Pandemi Covid-19 membawa hikmah bagi permuseuman di Indonesia. Pandemi menjadi momentum untuk memperbaiki penyajian koleksi dengan mengoptimalkan teknologi digital.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menghentikan perayaan kebersamaan berkunjung ke museum. Meski demikian, hikmahnya adalah ini kesempatan untuk mempercepat perbaikan penyajian koleksi museum.
Ketua Program Studi Seni Program Magister Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Suwarno Wisetrotomo mengatakan, benda koleksi museum memiliki watak. Setiap benda koleksi museum menyimpan fakta, mulai dari fakta sejarah, mental masyarakat, ekonomi, hingga politik.
Sebagai contoh, tas Palang Merah Indonesia yang ditenteng petugas, serpihan keramik pada peradaban tertentu, dan dokumen yang ditandatangani komandan kompi saat perang.
Tata saji harus bertumpu pada narasi watak dan fakta atas koleksi. Tata saji yang seperti itu akan mampu menunjukkan betapa pentingnya makna koleksi.
Teknologi digital membuka kesempatan bidang sejarah lebih ”seksi”, ”krispi”, dan menarik.
Teknologi digital membuka kesempatan bidang sejarah lebih ”seksi”, ”krispi”, dan menarik. Dengan kata lain, jika pengelola museum mau menjadikan pandemi Covid-19 sebagai momentum bertransformasi dan memanfaatkan teknologi digital, narasi sejarah di balik koleksi semakin menarik disimak dan didiskusikan bersama.
”Seolah-olah ingin memakannya terus. Ketagihan. Mengoptimalkan teknologi digital untuk penyajian koleksi museum akan menarik kebanyakan anak muda yang masuk generasi tuna-sejarah, tanpa akar, dan nyaris tanpa prinsip,” kata Suwarno saat diskusi daring ”Penyajian Koleksi Museum di Era Digital”, Senin (29/6/2020). Diskusi daring diselenggarakan oleh Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
Berkolaborasi
Sebagai momentum perbaikan, pengelola museum harus mau berkolaborasi dengan berbagai bidang profesi, seperti sejarawan, antropolog, dan animator.
Adopsi teknologi digital untuk penyajian koleksi museum bukan hal baru. Suwarno mengatakan, pada 2011, Google telah memperkenalkan Google Art Intelligence untuk kebutuhan seni dan budaya. Fasilitas ini membuat siapa pun pengunjung dan dari mana pun bisa mengunjungi museum di sejumlah negara, hanya melalui ruang virtual.
Pengunjung museum dalam konteks hari ini pun demikian. Mereka tidak perlu ke mana-mana, cukup berkunjung virtual dari kamar pribadi ataupun kafe langganan.
”Mengunjungi museum hari ini berarti bisa menjelajah secara virtual dan mampu melihat koleksi secara lebih perinci. Pengunjung juga bisa mengembangkan simulasi penyajian koleksi. Semuanya itu dapat dilakukan jika pengelola mau beradaptasi, bertransformasi, dan mengambil hikmah dari pandemi,” katanya.
Suwarno memaknai kondisi sekarang sebagai era menggali pengetahuan secara lebih komprehensif, termasuk dari koleksi museum. Konsep ”daring” diharapkan bukan sebatas mengenali peralatan teknologi digital, melainkan sampai memahami keseluruhan makna ”digital”.
Pendiri Museum Wayang Beber Sekartaji, Indra Suroeinggono, mengatakan, pengelola museum di mana pun terguncang dengan adanya pandemi Covid-19. Rata-rata pengelola juga masih bingung menyikapi.
Pada awal Covid-19 muncul, kebanyakan warga menduga penyakit itu sama dengan flu biasa. Namun, lambat laun Covid-19 menerjang semua negara dan menjadi pandemi. Warga pun tidak lagi menganggap remeh.
”Kami pun harus mengubah tata cara pengelolaan dan penyajian koleksi museum. Interaksi kami kepada khalayak juga berubah,” kata Indra.
Untuk pengelolaan dan penyajian, dia mengajak komunitas wayang beber di empat kota untuk menyelenggarakan pentas gabungan secara virtual. Museum Wayang Beber Sekartaji juga berupaya mengoptimalkan media sosial untuk berinteraksi dengan warga.
Salah satu tantangan adalah perawatan koleksi museum. Indra menceritakan, karakteristik material wayang beber menuntut kelancaran sirkulasi udara di ruangan penyimpanan. Selain itu, koleksi harus jauh dari potensi ancaman serangga perusak material.