Situasi pandemi Covid-19 membuat makin banyak anak mengakses internet. Hal itu membuat mereka rentan terpapar konten pornografi dan jadi korban kekerasan seksual secara daring.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kejahatan seksual berbasis daring menjadi momok bagi anak-anak di masa pandemi Covid-19. Sejumlah anak yang mengakses internet tanpa pengawasan dari orang menjadi korban eksploitasi seksual komersial anak atau kekerasan seksual secara daring. Bahkan, sejumlah anak menjadi korban dari penjahat seksual (paedofil) yang menyamar seperti anak-anak usia mereka.
Selama masa pandemi Covid-19 setidaknya ada sebanyak 83 laporan tentang anak-anak Indonesia yang kemungkinan mengalami eksploitasi seksual, melalui media sosial. Laporan tersebut diterima Project Karma (PK), salah satu lembaga nonpemerintah dari Australia, yang membantu pemerinta di sejumlah negara, termasuk Indonesia, untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual.
Selama pandemi anak-anak banyak tinggal di rumah dan banyak mengakses internet, sehingga berisiko mengalami eksploitasi seksual dari media sosial. (Glen Hulley)
“Selama pandemi anak-anak banyak tinggal di rumah dan banyak mengakses internet, sehingga berisiko mengalami eksploitasi seksual dari media sosial," ujar Glen Hulley, pendiri dan CEO Project Karma dalam Media Talk “Ancaman Terselubung Kejahatan Seksual Bagi Anak di Dunia Maya” yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) secara daring, Jumat (17/7/2020).
Sejak 1 Maret 2020, ia mendapat 83 laporan dari Indonesia yang materinya terkait eksploitasi seksual anak yang ditemukan di platform milik Facebook. laporan-laporan tersebut, sebanyak 36 dari laporan diantaranya secara resmi dilaporkan ke Facebook.
Glen yakin laporan tersebut sudah diteruskan Facebook kepada kepolisian untuk diselidiki lebih lanjut. Selama ini, Project Karma bekerjasama dengan Facebook untuk mengidentifikasi potensi eksploitasi seksual komersial anak melalui media sosial tersebut.
Selain dari media sosial, sejak 1 Maret 2020, Project Karma juga menerima tiga laporan pelecehan seksual terhadap anak Indonesia (di Bali), dalam bentuk child grooming (pelaku melakukan bujuk rayu dan membangun kedekatan emosial dengan anak untuk pelecehan seksual). “Salah satu dari laporan ini telah dilaporkan ke polisi. Dua laporan lainnya sedang menunggu informasi lebih lanjut untuk diberikan,” ujar dia.
Dicontohkan, seorang siswi yang menjadi korban dari mantan pacarnya yang membagikan gambar intimnya kepada teman-temannya. Pelaku kemudian mengeksploitasi korban dengan meminta korban mengirim foto-foto intim lainnya.
Eksploitasi seksual daring dilakukan dalam berbagai modus. Selain pelaku menyamar seolah-olah dirinya seusia anak-anak yang yang menjadi korban, para paedofil juga menyamar sebagai orang terkenal/selebriti. Bahkan ada yang menyamar sebagai Justin Bieber.
Untuk mencegah kejahatan seksual berbasis daring, Glen mengingatkan orangtua untuk membangun hubungan yang baik dengan anak-anak dengan cara berbicara tentang aplikasi yang mereka sukai dan yang digunakan bersama teman-temannya. Selain itu, orangtua juga harus mengawasi penggunaan gawai anak-anak termasuk akses di media sosial, dengan mengetahui sandi media sosial anak-anak.
Cara lain, adalah membuat akun media sosial anak-anak terhubung ke akun media sosial orang tua. Namun yang terpenting adalah memberi anak-anak pemahaman bahwa mereka harus berhati-hati ketika memberikan informasi atau foto di internet, karena apa yang telah diunggah akan selamanya ada di internet. Orangtua juga jangan ragu menghubungi kepolisian jika menemukan anak-anaknya menjadi korban eksploitasi seksual daring.
Selain Glen, diskusi yang dipandu Ciput Eka Purwianti (Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi, Kedeputian Perlindungan Anak, KemenPPPA), hadir sebagai pembicara Andy Ardian (Project Manager ECPAT Indonesia), Diena Haryana (Pendiri Yayasan Sejiwa), dan Dewi Inong Irana (Yayasan Peduli Sahabat) .
Andy menyatakan selain grooming, eksploitasi seksual anak secara daring juga dilakukan dalam bentuk konten berisi eksploitasis seksual terhadap anak, pemerasan seksual (sextortion), obrolan kepada anak untuk pemuasan seksual (sexting), atau siaran langsung yang menayangkan kekerasan seksual pada anak.
“Data dari interpol mengidentifikasi sejumlah tren yang mengkhawatirkan yakni semakin muda korban, semakin parah pelecehannya,” kata Andy.
Ia menyebutkan sebanyak 84 persen gambar berisi aktivitas seksual secara eksplisit, lebih dari 60 persen korban yang tak teridentifikasi adalah praremaja, termasuk bayi dan balita, dan 65 persen korban yang tidak teridentifikasi adalah perempuan. Selain itu, gambar pelecehan yang parah cenderung menampilkan anak laki-laki, dan 92 persen pelaku kejahatan adalah laki-laki.
Dari survei ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes ) Indonesia, selama pandemi dari 1.203 responden, terdapat 287 responden mengalami pengalaman buruk dalam berinternet. Itu terjadi karena kiriman tulisan/pesan teks yang tidak senonoh maupun gambar/video yang menampilkan pornografi. Ada juga kasus dengan mengajak anak siaran langsung untuk membicarakan dan melakukan hal yang tidak senonoh, atau dikirimi tautan konten pornografi.
Diena mengingatkan sebelum pandemi Covid-19, anak-anak Indonesia sudah terpapar pornografi. Menurut Data Kemenkes dan Kemdikbud tahun 2017, sebanyak 95,1 persen remaja SMP dan SMA di 3 kota besar di Indonesia (Jakarta, Yogyakarta, dan Aceh) telah mengakses situs pornografi dan menonton video pornografi lewat internet. Dari 6.000 responden, sebanyak 0,48 teradiksi ringan dan 0,1 persen teradiksi berat.
Dampak yang sangat buruk atas pornografi dapat terjadi pada perkembangan anak. Ciri-ciri fisik anak yang terpapar pornografi, antara lain malas, enggan belajar, bergaul, dan menata dirinya, tak punya semangat dan tampak tidak sehat, senang menyendiri, terutama di kamarnya. Selain itu tidak melepaskan gawainya, sulit tidur, sering tampak gugup bila ada yang mengajaknya berkomunikasi, dan melupakan kebiasaan-kebiasaan baiknya.
Selain menyebabkan kerusakan otak, adiksi pornografi akan menyebabkan gangguan emosi, yang berujung pada masa depannya yang suram. (Diena Haryana)
“Selain menyebabkan kerusakan otak, adiksi pornografi akan menyebabkan gangguan emosi, yang berujung pada masa depannya yang suram,” katanya.
Dewi Inong malah menyatakan adiksi pornografi pada anak sangat berbahaya, jika tidak diatasi maka akan berujung kepada perilaku seks bebas yang berisiko tinggi, yakni penyakit infeksi seksual menular termasuk rentan tertular HIV-AIDS. “Peran orangtua dan pendidik sangat penting untuk pencegahan dan deteksi dini pada anak,” kata dia.