudah merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Apalagi, di dalam kasus tersebut korbannya adalah anak-anak dan pelakunya adalah orang yang memiliki relasi kuasa yang lebih.
Anak-anak berada posisi rentan ketika menjadi korban. Sulistyowati mengingatkan selama ini masyarakat selalu meremehkan situasi anak-anak, dan merasa lingkungan tempat anak-anak berada seperti sekolah dan lain-lain baik-baik saja. Bahkan, sering lupa menanyakan pengalaman-pengalaman yang dialami anak setiap hari, apakah sudah cukup aman bagi mereka.
“Kita merasa sering take it for granted. Ternyata predator seksual itu bisa berada justru di lingkungan yang kita anggap aman, lingkungan pendidikan, bahkan keagamaan,” katanya.
Selain Sulistyowati, Yosephine Dian Indraswari (Direktur Yayasan Pulih), Justina Rostiawati (Ketua Presidium DPP Wanita Katolik Republik Indonesia), dan Suster Eustochia (Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores/TRUK-F), juga menyampaikan pandangan mereka terkait kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Anak-anak sangat rentan
Dian menegaskan kekerasan seksual adalah tindakan memanipulasi orang lain untuk terlibat dalam aktivitas seksual tanpa persetujuan/tidak dikehendaki. Anak-anak rentan menjadi korban dan relatif mudah dimanipulasi, karena relasi kuasa dengan pelaku, dan biasanya pelaku adalah orang terdekat.
“Dampaknya kekerasan seksualnya sangat besar. Seperti gelas pecah, serpihannya kemana-mana, yang kita harus aware untuk bagaimana mencegah dan mengatasinya,” katanya.
Menurut Dian, kekerasan seksual akan berdampak besar terutama pada anak-anak karena akan menimbulkan dampak jangka panjang, terutama anak-anak akan hilang rasa percaya dirinya dan pada orang lain, yang akan mempengaruhi tumbuh kembang anak tersebut. Biasanya pelaku sangat mudah memanipulasi bahwa korban juga bagian dari kesalahan.
“Terkait harga dirinya, biasanya anak-anak korban kekerasan seksual akan sulit menerima dirinya, kesalahan lebih banyak ditimpahkan pada dirinya. Merasa dirinya tidak berharga, tidak berarti, kemudian dalam banyak kasus bisa ekstrem berujung pada tindakan bunuh diri,” katanya.
Bahkan, dampak lebih jauh, kontrol dari anak yang menjadi korban sangat parah, karena akan sulit mengontrol emosi dan amarah,ada kecenderungan melukai diri. Pada jangka panjang menimbulkan trauma yang dalam pada korban.
“Untuk menangani hal ini perlu diperhatikan agar anak tidak menjadi korban kedua kalinya, serta prioritaskan kondisi psikologis anak sehingga nyaman dan tidak takut bicara. Orangtua dan pendamping butuh penguatan dan dukungan. Komunitas termasuk media perlu menyediakan ruang aman, kondusif, dan berpihak pada korban,” katanya.
Suster Eustochia membagikan pengalamannya saat menangani dan mengadvokasi korban–korban kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO), di Flores dan wilayah lainnya. Selama ini, TRUK-F bersama gereja lokal menangani para korban melalui menerima laporan/mendengarkan korban, membuat pemeriksaan kesehatan korban akibat kekerasan, rehabilitasi sosial/spiritual, pendampingan hukum, serta pemulangan korban.
“Selama ini sudah ada kasus dari 2.410 orang sejak tahun 1997 sampai hari ini. Kami berusaha bersama aktivis lain untuk mendampingi korban, kami lindungi korban, dampingi ke pengadilan dan pemulihan kekerasan, kami juga sediakan rumah aman bagi korban,” kata Eustochia yang menambahkan dari jumlah kasus yang ditangani ada 700 korban TPPO.
Adapun Justina membagikan proses penyusunan pedoman/protokol tentang pencegahan kekerasan seksual kepada anak-anak dan perempuan di lingkungan gereja Katolik.
Pastikan korban aman
Sementara itu, dalam Pernyataan Sikap Kelompok Perempuan Katolik Pegiat HAM dan Kemanusiaan selain meminta kepolisian mengusut tuntas kejahatan yang dilakukan SM sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, polisi juga diminta memastikan selama proses penyidikan dan penyelidikan tetap memperhatikan rasa aman dan kerahasiaan korban anak serta menyertakan aspek restitusi korban dalam tuntutan hukum.
Lembaga Perlindungan Saksi Korban diminta untuk memberikan perlindungan dan bantuan bagi para korban, keluarga dan saksi, serta melakukan pemulihan serta restitusi bagi korban. Begitu juga Komnas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia diminta memantau proses kasus tersebut.
Adapun Konferensi Waligereja Indonesia didesak segera menerapkan protokol pencegahan kekerasan seksual kepada anak-anak dan perempuan di lingkungan gereja Katolik, yang dihasilkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Vatikan pada Februari 2019.
KWI juga harus melakukan investigasi atas dugaan terjadinya kejahatan seksual di lingkungan gereja dengan tetap bersikap proporsional dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah, serta melaporkan kejahatan yang terjadi kepada aparat kepolisian sesuai hukum yang berlaku,
“Selain itu, membangun mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kejahatan seksual pada anak-anak dan kelompok rentan lainnya (termasuk perempuan) dengan tetap menjaga kerahasiaan dan keamanan,” ujar Selviana Yolanda saat membacakan pernyataan bersama.
KWI juga diminta bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, KPAI, Komnas Perempuan, Komnas HAM, untuk melaksanakan pendidikan HAM, jender, dan seksualitas secara berkala kepada umat dan pengurus gereja, serta memasukkan informasi bagaimana mengenali dan mencegah kejahatan seksual pada anak-anak, perempuan dan kelompok minoritas di lingkungan gereja dalam informasi/ buletin gereja.
Adapun kepada organisasi advokat di mana pelaku SM bergabung didesak menonaktifkan surat ijin beracara dari pelaku selama proses penyelidikan, penyidikan hingga terbitnya keputusan hukum tetap dari pengadilan.