Pemerintah mempermudah pengangkatan guru honorer melalui mekanisme pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Mulai 2021, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuka seleksi untuk merekrut 1 juta guru honorer.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru honorer merupakan ujung tombak sistem pendidikan, tetapi perlindungan dan upah mereka sangat minim tanpa ada standar minimal. Karena itu, mulai 2021, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan merekrut 1 juta guru honorer menjadi aparatur sipil negara melalui mekanisme pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK.
Semua guru honorer bisa mengikuti seleksi tersebut tanpa ada persyaratan khusus, dengan kesempatan hingga tiga kali tes. Kemendikbud juga akan memberikan bantuan dan panduan bagi guru honorer agar siap mengikuti tes seleksi yang akan diselenggarakan secara daring.
Namun, terlebih dahulu pemerintah daerah harus mengajukan formasi guru ke pemerintah pusat. Saat ini baru 200.000 formasi guru yang diajukan pemerintah daerah, padahal pemerintah pusat menyediakan formasi 1 juta guru.
”Kami siapkan (formasi) untuk 1 juta guru, tetapi harus lulus seleksi. Meski tidak bisa diselesaikan pada 2021, ini awal untuk menyelesaikan masalah guru honorer. Mereka harus dilindungi dengan (aturan) standar minimum,” kata Mendikbud Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta, yang disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube, Senin (16/11/2020).
Nadiem mengatakan, pengangkatan guru honorer menjadi pegawai ASN selama ini terkendala sejumlah hal, seperti minimnya formasi dan anggaran. Dengan skema baru ini, tidak ada lagi kendala untuk mengangkat guru honorer menjadi ASN PPPK. Pemerintah pusat menjamin anggaran gaji untuk guru honorer yang lolos seleksi ini dalam APBN.
Komisi X DPR mengapresiasi rencana pengangkatan 1 juta guru honorer menjadi ASN PPPK tersebut. Skema ini, kata Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, merupakan lompatan besar untuk pengangkatan guru honorer dan memenuhi kebutuhan guru ASN. Saat ini ada 1.516.072 guru honorer, terdiri dari 847.973 guru honorer di sekolah negeri dan 668.099 guru honorer di sekolah swasta.
”Jika benar tahun depan sejuta guru honorer bisa diangkat, akan terjadi pengurangan besar-besaran terhadap guru yang berstatus honorer dan secara signifikan bakal memenuhi kebutuhan guru secara permanen,” ujar Syaiful.
Karena belum pernah terjadi dalam sejarah perekrutan ASN selama ini, Syaiful meminta Kemendikbud segera memperjelas sistem perekrutan 1 juta guru ASN PPPK yang berasal dari guru honorer ini. Perekrutan ASN dalam skema PPPK tahun 2019 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi hanya bisa menampung 51.000 tenaga honorer dari berbagai bidang pekerjaan dan 34.959 guru honorer.
Subsidi upah
Selain memaparkan rencana perekrutan 1 juta guru honorer menjadi ASN PPPK, Nadiem juga memaparkan bantuan subsidi upah bagi guru dan tenaga kependidikan non-pegawai negeri sipil (GTK non-PNS) sebesar Rp 1,8 juta per orang dengan total alokasi anggaran Rp 3,66 triliun. Dari 2.034.734 sasaran penerima bantuan, sekitar 1,6 juta merupakan guru honorer.
”Ini kabar gembira bagi guru honorer di masa pandemi ini. Mereka adalah ujung tombak sistem pendidikan kita, dan mereka rentan di masa krisis ini sehingga patut dan harus dibantu pemerintah pusat,” kata Nadiem.
Bantuan serupa akan diterima oleh 745.415 GTK non-PNS yang berada di bawah Kementerian Agama. Dalam laman Kemenag disebutkan, Kemenag mendapat alokasi Rp 1,15 triliun untuk bantuan subsidi upah tersebut.
Sekretaris Jenderal Kemenag Nizar mengatakan, anggaran tersebut akan disalurkan untuk GTK non-PNS madrasah sekitar Rp 1,14 triliun, GTK non-PNS pada Ditjen Bimas Katolik sebesar Rp 3,60 miliar, GTK non-PNS pada Ditjen Bimas Buddha sebesar Rp 1,49 miliar, serta GTK non-PNS pada Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu sebesar Rp 253,8 juta.
Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengapresiasi keputusan pemerintah memberikan bantuan subsidi upah untuk GTK non-PNS. Bantuan itu akan sangat membantu GTK non-PNS, terutama di sekolah-sekolah swasta menengah ke bawah yang sangat terdampak krisis akibat pandemi ini.
”Selama pandemi, kami mendapat laporan sekolah-sekolah swasta menengah ke bawah sedang mengalami kesulitan keuangan internal. Di antara faktornya adalah orangtua tidak lagi membayar SPP (sumbangan penyelenggaraan pendidikan) secara penuh,” kata Satriwan.
Satriwan berharap mekanisme penyalurannya nanti bisa tepat sasaran, proporsional, dan berkeadilan. Dampak krisis akibat pandemi ini tidak sama bagi setiap GTK non-PNS. Mereka yang berkarya di sekolah swasta menengah ke bawah lebih terdampak daripada mereka yang berkarya di sekolah swasta menengah ke atas.
”Termasuk yang diafirmasi adalah guru-guru honorer yang menggunakan metode guru kunjung selama pembelajaran jarak jauh ini karena tantangan mereka mengajar lebih berat. Mereka berkunjung ke rumah-rumah siswa dengan akses jalan dan transportasi yang susah,” katanya.