Ajip Rosidi, Mencintai Indonesia Sepenuh Hati melalui Sastra
Semasa hidup, sastrawan Ajip Rosidi dikenal sebagai sosok yang produktif dan konsisten memajukan sastra daerah. Dia membuktikan mencintai Indonesia bisa dilakukan melalui sastra.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sastrawan Ajip Rosidi (82) meninggal pada Rabu (29/7/2020) setelah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam. Dunia sastra Indonesia kehilangan tokoh yang produktif dan konsisten memajukan sastra daerah.
Ketua Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Abrory Djabbar, menilai Ajip Rosidi bukan sekadar sastrawan ataupun budayawan, melainkan negarawan. Sebutan itu dikarenakan, sepanjang hidup, Ajip Rosidi selalu memikirkan membangun Indonesia.
”Membangun negara melalui sastra dan bahasa. Itu dimulai dari sastra daerah. Apabila seseorang mencintai sastra daerah, berarti dia mencintai Indonesia,” ujar Abrory saat dihubungi Kompas, Kamis (30/7/2020), di Jakarta.
Kecintaan Ajip Rosidi terhadap Indonesia salah satunya diwujudkan dengan mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage. Melalui yayasan ini, Ajip Rosidi memberi ruang seluas-luasnya terhadap buku berbahasa daerah, seperti Lampung, Batak, dan Sunda. Yayasan bahkan menyelenggarakan Hadiah Sastra Rancage, yakni penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah.
Dalam ingatan Abrory, Ajip Rosidi adalah pribadi yang jujur, lugas, cerdas, dan memiliki visi jangka panjang. Lagi-lagi visinya itu berkaitan dengan membangun Indonesia. Salah satunya terwujud melalui pembangunan penerbitan Pustaka Jaya.
Menurut Abrory, mengikuti pemikiran Ajip Rosidi berarti bersedia selalu menerima keberagaman. Ajip Rosidi tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu dan shalat tahajud malam hari, tetapi kebiasaan itu tidak lantas membuatnya memiliki haluan politik tertentu. Ajip Rosidi bersahabat dengan siapa saja.
”Almarhum pernah berdebat hebat dengan Taufik Ismail tentang penetapan Hari Puisi Nasional. Keduanya beda pendapat soal tanggal penetapan dan tokoh sastra nasional mana jadi acuan. Perbedaan pendapat itu tidak lantas memutuskan pertemanan keduanya,” katanya.
Mantan Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Ariany Isnamurti memandang almarhum Ajip Rosidi adalah orang yang konsisten menekuni bidang sastra dan bahasa. Semasa hidup, almarhum tidak berhenti mencari informasi untuk memperluas wawasannya.
Almarhum suka heran apabila ada orang yang tidak suka membaca.
”Hal itu terbukti dari banyaknya karya sastra yang dihasilkan dan dokumentasi koleksi buku. Almarhum suka heran apabila ada orang yang tidak suka membaca,” ujarnya.
Ariany mengatakan, sebagai pendiri Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, almarhum menunjukkan dirinya sebagai sosok yang sangat peduli atas eksistensi dan pelestarian dokumentasi. Almarhum juga rajin mencari dokumen dan menyerahkan karya-karyanya untuk disimpan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.
Produktif
Wartawan senior ST Sularto mengatakan, Ajip Rosidi belajar sastra secara otodidak. Almarhum tidak lulus SMA, tetapi menjadi guru besar tamu di Kyoto tahun 1982-1986. Pada tahun 2011, almarhum meraih doktor honoris causa dari Universitas Padjajaran Bandung.
Sularto menilai produktivitas almarhum luar biasa. Ajip Rosidi sudah menulis sejak umur 13 tahun ketika masih SD dan karya-karyanya dimuat di majalah-majalah waktu itu. Almarhum peduli terhadap karya sastra, termasuk pengembangan sastra dan bahasa daerah.
”Bahwa gelar bukan jaminan seperti yang almarhum tulis dalam buku Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam Dalam Kenangan. Berita almarhum sempat jatuh pada malam hari 21 Juli 2020 ternyata dia sebenarnya sedang menuju ke meja untuk mengetik. Berita itu membuktikan Ajip Rosidi terus berkarya tiada akhir,” ujarnya.
Sulastro mengingat, semasa hidup, Ajip Rosidi juga sangat peduli terhadap penghargaan karya cipta sehingga berjuang agar honor penulis dari media terus ditingkatkan.
Dia lantas menceritakan, dirinya beberapa kali mendampingi Jakob Oetama— salah satu pendiri harian Kompas—menerima Ajip Rosidi. Dalam pertemuan, salah satu butir pembicaraan menyangkut masalah honor tulisan bagi pengarang buku.
”Bukan untuk kepentingan pribadi Ajip Rosidi, tetapi kepentingan penulis sebagai pencipta,” ujarnya.
Mantan Rektor Universitas Padjajaran periode 2007-2015 Ganjar Kurnia, mengatakan, pemberian gelar doktor honoris causa tahun 2011 berangkat dari kegigihan dan konsistensi Ajip Rosidi yang peduli terhadap perkembangan sastra Sunda, mulai dari tulisan, penelitian, dan kebudayaan Sunda.
Tak hanya sastra Sunda, Ajip Rosidi rupanya juga perhatian terhadap sastra daerah lainnya. Hal itu terlihat dari pendirian dan pengembangan Yayasan Kebudayaan Rancage.
”Saya hadir dan ikut menyerahkan penghargaan di ajang Hadiah Sastra Rancage pada 31 Januari 2020. Penghargaan yang sudah puluhan tahun ini menunjukkan kepada siapapun bahwa Ajip Rosidi juga sosok yang sangat pluralis,” kata Ganjar.