Gelandangan, Pengemis, dan Pemulung Diberdayakan agar Mandiri
Mekanisme pemberian perlindungan sosial kepada pemulung dan gelandangan semestinya bukan by name by address tapi by name by Nomor Induk Kependudukan, sehingga di manapun mereka berada, akses bantuan bisa diberikan.
JAKARTA, KOMPAS- Kementerian Sosial kini terus berupaya meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Selain mengoptimalkan layanan rehabilitasi sosial, juga meningkatkan pemberdayaan sosial dan memastikan para penerima manfaat yang dilayani betul-betul bisa mandiri.
Karena itu, berbagai pelatihan keterampilan yang diberikan kepada sejumlah gelandangan, pengemis, dan pemulung serta kelompok rentan diharapkan dapat menjadi bekal mereka untuk bekerja atau berwirausaha.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial (Rehsos) Kementerian Sosial Harry Hikmat, mengungkapkan gelandangan dan pengemis umumnya termasuk kategori tidak mampu, miskin bahkan sangat miskin. Mereka masih ditemukan secara nyata ada di pelosok-pelosok kota, di pemukiman kumuh, status tanah ilegal, atau di lapak-lapak, juga di pinggiran kali, di pinggiran rel kereta api dengan rumah status tanah ilegal.
Komunitas yang tinggal di status tanah seperti itu menjadi sumber keberadaan gelandangan, pengemis, dan pemulung. Ketika masih ada warga yang ditemui tidur di emperan toko, dan betul-betul sama sekali tidak punya rumah menggelandang dan sebagainya, akan dicek lagi di mana tempat tinggal dan asal dari mereka.
Sebagian yang ditemui Mensos, setelah dipetakan sebenarnya ada yang sudah punya rumah di lapak di tempat penampungan sampah, tetapi yang menjadi masalah ketika mereka berangkat malam hari kadang sampai pagi bisa terjadi kelelahan dan akhirnya tidur di mana saja termasuk di gerobak.(Harry Hikmat)
“Sebagian yang ditemui Mensos, setelah dipetakan sebenarnya ada yang sudah punya rumah di lapak di tempat penampungan sampah, tetapi yang menjadi masalah ketika mereka berangkat malam hari kadang sampai pagi bisa terjadi kelelahan dan akhirnya tidur di mana saja termasuk di gerobak,” kata Harry kepada Kompas, Sabtu (30/1/2021).
Dari pemetaan masalah, Kemensos menemukan permasalahan yang dihadapi pemulung dan kelompok rentan antara lain, hak sipil belum terpenuhi, akses layanan sosial dasar terbatas, sulit menerima program layanan, partisipasi rendah, kebutuhan dasar terbatas, dan mendapat stigma (pencuri, kotor, pembawa penyakit, tinggal di slum area dan sebagainya).
Hingga kini, sejumlah pemulung dan gelandangan yang ditemukan Mensos, dibawa ke Balai Karya Pangudi Luhur, Bekasi, untuk mendapatkan layanan, pelatihan kerja agar nantinya mandiri.
Menurut Harry, upaya Kemensos memberikan rehabilitasi sosial kepada gelandangan dan kelompok marginal tidak hanya mendorong perubahan perilaku dan pola pikir, juga harus ada upaya konkret memastikan masa depan mereka agar betul-betul mandiri dan melakukan aktivitas yang bermanfaat. Maka, yang dilakukan Kemensos adalah rehabilitasi sosial yang terintegrasi dengan pemberdayaan sosial, ditambah sistem jaminan dan perlindungan sosial.
Karena itulah, keluarga dari kelompok marginal tersebut seharusnya bisa memiliki identitas KTP dan KK sehingga bisa mengakses bantuan perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH). Bahkan saat ini Kemensos sedang menyiapkan agar gelandangan dan pemulung yang ditemukan dapat menerima PKH dan bantuan pangan non tunai (BPNT) atau kartu sembako, atau bantuan sosial tunai, dengan catatan mereka harus punya KTP/KK.
“Karena itu bentuk perlindungan sosial bukan bentuk by name by address tapi by name by Nomor Induk Kependudukan, sehingga di manapun mereka berada harusnya mereka punya akses terhadap program-program perlindungan sosial,” kata Harry.
