Pengalaman Wartawati Amerika Dirazia Belanda di Yogya Tahun 1895
Pada tahun 1895, wartawati National Geographic, Eliza Ruhamah Scidmore,sal Amerika Serikat, dirazia oleh Residen Belanda di Yogyakarta saat bermaksud mengunjungi Candi Borobudur di Kabupaten Kedu kala itu.
Pemerintah kolonial Belanda sangat ketat membatasi pengunjung Eropa non-Belanda datang ke Hindia Belanda, termasuk Pulau Jawa, sehingga tidak banyak kunjungan wisatawan atau penjelajah Barat. Pada tahun 1895, wartawati National Geographic, Eliza Ruhamah Scidmore, asal Amerika Serikat, dirazia oleh Residen Belanda di Yogyakarta saat hendak mengunjungi Candi Borobudur di Kabupaten Kedu kala itu.
Eliza Scidmore, yang berkelana mulai dari Batavia-Priangan, Tasikmalaya, dan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta dengan menumpang kereta api via Cilacap, menginap di Hotel Tugu, Yogyakarta. Hotel tempat mereka menginap, kini merupakan bangunan cagar budaya, berada di Jalan Pangeran Mangkubumi dekat Stasiun Tugu.
Dalam buku Java, The Garden of The East, Scidmore menuliskan, sejak dirinya datang di hotel, orang-orang Belanda yang ada di sana sudah memandang dengan curiga rombongan perempuan Amerika Serikat tersebut.
Sebetulnya Eliza Scidmore bersama dua teman perempuannya sudah mengurus izin perjalanan (toelating kaarten) untuk bepergian ke pedalaman Jawa saat berada di Kota Batavia. Karena terburu-buru melanjutkan perjalanan ke Buitenzorg (Kota Bogor), mereka mendatangi asisten residen dan mendapat jawaban dokumen tersebut hanya formalitas. Toelating kaarten akan dikirimkan ke Eliza Scidmore dan rombongan melalui jasa pos dengan pilihan dikirimkan ke Tasikmalaya atau Yogyakarta.
Scidmore meminta agar dokumen tersebut dikirimkan ke Yogyakarta. Mereka pun bepergian berhari-hari dari Buitenzorg, berkeliling Priangan di sekitar Sukabumi-Bandung, mengunjungi Tasikmalaya, hingga Yogyakarta tanpa membawa toelating kaarten.
Pemilik Hotel Tugu menemani Scidmore dan rombongan berkeliling Yogyakarta di hari-hari pertama kedatangan mereka di pusat kerajaan Jawa—Keraton Yogyakarta Hadiningrat—meninjau taman di sekitar hotel yang dipenuhi kunang-kunang bercahaya kelap-kelip indah.
Mereka berjalan-jalan melihat Yogyakarta di malam hari. Lampu jalan dan obor menerangi jalan dan deretan pertokoan. Mereka berjalan kaki hingga ke dekat gerbang Keraton Yogyakarta lalu kembali ke hotel.
Sebelum tiba di hotel, sang pemilik hotel mengabarkan, asisten residen akan menemui Scidmore dan rombongan di hotel. Pemilik hotel mengantar mereka melewati ruang kantornya dan terlihat seorang pria Eropa tinggi besar dengan seragam gelap dan topi militer menunggu mereka.
”Saya harus mengabarkan kepada Anda semua bahwa Anda tidak punya izin untuk berkunjung ke Yogyakarta,” ujar asisten residen dengan ketus.
Setelah berdebat sebentar, barulah Scidmore mengetahui bahwa sore itu ada telegram dari kantor Pemerintah Hindia Belanda di Buitenzorg, ada kedatangan tiga perempuan warga negara Amerika Serikat yang tidak membawa paspor ke Yogyakarta. Scidmore menjelaskan, paspor dan surat izin mereka, sesuai kesepakatan dengan asisten residen di Batavia, akan dikirimkan dari Buitenzorg dengan jasa pos ke Yogyakarta.
Akan tetapi, asisten residen Belanda tetap bersikap kaku dan melanjutkan tanya jawab seperti dalam proses peradilan kasus pembunuhan terhadap Scidmore dan rombongan. Sikap pejabat Belanda tersebut, menurut Scidmore, menegaskan sistem birokrasi Belanda yang merasa tidak bisa melakukan kesalahan, termasuk dalam hal perizinan dan dokumen Scidmore dan kawan-kawan.
Ketika ditanya akan berapa lama berada di Yogyakarta, Scidmore menegaskan tidak ingin berlama-lama karena bermaksud segera melanjutkan perjalanan ke Candi Borobudur, entah untuk berapa lama. Mendengar keterangan tersebut, asisten residen semakin bersikap kaku dan keras. Dia malah meminta Scidmore dan rombongan sesegera mungkin meninggalkan Yogyakarta dan kembali ke Buitenzorg.
