Sekolah Pelosok Tak Bisa Gelar Pembelajaran Daring
Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh bagi para siswa tidak berjalan di derah-daerah terpelosok. Sebanyak 48.331 satuan pendidikan tidak memiliki akses listrik dan internet.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya infrastruktur listrik dan jaringan internet menjadi kendala utama pelaksanaan pembelajaran jarak jauh di sekolah-sekolah terpelosok. Selain itu, banyak orangtua tidak mampu membelikan anak-anak mereka gawai sebagai sarana pembelajaran jarak jauh.
Di Papua, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Papua mendata ada 14 daerah yang sama sekali tidak melaksanakan kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi Covid-19. Daerah-daerah itu meliputi Puncak, Puncak Jaya, Yalimo, Mamberamo Tengah, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, Lanny Jaya, Nduga, Asmat, Boven Digul, Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Mamberamo Raya.
”Sebanyak 14 daerah itu minim infrastruktur internet,” kata Kepala LPMP Provinsi Papua Adrian Howay, Minggu (12/7/2020) di Jayapura.
Karena itulah, PJJ praktis hanya bisa dilaksanakan di kota besar seperti Jayapura dan Mimika. Di kota pun, tidak semua orangtua mampu menyediakan kuota internet atau membelikan gawai bagi anaknya untuk mengikuti PJJ.
Dari Survei LPMP Papua pada April 2020 di 915 sekolah, hanya 45,9 persen siswa bisa mengikuti PJJ. Sisanya, belajar secara luring dan bahkan ada yang tidak belajar atau diliburkan.
Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito OFM mengungkapkan, pihaknya akan memulai kegiatan belajar tatap muka di seluruh Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik (YPPK) di Kabupaten Asmat pada Senin (13/7/2020). Sebab, pihak sekolah tidak dapat melaksanakan PJJ karena belum memiliki jaringan internet memadai. Di Asmat, YPPK memiliki 1 TK, 20 SD, 2 SMP, dan 1 SMA.
”Kami ingin anak Asmat kembali dapat belajar. Sekolah di pusat ibu kota kabupaten dan distrik melaksanakan kegiatan belajar dengan protokol kesehatan yang ketat. Sementara, sekolah di daerah pedalaman melaksanakan kegiatan belajar mengajar seperti biasanya, tetapi wajib menjaga kebersihan seperti mencuci tangan,” ucapnya.
PJJ juga sulit diterapkan di Maluku saat ini. Selain tidak semua wilayah terjangkau akses internet, keluarga juga kesulitan membelikan gawai untuk sarana belajar anak-anak.
”Di Dobo (ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru) saja sinyal internet lemah, apalagi di kampung-kampung. Di kampung, sinyal untuk telepon pun susah,” ujar Mila Ganobal, tokoh pemuda Kabupaten Kepulauan Aru.
Kepulauan Aru terdiri atas 547 pulau. Di sana terdapat 117 desa yang tersebar di 10 kecamatan dengan jumlah penduduk 113.000 jiwa.
Banyak masyarakat di sana hidup di bawah garis kemiskinan. Terlebih lagi, saat pandemi, ekonomi masyarakat sungguh terpukul.
Kondisi yang sama juga dialami siswa di Pulau Seira, Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Untuk siswa SD, setiap guru ditugaskan mendatangi rumah siswa satu per satu.
”Siswa SMP dan SMA ini agak susah diatur pembelajarannya. Bagi yang jauh dari sekolah, diharapkan mereka belajar sendiri di rumah. Tidak ada interaksi dengan guru,” kata Pendeta Devi P Lopulalan, tokoh agama di Seira.
Di Lampung, Kepala SMK Penerbangan Raden Intan Bandar Lampung Suprihatin menyampaikan, tidak semua siswa mempunyai gawai untuk PJJ. Padahal, sebagian besar kegiatan belajar dilakukan melalui aplikasi Whatsapp atau Zoom.
