Menteri Bintang Pun Akhirnya Sampai ke Sumba...
Kawin tangkap tidak diakui sebagai bagian adat orang Sumba di NTT. Kenyataannya, praktik yang merendahkan perempuan itu tetap terjadi. Menteri Bintang pun menyambangi Sumba.
Praktik kawin tangkap yang berkedok adat di Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang sempat viral di media sosial karena merendahkan martabat perempuan, akhirnya mendapat perhatian serius semua pihak. Dua pekan, setelah dua peristiwa kawin tangkap yang menimpa dua perempuan (R dan M) di Sumba Tengah pada akhir Juni lalu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati hadir di Pulau Sumba, Kamis (2/7/2020).
Kehadiran Menteri Bintang disambut pemerintah dan tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan perwakilan masyarakat setempat di Gedung Umbu Tipuk Marisi, Sekretariat Daerah Sumba Timur, di Waingapu.
Dialog dikemas dalam bentuk forum koordinasi perlindungan perempuan dan anak di Pulau Sumba. Pada acara tersebut, Menteri Bintang didampingi Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Ghafur Dharmaputra, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Vennetia R Danes, dan Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar.
Sebelum saya ke sini, kawin tangkap jadi isu yang dibahas di webinar hampir tiap hari, baik oleh akademisi, tokoh agama, maupun lembaga swadaya masyarakat.
”Sebelum saya ke sini, kawin tangkap jadi isu yang dibahas di webinar hampir tiap hari, baik oleh akademisi, tokoh agama, maupun lembaga swadaya masyarakat,” kata Bintang mengawali dialog tersebut.
Dalam forum tersebut, Menteri Bintang yang didampingi Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur ( NTT) Josef Nai Soi mendengarkan berbagai pandangan terkait praktik kawin tangkap yang sempat menjadi viral di media sosial. Ini menyusul penangkapan yang dilakukan sekelompok laki-laki terhadap R (21) dan M (21) warga sebuah desa di Sumba Tengah.
Dinyatakan lagi oleh Bintang, semenjak ada kasus kawin tangkap, dalam dua pekan ini isu kawin tangkap menjadi tema diskusi-diskusi daring yang digelar para tokoh agama, akademisi, dan organisasi perempuan. Bahkan, informasi ini sampai ke Istana, setidaknya Kantor Staf Presiden turut menggelar rapat yang membahas soal kawin tangkap.
Baca juga: Menanti Istana Bertindak Sudahi Kawin Tangkap
Karena itulah, sebagai Menteri PPPA, Bintang turun ke Sumba untuk memastikan penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ia menyatakan, kasus kawin tangkap yang terjadi di Sumba belakangan ini bukanlah bagian dari adat. Karena adat yang sesungguhnya memuliakan perempuan.
Kasus kawin tangkap yang terjadi bukanlah memuliakan perempuan, melainkan merendahkan perempuan.
”Kasus kawin tangkap yang terjadi bukanlah memuliakan perempuan, melainkan merendahkan perempuan. Itu adalah kasus, bukan budaya. Artinya, itu adalah kriminal. Karena itu, untuk memberikan perlindungan kepada anak, kita harus satukan persepsi supaya tidak terjadi lagi kasus-kasus,” kata Bintang.
Sebab, Indonesia sebagai negara dengan budaya dan tradisi yang beragam secara langsung ataupun tidak langsung akan memberikan pengaruh kepada pola perilaku dan interaksi masyarakat. Hal ini tentu saja tidak terkecuali terhadap pemenuhan hak dan tumbuh kembang anak.
”Budaya atau tradisi yang ada bersifat dinamis, tidak jarang mengalami pergeseran esensi dari budaya yang sebenarnya. Tradisi budaya dipakai sebagai kedok yang kemudian menempatkan perempuan dan anak rentan mengalami kekerasan berlapis yang menimbulkan dampak traumatis,” papar Bintang.
Menanggapi soal isu yang terkait dengan kawin tangkap, semua pemimpin daerah dan tokoh adat menegaskan bahwa kawin tangkap bukanlah bagian dari adat Sumba. Bahkan, mereka menegaskan, dalam adat Sumba tidak dikenal istilah kawin tangkap. Karena itu, semua perbuatan tersebut bertentangan dengan adat sehingga harus dihentikan.
Memang, saya baru dengar istilah di koran mengatakan kawin tangkap.
”Memang, saya baru dengar istilah di koran mengatakan kawin tangkap,” kata Wagub.
Dia menegaskan, hingga tahun lalu, masyarakat Sumba tidak mengenal istilah kawin tangkap. Baru ketika berita kawin tangkap diekspos di media, bahkan saat menteri datang ke Sumba, istilah kawin tangkap baru didengar masyarakat setempat. Padahal, sesungguhnya, menurut Josef, nilai-nilai budaya di Sumba justru menghargai harkat dan martabat perempuan.