Asisten residen sebetulnya juga tidak tahu harus berbuat apa karena informasi dari Buitenzorg hanya mengabarkan kedatangan tiga perempuan warga negara Amerika Serikat.
Scidmore dan teman-temannya mulai jengkel. Mereka pun menyodorkan paspor Amerika Serikat mereka serta meminta asisten residen dan para pejabat Belanda menyelesaikan persoalan tersebut kepada Konsul Amerika Serikat di Batavia. Ternyata, asisten residen menampik paspor Amerika Serikat tersebut dan mengatakan tidak perlu.
Tak disangka, asisten residen melihat sepucuk surat pengantar dari National Geographic Society yang dibawa Eliza Ruhamah Scidmore. Surat dengan kop bertuliskan Smithsonian dengan tulisan to all friends of science (kepada seluruh sahabat dunia ilmu pengetahuan) segera dibuka si asisten residen.
Lalu, asisten residen membaca tulisan ”For the increase and diffusion of knowledge among men (demi meningkatkan dan menyebarkan pengetahuan di antara umat manusia)”.
Asisten residen yang semula bersikap kaku dan keras itu berdehem beberapa kali lalu berucap sambil membaca surat ”The Smithsonian Institute of Washington-National Geographic Society-Scientific Obversation and Study- Anthropology-Photography-G Brown Goode-Pejabat Sekretaris”.
”Ah, nyonya sekalian ternyata punya surat kredensial sepenting ini. Karena ada rekomendasi seperti ini, saya izinkan Anda semua melanjutkan perjalanan ke Borobodur dan untuk berapa lama. Saya akan minta instruksi dari Buitenzorg apa yang harus dilakukan,” kata asisten residen.
Eliza R Scidmore terkejut melihat betapa sakti surat National Geographic Society dan lembaga ilmu pengetahuan Smithsonian. Sekretaris G Brown Goode ternyata namanya lebih penting daripada nama Walter Q Gresham, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang tercantum di paspor Amerika Serikat dalam insiden dengan asisten residen di Yogyakarta itu.
Scidmore segera menjawab, mereka akan beberapa hari di Borobudur tergantung pada cuaca apakah hujan atau tidak. Jika cuaca buruk, lusa mereka akan kembali ke Yogyakarta.
Asisten residen bergegas menjawab, ”Anda harus segera ke Borobodur dan tinggal di sana.” Mereka tidak boleh kembali ke Yogyakarta karena tidak punya izin.
Birokrasi Belanda memang dikenal sangat kaku dan tidak ada kompromi sama sekali. Padahal, ketika Scidmore berkunjung, pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak tahun 1870 sudah mulai membuka diri dengan menerapkan politik liberal dengan mengizinkan investor Barat non-Belanda untuk membuka bisnis di Hindia Belanda, terutama di Jawa dan Sumatera.
Asisten residen yang hadir didampingi pembawa payung kebesaran (simbol sebagai kunjungan resmi) meninggalkan mereka di Hotel Tugu. Masalah selesai, Scidmore pun malam itu bersiap-siap untuk berangkat ke Candi Borobudur pagi-pagi benar sebelum si asisten residen berubah pikiran.
Perjalanan ke Borobudur
Ketika fajar menyingsing, Scidmore sudah menumpang kereta kuda meninggalkan Hotel Tugu menuju Candi Borobudur di Karesidenan Kedu yang berjarak 25 mil atau 40 kilometer dari Yogyakarta. Kereta kuda mereka ditarik empat kuda poni Jawa yang dikendalikan kusir berusia lanjut yang menggunakan jaket militer Eropa, topi Eropa yang menutup destar batik Jawa, dan sarung melingkar di pinggang. Seorang kernet bertelanjang kaki yang duduk di bagian belakang kereta kuda membantu kusir sepanjang perjalanan.
Kusir berteriak gree...gree...gree... seraya melecutkan cambuk untuk memacu kuda bergerak di jalan raya yang di kanan kiri diapit pepohonan kenari, asam, jati, dan pohon beringin.
Kernet membantu membuka jalan saat melintasi keramaian, menyeberang jembatan, mendahului kereta kuda lainnya, dan tikungan tajam. Pada saat sama, sang kusir terus duduk di kursinya sambil mengunyah sirih, membuat mulut dan gigi geliginya merah.
Sepanjang jalan, rumah berpagar rapi, tidak ada tanah yang telantar, semua ditanami dan dirawat, jembatan dibuat permanen dengan semen, dan di setiap ujung jalan ada papan nama jalan dan nama kampung. Tiang kabel telegrap dan telepon dengan kabelnya yang menjuntai bersambungan terlihat di sepanjang jalan.
