Pendidikan untuk Mempersiapkan Anak Menghadapi Tantangan
Saat ini, pendidikan di sekolah diharapkan mampu mempersiapakan anak-anak menghadapi tantangan kehidupan yang serba tidak pasti.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan di sekolah seharusnya tidak lagi terbatas dimaknai untuk memampukan anak-anak menguasai kecakapan akademik semata agar mendapat nilai baik dan lulus sekolah. Makna pendidikan semestinya dipahami para pendidik untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi tantangan kehidupan yang tidak pasti.
Dengan demikian, anak-anak mampu beradaptasi dan memiliki solusi untuk berbagai tantangan kehidupan yang kelak mereka hadapi. Situasi kehidupan dengan kejadian pandemi Covid-19 menjadi bukti nyata adanya ketidakpastian yang bisa saja terjadi di dalam hidup yang harus selalu siap dihadapi dan diatasi.
”Kondisi pandemi Covid-19 ini mengajarkan kita untuk selalu siap dengan kondisi apa pun. Pendidikan harus bisa membantu anak-anak punya kecakapan dasar hidup yang dimulai dari sejak dini. Guru dan sekolah jangan hanya fokus untuk menuntaskan kurikulum akademik tanpa menjalankan proses penting untuk menyiapkan anak siap menjalani pembelajaran dan kehidupan,” kata Ketua Organisasi Montessori Indonesia Corry Yolanda dalam acara webinar bertajuk ”Pengenalan pada Pendidikan Montessori” yang digelar Yayasan Satriabudi Dharma Setia, Kamis (20/8/2020).
Webinar diikuti puluhan guru pendidikan anak usia dini (PAUD) dan perwakilan dinas pendidikan dari Pulau Sabu, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur.
Menurut Corry, gagasan Maria Montessori, seorang dokter perempuan pertama di Italia yang mengembangkan konsep pendidikan Montessori yang mendunia, relevan untuk diterapkan dalam pendidikan di sekolah dan rumah. Pendidikan Montessori tidak fokus pada akademis, tetapi mempersiapkan anak-anak untuk belajar.
”Para pendidik dan orangtua sering lupa untuk mempersiapkan anak-anak. Maunya anak langsung belajar sesuai yang diinginkan orang dewasa. Tetapi, kalau anak-anak dipersiapkan lebih dahulu, nanti mereka dengan sendirinya akan menikmati pembelajaran dan berkembang optimal,” ujar Corry.
Erlina VF Ratu (50), pembina Yayasan Satriabudi Dharma Setia, mengatakan, dirinya menguji coba pendidikan Montessori kepada sejumlah cucunya dengan metode sekolah rumah (homeschooling) sejak 2006. Dia merasakan perkembangan anak-anak yang luar biasa dan mandiri.
”Saya jadi terpikir untuk bisa membawa konsep Montessori yang sudah teruji ini juga untuk anak-anak di daerah yang masih tertinggal. Saya tertarik mengadaptasi pendidikan Montessori di Pulau Sabu, yang kondisi pendidikannya paling tertinggal di NTT,” kata Erlina.
Menurut Erlina, pemikiran dan konsep Montessori tetap bisa diambil dan diterapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah. ”Konsep pendidikan Montessori ini perlu diadaptasikan dengan kondisi guru dan fasilitas pendidikan di Pulau Sabu yang masih minim. Kami lakukan sejak jenjang PAUD supaya memberikan fondasi belajar yang baik sejak usia dini sehingga anak-anak siap belajar di jenjang berikutnya,” ujar Erlina.
Erlina mengatakan, melalui Yayasan Satriabudi Dharma Setia yang terpilih jadi salah satu Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, persiapan pelatihan guru untuk mengenal dan menerapkan pendidikan Montessori sudah dijalankan. Selain webinar, untuk pengenalan awal juga dibuatkan video penggunaan alat-alat Montessori. Nantinya pendidikan Montessori untuk PAUD juga akan direplikasi di Pulau Sumba, NTT.
Sementara itu, Salmon Wahani Budisatrio (24) sebagai penanggung jawab POP dari Yayasan Satriabudi Dharma Setia mengatakan, kondisi pendidikan PAUD di Pulau Sabu butuh dukungan. Semangat pendidik PAUD yang umumnya berlatar belakang pendidikan SMP dan SMA mesti diperkuat dengan bekal mendidik anak secara berkualitas dan menyenangkan, salah satunya dengan metode pendidikan Montessori.