”Nilai-nilai yang sudah diturunkan oleh nenek-moyang tidak boleh dihapuskan. Ini penting. Namun, pengaplikasian dari substansi itu harus berubah sehingga, kalau ada hal-hal yang tidak sesuai dengan perkembangan sekarang, kita harus sesuaikan nilai budaya yang sangat sakral yang menjunjung nilai kemanusiaan kita sesuaikan dengan kondisi sekarang,” papar Josef.
Di akhir acara tersebut, Menteri Bintang juga mendengarkan testimoni dari salah satu penyintas kawin tangkap yang berhasil melepaskan diri dari belenggu kawin tangkap tersebut. Suasana hening di ruangan itu saat Ol (31) menuturkan peristiwa penangkapan terhadap dirinya, yang berujung pada perkawinan paksa, tetapi akhirnya dia berhasil melarikan diri dari keluarga yang menangkapnya.
Kesepakatan bersama
Setelah berdialog, di akhir pertemuan tersebut Menteri Bintang juga menyaksikan pernyataan kesepakatan bersama pemerintah provinsi dan kabupaten di wilayah Sumba untuk melindungi perempuan dan anak di kabupaten sedaratan Sumba.
Kesepakatan bersama dilakukan Viktor Bungtilu Laiskodat (Gubernur NTT) yang diwakili Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur ( NTT) Josef Nai Soi serta empat bupati, masing-masing Gidion Mbilijora (Bupati Sumba Timur), Agustinus N Dapawole (Sumba Barat), Paulus SK Limu (Sumba Tengah), dan Kornelius Kodi Mete (Sumba Barat Daya).
Secara tegas, para pemimpin daerah tersebut menyatakan bahwa kawin tangkap (yappa rambang/plaingidi/malle ngiddi mawini) adalah tindakan yang bukan merupakan budaya masyarakat Sumba. Kawin tangkap bertentangan dengan hukum dan merampas kebebasan perempuan.
Oleh karena itu, dalam kesepakatan tersebut mereka menyatakan bahwa perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban, keluarga korban, dan/atau saksi.
Selanjutnya, mereka berkomitmen untuk melakukan pencegahan, penanganan, serta penghapusan praktik tersebut. Selain mencegah terjadinya kekerasan, juga menindak pelaku kekerasan dan melindungi korban kekerasan.
Kehadiran Menteri Bintang membangkitkan semangat dan harapan para relawan dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini mengadvokasi para korban kawin tangkap. Sebab, selama ini, suara-suara tentang kawin tangkap yang mereka sampaikan atas nama korban selalu tenggelam dengan anggapan masyarakat masih memandang kawin tangkap adalah bagian dari adat.
Pada kesempatan itu, Aliansi Kelompok/Komunitas Masyarakat untuk Pencegahan Kawin Tangkap menyerahkan laporan berisi sejumlah catatan kasus kawin tangkap yang terjadi di Sumba kepada Menteri Bintang. Mereka juga mengirim laporan yang sama untuk Presiden, Kepala Polri, dan Komnas Perempuan.
Kalau mendengar ada kasus tersebut, harus segera bertindak.
”Kami berharap kesepakatan para pemimpin daerah segera ditindaklanjuti dengan memerintahkan pemerintahan di tingkat bawah sampai ke desa-desa agar mencegah kawin tangkap dan, kalau mendengar ada kasus tersebut, harus segera bertindak,” kata Pendeta Hernina Ratu Kenya, yang mewakili Aliansi Masyarakat Stop Kawin Tangkap.
Pada hari ini, Jumat (3/7/2020), menurut Herlina, pihaknya juga melaporkan secara resmi kasus kawin tangkap yang terjadi pada tanggal 16 juni dan 23 Juni lalu. Ia berharap Kepala Polda NTT segera memerintahkan aparatnya untuk menindak tegas para pelaku kawin tangkap.
Baca juga: Menjerat Perempuan Berkedok Tradisi Kawin Tangkap
Apresiasi dan rasa bahagia juga disampaikan Diana, Humas Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan), yang selama ini mengadvokasi para korban dan penyintas kawin tangkap. Mereka menyampaikan terima kasih kepada Menteri Bintang yang dengan cepat hadir di Sumba sehingga semua pihak memberikan perhatian terhadap kasus kawin tanggap. ”Ini energi baru bagi kami,” kata Diana.
Semoga kehadiran Menteri PPPA akan membawa perubahan berarti di Sumba. Setidaknya menjadi langkah awal untuk mencegah praktik kawin tangkap yang melanggar hak asasi perempuan di Sumba.
Baca juga: Pilu ”Yappa Maradda” di Sumba