Setiap beberapa mil, mereka mendapati paviliun dibangun di tengah jalan dengan lantai berwarna merah. Paviliun itu digunakan berteduh dan beristirahat bagi pengguna jalan sebagai bagian dari sistem Jalan Pos yang dibangun di awal abad ke-19 semasa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), perwira kesayangan Napoleon Bonaparte. Penginapan, rumah pengurus, dan kandang kuda untuk menyediakan kuda pengganti juga disediakan di setiap pos yang ada di sepanjang Jalan Raya Pos.
Scidmore mencatat, sepanjang perjalanan, mereka melewati dua pasar rakyat yang muncul di dekat paviliun tersebut. Pria, wanita, anak-anak, tua dan muda terlihat di pasar yang menjual aneka unggas, sayuran, beras, buah, gula, kembang gula, bunga, dan rempah.
Sepanjang jalan, terlihat kesibukan warga di sana-sini. Saat Scidmore menjelajahi Pulau Jawa, jumlah penduduk tercatat sudah 450 jiwa per kilometer persegi atau terhitung pulau terpadat di dunia waktu itu. Tidak ada sudut tanah yang tidak digunakan untuk budidaya tanaman pangan.
Sepanjang perjalanan, terlihat warga tertatih-tatih mengangkut hasil pertanian dan kebun ke pasar setempat. Pria dewasa dan anak lelaki terlihat mengangkut buah nangka ukuran besar ataupun membawa durian. Sementara kaum perempuan, seraya menggendong anak balita, membawa ayam dan itik di pikulan menuju ke pasar.
Ledakan jumlah penduduk di Jawa, menurut Scidmore, disebabkan keberhasilan pemerintah kolonial membangun sistem sanitasi di kampung yang ada di desa dan sekitar perkotaan sejak tahun 1850-an. Butuh waktu yang lama untuk membangun kesadaran menciptakan lingkungan tempat tinggal yang bersih dan sehat di Pulau Jawa agar mirip dengan situasi di Negeri Belanda.
Pada 1890-an, warga perdesaan di Jawa terbiasa melabur kapur di rumah mereka dua kali setahun, membersihkan rumah secara menyeluruh, dan menanami pekarangan dengan pelbagai tanaman untuk kebutuhan pangan dan obat.
Sepanjang jalan, warga perdesaan di antara Yogyakarta hingga Kedu semua bersikap ramah dan menyikapi rombongan Scidmore dengan terbuka dan akrab. Scidmore menikmati sapaan dan senyuman warga Jawa yang disebutnya orang-orang berkulit coklat yang ramah dan terbuka. Mereka sempat bercengkerama dengan bocah-bocah kecil dan kaum ibu yang ditemui di perjalanan.
Selepas desa-desa yang terbentang di dekat Yogya, mendekati Candi Borobudur, kereta kuda melintasi daerah perkebunan. Mereka melintasi bentangan kebun indigo, lada, manioc, dan tembakau. Di kejauhan terlihat Gunung Sumbing, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu.
Scidmore mengenang Gunung Merapi terlihat megah seperti Gunung Fuji atau Fujiyama di Jepang. Scidmore memiliki hubungan khusus dengan Jepang lewat saudaranya yang seorang diplomat Amerika di Tokyo dan dia termasuk salah satu pelopor hubungan Amerika-Jepang.
Scidmore sebagai penjelajah Barat pun mampu menangkap berbagai cerita seperti Gunung Tidar di Magelang yang disebutnya sebagai sambungan dari Gunung Sumbing. Tidak lupa Scidmore menulis Gunung Tidar sebagai ”paku Pulau Jawa” yang memaku daratan Jawa di muka bumi.
Gunung Merbabu disebutnya sebagai lokasi tempat menyerahnya pasukan Napoleon saat perang melawan Inggris di tahun 1811. Tempat yang dimaksud adalah wilayah Tuntang di kaki Gunung Merbabu, dekat Kota Salatiga ketika Jan Willem Jansens wakil Perancis-Belanda di zaman kekuasaan Napoleon Bonaparte menyerah kepada Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Inggris yang berpusat di Madras, India.
Scidmore juga mencatat fungsi Gunung Merapi sebagai puncak suci zaman Buddha di Jawa. Pada masa tersebut dibangun candi-candi pemujaan dari batu di dekat Gunung Merapi.
Menjelang tengah hari, di kejauhan terlihat bukit dengan siluet unik. Kereta kuda mereka pun tiba di dekat Candi Borobudur. Sang kusir berteriak menghentikan kereta kuda. Terlihat pepohonan kenari, sisa-sisa arca tersebar di sana-sini.
Scidmore dan rombongan tiba di dekat Candi Borobudur yang menjulang megah. Mereka segera membongkar barang bawaan dan menginap di pesanggrahan milik pemerintah kolonial yang menjadi base camp ekspedisi.