Karena itulah, Kemensos menfasilitasi gelandangan, pengemis, pemulung dan kelompok marginal untuk mendapatkan KK/KTP melalui perekaman data kependudukan dan bansos. Sejauh ini ada sekitar 136 orang yang dilakukan perekaman data kependudukan, termasuk di dalamnya 18 orang yang ditemukan Mensos di jalanan.
Umumnya dari lembaga kesejahteraan sosial (LKS) yang dampingi gelandangan, pengemis, pemulung. “Dari proses itu yang datang hanya 104 orang. Dan sebanyak 34 orang sudah mendapatkan KTP. Mereka mayoritas dari luar daerah,” kata Harry.
Ketika kelompok marginal tersebut tidak memiliki/ tidak ada NIK/KTP, Direktoral Jenderal Rehsos Kemensos akan berkoordinasi bersama Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) setempat untuk mengajukan identitas/ data kependudukan.Namun sebelumnya ada proses uji sidik jari. Jika tidak terdeteksi dalam basis data KTP elektronik, maka mereka akan didata sebagai penduduk baru (NIK baru) sehingga bisa mengakses program bansos.
Jika tidak ada alamat tempat tinggal, solusinya mereka didaftarkan dengan tempat tinggal sesui domisili domisili dengan alternatif digabung KK saudaranya, KK sendiri tapi alamat saudara, dimukimkan oleh pemda terkait, dan transmigrasi. Untuk itu juga diperlukan Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak (SPTJM) dari balai/ panti/ LKS atau Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kepolisian.
Baca juga: Di Emperan Toko, Mereka Menanti Remahan Belas Kasih Warga
Pelatihan kerja
Di Balai Rehabilitasi seperti Pangudi Luhur mereka mendapat pelatihan tenaga kerja. Karena kebanyakan pemulung, Mensos Tri Rismaharini menyiapkan program daur ulang sampah, dengan menyiapkan mesin pengolahan sampah untuk organik, bahkan menyiapkan komposter untuk pembuatan kompos.
“Sekarang sudah 40 komposter yang sudah digunakan, 20 di antaranya sudah siap pupuk komposnya, dan itu bisa menjadi pendapatan penerima manfaat. Sumber sampah kerjasama dengan kementerian/lembaga,” ujarnya.
Bahkan Mensos Tri Rismaharini menawarkan kepada para menteri yang sampahnya bisa diambil untuk diolah. Sejauh ini tawaran itu sudah disambut Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN, termasuk PT Waskita Karya siap sampah dari kantornya didaur ulang oleh pemulung yang menghuni Balai Pangudi Luhur.
Selain beternak lele dan ayam petelur, dan bertani hidroponik, penghuni di Balai Karya Pangudi Luhur Bekasi mendapatkan pelatihan keterampilan memasak dari Surabaya Hotel School. Pada tanggal 26-31 Januari 2021 sebanyak 30 peserta mengikuti pelatihan yang didampingi 9 instruktur dari Surabaya Hotel School. Harapannya pelatihan tersebut menjadi bekal bagi mereka untuk membuka usaha kuliner secara mandiri.
Pelatihan memasak tersebut sejalan dengan akan dibukanya sentra produksi dan kuliner di Balai Karya Pangudi Luhur Bekasi, sebagai bentuk dari layanan rehabilitasi sosial sekaligus pemberdayaan sosial. Rencananya sentra produksi dan kuliner dibangun dalam 3 jenis, yaitu rumah makan, pujasera, dan kafe. Pusat kuliner ini akan menjadi tempat makan bagi pegawai Kemensos maupun masyarakat umum.
“Kita harus dorong kalau ada penerima manfaat yang punya potensi dikembangkan potensinya, disekolahkan atau dilatih lagi. Jadi, kita pastikan mereka harus mentas,” ungkap Risma.
Selain mendapat pelatihan, Kemensos juga menyalurkan sejumlah warga yang ditemui dijalan untuk bekerja seperti di kawasan modern Grand Kamala Lagoon, Bekasi dan PT Waskita Karya. “Semua itu ide dari Menteri,” kata Harry.
Baca juga: Panti Sosial Belum Membuat Nyaman Gelandangan
Langkah-langkah yang dilakukan Kemensos adalah bagian dari mewujudkan kemandirian dari warga terlantar agar bisa mandiri dan pola pikir berubah, melalui Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) yang dikembangkan di balai. ATENSI menjadi konsep penanganan warga terlantar yang sifatnya komprehensif, membantu hingga tuntas agar warga terlantar dapat hidup layak serta bisa mandiri.