Mempersiapkan anak
Corry mengatakan, pendidikan Montessori penting bagi anak usia 0-6 tahun untuk mempersiapkan mereka menjalani pendidikan dan kehdiupan. Di masa usia emas atau golden age ini, ada dua hal penting yang mesti dipahami tentang anak.
”Anak itu otaknya seperti spons, mampu menyerap semua informasi tanpa dipilah. Lalu, ada masa peka anak untuk belajar di rentang usia tertentu,” jelas Corry.
Menurut Corry, otak anak yang seperti spons (absorbent mind) bisa dimanfaatkan untuk membuat anak menyerap banyak hal yang berguna sebagai persiapan mereka menjalani kehidupan. Masa peka (sensitive period) anak yang mudah belajar ini harus dimanfaatkan untuk membuat anak bisa melakukan berbagai hal yang sesuai dengan tahapan usianya.
”Sekarang ini saya sering mendapati banyak anak usia lima tahun saja belum lancar bicara. Bisa jadi karena orangtua tidak optimal merangsang anak untuk diajak bicara karena lebih sering dikasih gadget atau menonton televisi. Padahal, anak usia tertentu mudah belajar sesuatu,” ujar Corry.
Dalam kaitan penerapan kelas Montessori, papar Corry, pihak sekolah dan guru perlu memperhatikan tiga hal dasar. Ruang kelas didesain untuk multiusia, artinya anak-anak yang usia berbeda dicampur di satu kelas. ”Anak-anak yang berbeda usia serta kemampuan pengetahuan dan kebiasaannya yang disatukan di kelas ini mendorong anak jadi cepat berkembang,” kata Corry.
Selain itu, sekolah juga perlu menyiapkan alat bantu pengajaran. Sebab, anak usia enam tahun ke bawah belum bisa membayangkan hal-hal yang abstrak. ”Belajar angka atau huruf itu, kan, abstrak. Tetapi, kalau dibantu dengan alat yang konkret, yang bisa dipegang, anak-anak mudah memahami,” ujar Corry.
Yang terakhir, guru di kelas tidak lagi sebagai pusat pembelajaran. Justru guru harus membuat anak aktif belajar. Bahkan, guru harus mampu untuk menyesuaikan diri dengan minat/kesukaan dan kemampuan belajar anak.
Corry mengingatkan bahwa belajar jangan sebatas dimaknai belajar akademik, seperti membaca, menulis, dan menghitung. Anak-anak tetap bisa belajar apa pun dari kehidupan sehari-hari. Belajar anak bisa juga dengan membereskan tumpahan air dengan lap, menunggu giliran belajar, hingga berbagi alat belajar.
”Kalau pendidikan untuk anak usia dini cuma fokus akademik, nanti anak-anak bisa bilang sekolah tidak menyenangkan. Jadi, masa usia dini justru dipakai untuk mempersiapkan anak siap untuk belajar di tahap berikutnya,” ujar Conny.
Corry mengingatkan, tujuan pendidikan anak sejak usia dini untuk membuat mereka mandiri, memiliki disiplin dalam diri sendiri, memiliki tanggung jawab, dan empati yang besar terhadap lingkungannya. Selain itu, memiliki kemampuan konsentrasi yang lebih baik dan daya juang yang lebih besar, tidak mudah menyerah, dan tidak mudah lelah.
”Semua hal tersebut sangat dibutuhkan saat mereka memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Bahkan, dalam menjalani kehidupan ketika mereka dewasa. Kehidupan di masa datang tidak bisa kita ketahui secara pasti. Anak-anak perlu memiliki kemampuan untuk menghadapi ketidakpastiaa,” papar Corry.
Para orangtua pun, tambah Corry, akan lebih mudah mengarahkan dan membimbing anak-anak karena mereka lebih bertanggung jawab, percaya diri, dan mudah bekerja sama. Selain itu, anak-anak juga mampu menjadi seseorang yang menyelesaikan masalah.
”Kita harus memberikan pendidikan berkualitas yang mempersiapkan anak-anak siap hidup dengan kondisi apa pun,” ucap Corry.