Siswa yang tidak mempunyai gawai akan diminta datang langsung ke sekolah untuk mengambil tugas pada guru. Siswa lalu mengirimkan tugas melalui e-mail.
Kesulitan menyediakan gawai untuk PJJ juga dialami keluarga di pusat ibu kota. Siti Munafiah, warga Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, sempat kebingungan saat wali kelas putranya mengabarkan akan melaksanakan pembelajaran daring pada Maret lalu.
Beruntung, satu orangtua murid mengetahui. Ia lantas menawarkan gawai miliknya yang sudah tidak terpakai kepada Siti seharga Rp 350.000.
Tidak apa-apa layarnya retak. Yang penting anak masih tetap bisa belajar kayak teman-temannya
Demi putranya, Siti rela mengambil uang tabungannya untuk membeli gawai bekas tersebut. ”Tidak apa-apa layarnya retak. Yang penting anak masih tetap bisa belajar kayak teman-temannya,” ungkap ibunda Ilham Maulidin (12), siswa SD Negeri Kebon Manggis 01 Pagi Jakarta itu.
Tak ada jaringan
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2020 menunjukkan, 40.779 atau sekitar 18 persen sekolah dasar dan menengah tidak ada akses internet dan 7.552 atau sekitar 3 persen sekolah belum terpasang listrik. Akses peserta didik terhadap pembelajaran daring di rumah dapat lebih rendah lagi karena kendala kepemilikan gawai/laptop dan kuota internet.
”Tentu menjadi sangat sulit penyelesaiannya jika suatu daerah terpelosok tidak punya akses listrik dan internet, tetapi juga ada (penularan) Covid-19. Ini yang paling sulit. Artinya, pembelajaran daring tidak mungkin dilakukan, sementara tatap muka juga tidak bisa,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Sartono.
Hasil survei dosen di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung terhadap 867 orangtua, siswa, dan guru di Kota Bandung pada 8-14 Juni 2020 memperlihatkan, 19,6 persen dari total responden mengaku cemas dan khawatir, 12,5 persen merasa bosan, 9 persen merasa akan kehilangan kemampuan penguasaan materi, dan 8,3 persen merasa butuh liburan jika pelaksanaan PJJ diperpanjang.
Dari survei itu terlihat bahwa siswa paling terdampak selama PJJ. Mereka harus menjalani penyesuaian akademik, keterbatasan interaksi sosial, dan kemungkinan perasaan negatif.
”Aspek-aspek psikologis yang timbul seperti itu tidak bisa dibiarkan. Ketidakteraturan dan ketiadaan alat ukur PJJ, seperti belum terbitnya kurikulum dan penyederhanaan kompetensi dasar, semakin membawa dampak negatif kepada siswa, salah satunya kemampuan akademik mereka turun,” kata dosen Fakultas Psikologi Unpad Anissa Lestari Kadiyono.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas 6-8 Juli 2020 terhadap 563 responden di 16 kota besar di Indonesia juga memotret persoalan keterbatasan teknologi yang dialami siswa. Sepertiga responden berpendapat, koneksi internet yang sering putus dan lambat menjadi masalah utama, 28 persen responden kesulitan membeli pulsa dan paket internet, serta seperempat responden tak memiliki gawai.
Mendikbud Nadiem Makarim mengakui cukup banyak kritik terkait ketidakoptimalan PJJ di masa pandemi. ”Itu saya 100 persen setuju dengan semua kritikan itu. Tetapi kita tidak punya opsi lain pada saat ini. Kita harus mencari jalan masing-masing karena tidak ada satu platform yang cocok untuk satu sekolah,” katanya.
Untuk para siswa yang belum memiliki akses ke internet, Kemendikbud telah meluncurkan program Belajar dari Rumah yang merupakan kolaborasi dengan TVRI. (VIO/FLO/FRN/FRD/IKA/MED/TAN)