DPR Dinilai Tak Sensitif dengan Situasi Darurat Kekerasan Seksual
Kehadiran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi harapan para korban. Dewan Perwakilan Rakyat diminta tak sekadar berjanji, tetapi membuktikan komitmennya untuk membahas dan mengesahkan RUU itu.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen Dewan Perwakilan Rakyat dalam melindungi korban kekerasan seksual terus dipertanyakan menyusul keputusan mereka mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Selain membuktikan komitmen yang lemah, sikap tersebut juga menunjukkan para wakil rakyat tidak sensitif terhadap situasi darurat kekerasan seksual saat ini.
DPR dinilai tidak memiliki sensitivitas terhadap kasus kekerasan seksual yang terus menimpa perempuan dan anak hingga saat ini, termasuk di tengah pandemi Covid-19. Kondisi tersebut seakan tidak mendapat perhatian DPR. Sebaliknya, DPR justru terkesan menggantung status RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sehingga proses legislasinya tidak mengalami kemajuan berarti.
”Harapannya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera masuk Prolegnas Prioritas dan segera disahkan karena kondisi saat ini sudah darurat kekerasan seksual, dengan modus sangat beragam dan banyak yang tersembunyi. Angka kekerasan seksual sudah luar biasa, bahkan didukung banyak data dan survei,” ujar Arianti Ina Restuani Hunga, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, Minggu (5/7/2020).
Kondisi darurat kekerasan seksual seharusnya semakin mendorong DPR untuk segera menyelesaikan RUU tersebut, bukan malah menunda pembahasan. Alasan bahwa situasi pandemi Covid-19 memengaruhi kerja DPR dinilai tidak masuk akal.
”Justru sekarang DPR seharusnya membuktikan komitmennya yang kuat terhadap penghapusan kekerasan seksual supaya segera ada payung hukum yang jelas,” tegas Arianti.
Hal senada disampaikan Sri Nurherwati, mantan komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang sejak periode lalu aktif terlibat dalam proses mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. DPR dinilai tidak punya standar baku dalam menyikapi dan merespons kebutuhan serta masukan masyarakat sebagai produk kebijakan.
”Karena tidak ada standar baku, setiap anggota kemudian membuat keputusannya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Pada akhirnya tidak memberikan dukungan pada capaian pembangunan nasional, terutama di bidang peningkatan sumber daya manusia melalui pilar program kesetaraan jender,” kata Nurherwati.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar yang terlibat dalam tim kecil pemerintah membahas RUU tersebut juga menyesalkan keputusan DPR yang mengeluarkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas Prioritas 2020. LPSK mendukung pembahasan RUU tersebut karena tren meningkatnya grafik permohonan perlindungan dari para korban kekerasan seksual ke LPSK.
Tahun 2016, LPSK menerima 66 permohonan perlindungan, tahun 2017 sebanyak 111 permohonan, tahun 2018 (284 permohonan), dan tahun 2019 (373 permohonan). Sementara jumlah terlindung LPSK dari kasus kekerasan seksual, per 15 Juni 2020, mencapai 501 korban.
”Angka permohonan perlindungan maupun jumlah terlindung LPSK belum bisa menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Diyakini angka riilnya bisa lebih besar. Itu disebabkan tidak semua korban mau melanjutkan perkara ke ranah pidana,” kata Livia.
Ketua Kelompok Fraksi Nasdem di Badan Legislasi Taufik Basari, pekan lalu, menyampaikan, jika RUU tersebut dikembalikan lagi kepada Fraksi Nasdem sebagai pengusul, fraksinya siap mengakomodasi masukan-masukan dari berbagai pihak agar RUU ini dapat lebih diterima dan tidak menimbulkan salah pengertian.
Awalnya, menurut Taufik, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebenarnya adalah usul inisiatif dari dirinya sebagai anggota DPR untuk memasukkan RUU tersebut ke dalam Prolegnas.
