Cukup Sudah 16 Tahun, Segera Wujudkan UU Perlindungan PRT
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga telah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR. RUU ini menjadi harapan bagi para pekerja rumah tangga untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Oleh
Sonya Hellen Sinombpr
·5 menit baca
Perjuangan pekerja rumah tangga untuk mendapatkan pengakuan negara akhirnya mulai mendapat titik terang. Proses legislasi atas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang sebelumnya mandek di Dewan Perwakilan Rakyat selama 16 tahun, kini jalannya terbuka. Dukungan DPR dinilai merupakan sebuah kemajuan berarti.
Rapat Badan Legislasi DPR pada Rabu (1/7/2020) menetapkan draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) diajukan ke Rapat Paripurna DPR akhir masa sidang, pertengahan Juli 2020, untuk ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR.
Dengan ditetapkannya RUU tersebut sebagai RUU inisiatif DPR, pintu pembahasan antara DPR dan pemerintah mulai terbuka.
Penetapan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR menjadi harapan para PRT di Tanah Air. Sebab, dengan ditetapkannya RUU tersebut sebagai RUU inisiatif DPR, pintu pembahasan antara DPR dan pemerintah mulai terbuka.
”Kami sangat mengapresiasi langkah maju DPR melalui Baleg (Badan Legislasi) dan Tim Panitia Kerja RUU PPRT untuk membawa draf RUU PPRT ke Rapat Paripurna DPR,” ujar Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Minggu (5/7/2020), dalam pernyataan bersama secara daring terkait RUU PPRT menjelang Rapat Paripurna DPR.
Selain Lita, pernyataan disampaikan Giwo Rubianto (Ketua Umum Kowani), Lena Maryana Mukti (Koordinator Maju Perempuan Indonesia), Theresia Iswarini (komisioner Komnas Perempuan), Mike Verawati (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia), serta perwakilan Aliansi Stop Kekerasan di Dunia Kerja.
Penetapan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR sangat dinanti-nantikan untuk sebuah perubahan terhadap situasi dan kondisi PRT, yakni terwujudnya undang-undang yang melindungi PRT. Ekspektasi terhadap DPR cukup beralasan sebab RUU PPRT sudah diajukan ke DPR sejak tahun 2004 atau 16 tahun lalu.
Perjalanan RUU PPRT mengalami pasang surut, menjadi bagian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) selama empat periode DPR dan pemerintahan, yakni periode 2004-2009, 2009-2014, 2014-2020, dan 2020-2024. Bahkan, RUU tersebut pernah menjadi prioritas Prolegnas 2010-2014.
Oleh karena itu, menjelang Rapat Paripurna DPR, harapan besar dilayangkan kepada para wakil rakyat. Organisasi JALA PRT bersama organisasi perempuan meminta DPR dalam rapat paripurna akhir masa sidang pada pertengahan Juli 2020 untuk menetapkan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR dan disampaikan kepada pemerintah untuk pembahasan bersama.
Selanjutnya, Presiden Joko Widodo diharapkan menyambut baik RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR dengan segera mengeluarkan surat presiden untuk melakukan pembahasan bersama DPR hingga terwujudnya UU PPRT.
Karena itu, menurut Mike, dukungan publik untuk keberlangsungan pembahasan RUU PPRT dan terwujudnya UU PPRT juga menjadi penting. Sebab, lahirnya UU PPRT akan menjadi sejarah baru di Indonesia dalam penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap PRT, sejarah kemanusiaan, keadilan sosial, dan kesejahteraan warga negara Indonesia.
UU PPRT merupakan bentuk kehadiran negara dalam perlindungan situasi kerja warga negara yang bekerja sebagai PRT yang berjumlah lebih dari 5 juta orang dengan 84 persen di antaranya adalah perempuan. Pada tahun 2015 survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Universitas Indonesia tahun 2015 menemukan jumlah PRT di Indonesia sekitar 4,2 juta orang.
Dengan angka PRT yang demikian banyak, seharusnya semua pihak, terutama DPR dan pemerintah, tidak mengabaikan peran PRT karena selama ini membuat aktivitas publik di semua sektor berjalan.
”Kowani mendukung RUU PPRT segera dibahas dan disahkan. Kami berharap PRT tidak ditinggalkan. Kehadiran PRT dalam kehidupan keluarga sangat penting. Karena PRT-lah, banyak perempuan bisa berkarya di publik, bahkan menjadi pemimpin,” ujar Giwo.
Bahkan, tanpa adanya dukungan PRT di rumah, keluarga-keluarga akan mengalami kesulitan dalam urusan domestik, apalagi bagi pasangan suami istri yang bekerja di ruang publik.
Situasi kerja tidak layak
Sayangnya, hingga kini, PRT bekerja dalam situasi kerja dan tempat tinggal yang tidak layak, jam kerja panjang, beban kerja tidak terbatas, tidak ada kejelasan istirahat, libur mingguan, dan cuti, tidak ada jaminan sosial, serta ada larangan atau pembatasan bersosialisasi dan berorganisasi.
Situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan bahwa mereka menjadi bagian dari pembangunan. PRT belum diakui sebagai pekerja dan mengalami pelanggaran atas hak-haknya, baik sebagai manusia, pekerja, maupun warga negara. Mereka terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi perbudakan modern serta rentan kekerasan.
Karena itu, kehadiran RUU PPRT, selain sebuah pengakuan dan perlakuan PRT sebagai pekerja sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, mencegah terjadinya diskriminasi dan kekerasan terhadap PRT, juga sebagai bentuk perlindungan dan jaminan bagi pemenuhan hak-hak dasar, kesejahteraan, serta pendidikan dan pelatihan kerja bagi PRT.
Bahkan, lebih dari itu, sebagai bentuk perlindungan terhadap pemberi kerja untuk keseimbangan hak dan kewajiban dalam hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja; menjamin perlindungan hukum sesuai dengan karakteristik pekerjaan PRT.
Komnas Perempuan pun menyambut baik putusan Badan Legislasi yang menyepakati melanjutkan pembahasan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR. Hal ini merupakan langkah maju yang patut diapresiasi.
Selanjutnya, Komnas Perempuan mendukung DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT sebagai bentuk kehadiran negara dalam memastikan perlindungan perempuan melalui peraturan perundang-undangan.
Pengakuan dan perlindungan terhadap PRT melalui pengesahan RUU PPRT juga merupakan perwujudan sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D Ayat (2) yang menyatakan, ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
”Perlindungan ini secara konstitusional akan memberikan rasa aman bagi PRT dan pemberi kerja. Lebih dari itu, Komnas Perempuan menilai pengesahan RUU PPRT akan berdampak pada situasi perempuan yang lebih luas,” papar Iswarini.
Selain memberi perlindungan relasi kerja dan kepastian hukum terhadap kedua pihak, yaitu PRT dan pemberi kerja, juga menunjukkan bahwa nilai ekonomis pekerjaan PRT tak hanya menopang ketahanan ekonomi keluarga pemberi kerja, tetapi juga mendukung perempuan pemberi kerja untuk berkarya secara lebih optimal di ruang publik.