Yulfita Raharjo, Peletak Dasar Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Yulfita Raharjo masih tetap energik di usianya yang menginjak 80 tahun. Antropolog yang banyak menekuni isu agraria dan jender dalam kajian kependudukan ini meletakkan banyak pemikirannya hingga kini.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·3 menit baca
Kependudukan adalah bidang ilmu yang memiliki hubungan erat dengan kebijakan ekonomi dan sosial sebuah negara. Jika perkembangan faktor kependudukan tidak diperhatikan secara saksama, pertumbuhan ekonomi bisa terhambat. Karena itu, kesadaran untuk mengembangkan ilmu kependudukan di negara-negara industri maju sangat tinggi.
Isu kependudukan ini juga telah menjadi perhatian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak 1969 dengan dibentuknya kelompok studi kependudukan di bawah Pusat Penelitian Kemasyarakatan. Seiring meningkatnya kebutuhan akan data demografi untuk perencanaan pembangunan, kelompok ini berubah menjadi Pusat Studi Kependudukan pada 1973.
Perkembangan Pusat Studi Kependudukan yang kini bernama Pusat Penelitian Kependudukan (P2K) LIPI itu tidak bisa dipisahkan dari kiprah Yulfita Raharjo, seorang antropolog yang banyak menekuni isu agraria dan jender dalam kajian kependudukan. Yulfita pernah menjadi Kepala P2K LIPI pada 1991-2000.
”Bu Yul (sapaan Yulfita) meletakkan fondasi dalam etika dan moralitas penelitian,” kata Kepala P2K LIPI Herry Yogaswara dalam peluncuran buku Kependudukan dan Pembangunan sebagai persembahan atas kiprah dan peran Yulfita bagi P2K LIPI di Jakarta, Jumat (11/12/2020). Buku tersebut juga menjadi hadiah ulang tahun Yulfita yang tahun ini menginjak usia 80 tahun.
Buku yang berisi tulisan sejumlah peneliti LIPI yang pernah bekerja dan menjadi ”murid” Yulfita itu dibuat berdasarkan perspektif setiap penulis. Namun, buku itu bisa dijadikan alat untuk memahami sejarah pemikiran kependudukan dari waktu ke waktu, termasuk pemikiran Yulfita yang menggunakan pendekatan kualitatif dalam kajian kependudukan.
Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan, Yulfita adalah sosok yang konsisten dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Konsistensi itulah yang melahirkan spesialisasi dalam bidang tertentu yang merupakan ciri dari ilmuwan. Pendekatan kualitatif dalam studi kependudukan yang dilakukan Yulfita membuat persoalan yang ada bisa ditangkap masyarakat secara holistik.
”Pendekatan ini juga penting untuk ilmuwan sosial kemanusiaan lainnya, bukan hanya ilmu kependudukan,” katanya. Selain itu, Yulfita juga dikenal dengan pemikirannya yang lugas. Mitra kerja samanya juga luas, baik dari dalam maupun luar negeri.
Sementara itu, Kepala LIPI Laksana T Handoko mengenal Yulfita sebagai sosok yang sangat peduli dengan isu jender. Dia mengenal Yulfita saat baru memasuki jenjang struktural LIPI ketika Yulfita sudah pensiun, tetapi masih menjadi pembicara di banyak forum.
Salah satu jejak implementasi dari pemikiran Yulfita adalah adanya ruang laktasi di semua kantor atau kampus LIPI saat ini. Hampir dua dekade lalu, ruang laktasi di perkantoran belum menjadi hal yang umum. Padahal, penyediaan ruang laktasi itu merupakan bentuk tanggung jawab semua pihak, termasuk tempat kerja, untuk menciptakan generasi bangsa yang berkualitas sejak mereka masih bayi.
Dalam dokumentasi Kompas tahun 1990-2000, terdapat sejumlah berita atau artikel yang memuat pandangan Yulfita tentang peran perempuan dalam pembangunan, masyarakat, dan budaya. Yulfita juga banyak berbicara soal penghapusan kekerasan terhadap perempuan hingga peran anak dalam mendukung pertumbuhan anak dan terciptanya keluarga berkualitas.
Seusai buku Kependudukan dan Pembangunan diserahkan, Yulfita mengungkapkan rasa bangga, haru, apresiasi, miris, malu, sekaligus berterima kasih atas persahabatan yang terus terjalin dengan rekan-rekan peneliti di LIPI. ”Apalagi yang bisa dibanggakan dalam hidup kecuali punya teman sejati dan penuh dedikasi dengan profesinya sebagai peneliti,” katanya yang tetap energik di usia 80 tahunnya.
Yulfita mengakui apa yang dilakukannya di P2K di masa lalu hanyalah ingin membagi pengetahuan dan memperluas cakrawala peneliti-peneliti. Baginya, tidak ada kebenaran sejati dalam ilmu karena yang membedakannya adalah perbedaan sentuhan analisis dan konteks.