Namun, setelah disetujui dan Prolegnas disahkan dalam paripurna, atas permintaan pimpinan Komisi VIII DPR, RUU tersebut diminta diubah statusnya menjadi usulan Komisi VIII. Namun, ternyata setelah statusnya diubah, RUU tersebut justru tidak berjalan dan belakangan malah didrop dari Prolegnas Prioritas.
Sikap DPR mengecewakan
Suara kekecewaan terhadap DPR juga disampaikan puluhan organisasi masyarakat sipil di Jakarta dan sejumlah daerah yang tergabung dalam Masyarakat Sipil untuk Pembahasan RUU PKS Prolegnas 2020, Minggu. Sikap DPR membuat proses RUU tersebut menggantung.
”Ketidakjelasan status dan tidak transparannya proses di DPR jelas menyulitkan masyarakat dalam mengawal RUU ini, padahal pembahasan RUU sejatinya inklusif dan partisipatif,” ujar Olin Monteiro, mewakili Masyarakat Sipil untuk Pembahasan RUU PKS Prolegnas 2020.
Situasi menggantung yang dilakukan anggota DPR saat ini (periode 2019-2024) sebenarnya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan anggota DPR periode lalu (2014-2019), yakni hanya sebatas menjanjikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas. Kenyataannya, RUU tersebut terus-menerus gagal dibahas, bahkan tidak bisa dilanjutkan pembahasannya.
Oleh karena itulah Masyarakat Sipil untuk Pembahasan RUU PKS Prolegnas 2020 menilai, saat ini sebenarnya terjadi ketidakjelasan status RUU tersebut di parlemen. Sebab, sejak ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas 2020 sampai bulan Juli 2020 belum ada kejelasan siapa yang akan menjadi pengusul RUU tersebut.
”Hal ini menimbulkan kebingungan publik terhadap posisi kebijakan yang sangat diharapkan untuk melindungi dan memberikan akses keadilan bagi korban kekerasan seksual dan keluarganya,” ujar Veni Siregar, Koordinator Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) untuk Perempuan Korban Kekerasan.
Bagi organisasi masyarakat sipil yang selama ini aktif mengawal advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, keputusan DPR sangat mengecewakan. Sebab, seperti disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), selama Januari-19 Juni 2020, terdapat 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik perempuan maupun laki-laki.
Komnas Perempuan mencatat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019, serta kasus kekerasan seksual di ranah publik 2.521 kasus dan di ranah privat 2.988 kasus. Begitu juga data FPL dari 25 organisasi menyatakan, selama pandemi Covid-19 periode Maret-Mei 2020, dilaporkan 106 kasus kekerasan yang terdokumentasi.
”Ini bukti yang sangat jelas bahwa siapa pun bisa menjadi korban kekerasan seksual. Keberadaan kebijakan penghapusan kekerasan seksual ini adalah harapan bagi publik,” kata Veni.
Dukungan parpol
Oleh karena itulah, mereka mendukung para anggota DPR yang terus berjuang untuk meloloskan RUU tersebut dan berharap partai-partai yang wakil-wakilnya ada di DPR mendukung pemberian hak korban melalui dukungan pembahasan RUU tersebut.
”Besar harapan kami agar Ibu Puan Maharani selaku pemimpin DPR perempuan pertama juga memberikan perhatian kepada RUU ini agar segera dibahas dan disahkan,” tambah Wahidah Suaib dari jaringan masyarakat sipil.
Selain itu, harapan terhadap DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terus disampaikan. Badan Legislasi DPR diharapkan memastikan RUU tersebut masuk Prolegnas Prioritas 2020 serta membuka ruang untuk bersuara dan masukan bagi kelompok masyarakat sipil dalam pembahasan RUU tersebut.
Kepada Presiden Joko Widodo, masyarakat sipil berharap pemerintah melanjutkan komitmen untuk mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan meminta Kementerian PPPA serta Kementerian Hukum dan HAM berkoordinasi dengan Komnas Perempuan, Pusat Studi Wanita/Pusat Studi Gender, dan kelompok masyarakat sipil lainnya agar melakukan upaya-upaya strategis memperkuat dibahasnya RUU tersebut pada tahun 2020.