Ratusan Anak Pekerja Migran di Sumba Mendapat Pendidikan Kemandirian
Sebanyak 581 anak pekerja migran di delapan desa di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, mendapat layanan kemandirian oleh Yayasan Donders Sumba.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
TAMBOLAKA, KOMPAS — Sebanyak 581 anak pekerja migran yang tersebar di delapan desa di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, mendapat layanan kemandirian oleh Yayasan Donders Sumba. Selama ini, mereka mendapat perlakuan tidak adil oleh orang-orang sekitar ketika orangtua mereka merantau sebagai pekerja migran. Karena itulah, mereka didorong mendapatkan layanan pendidikan dan membangun kemandirian hidup sejak dini.
Manajer Program Proyek Pemberdayaan Anak Pekerja Migran (APM) Sumba Barat Daya (SBD) Imelda Suli Setiawati Seda saat dihubungi di Tambolaka, Kamis (4/3/2021), mengatakan, sebanyak 581 anak yang mendapatkan layanan kemandirian itu berada di komunitas (desa) masing-masing.
Mereka mendapat pendampingan dan pembinaan oleh para relawan Donders yang ada di desa itu. Yayasan ini di bawah Konggregasi Pastor-pastor Redemptoris, CSsR, Sumba.
Anak-anak tersebut tetap tinggal dengan orangtua asuh, nenek, kakek, atau anggota keluarga lain dan terus mengikuti kegiatan di Rumah Pintar di desa itu. Mereka dilatih atau dididik untuk mandiri, sesuai budaya dan tradisi lokal.
”Anak-anak tersebut tetap tinggal dengan orangtua asuh, nenek, kakek, atau anggota keluarga lain dan terus mengikuti kegiatan di Rumah Pintar di desa itu. Mereka dilatih atau dididik untuk mandiri, sesuai budaya dan tradisi lokal,” katanya.
Rumah pintar, dalam bahasa lokal disebut umma pande atau umma pegi. Rumah ini merupakan rumah pemberdayaan, rumah penguatan, dan tempat saling berbagi. ”Tidak hanya bagi APM, tetapi juga anggota keluarga yang menampung anak-anak itu,” kata Suli.
Sebanyak 581 APM tersebut tersebar di delapan desa. Semua mengikuti pendidikan formal. Usia mereka terentang hingga 21 tahun. Sebelum mendapatkan pendampingan, kebanyakan anak-anak itu tidak sekolah dengan berbagai alasan.
Donders melibatkan kader-kader di delapan desa binaan sejak 2014. Satu desa ada satu hingga dua kader pendamping yang kebanyakan merupakan perempuan di desa itu. Mereka secara rutin mendampingi anak-anak pekerja migran.
Sebagian dari APM lahir di Malaysia atau Kalimantan. Mereka kemudian dibawa pulang ke Sumba oleh orangtuanya. Rata-rata mereka tidak memiliki kartu keluarga dan tidak punya surat baptis sebagai syarat masuk sekolah. Pihak Donders bekerja sama dengan pemda dan gereja membuatkan dokumen identitas diri bagi anak-anak itu.
”Kini, semua mereka mendapatkan kesempatan belajar. Kami juga sudah upayakan 251 anak mendapatkan Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat,” tutur Suli.
Selain pembelajaran komunitas, mereka juga ditampung di shelter untuk pendampingan korban kekerasan atau pelecehan seksual dari keluarga dekat dan orang sekitar. Para korban ini sering depresi dan mengalami trauma panjang sehingga perlu pendampingan secara intensif karena memiliki kejiwaan yang rentan.
Kasus yang mereka hadapi sangat berat. Beberapa di antara kelompok ini juga sedang berhadapan dengan masalah hukum sehingga membutuhkan pendampingan serius.
Ia menuturkan, kasus yang menimpa APM di SBD seperti fenomena gunung es. Tidak hanya menyangkut anak pekerja migran, tetapi juga menyangkut seluruh kehidupan anggota keluarga asuh itu. Apalagi, di masa pandemi Covid-19 ini, masalah mereka semakin rumit.
”Sekitar 65 persen pekerja migran di Malaysia, Batam, dan Kalimantan pulang tidak membawa uang karena mereka mengalami pemutusan hubungan kerja dengan majikan di sana. Ini membawa beban baru bagi keluarga itu. Namun, konsetrasi Donders tetap kepada anak-anak agar mereka tetap aman,” katanya.
Donders hadir sebagai media antara orangtua dan APM serta mantan pekerja migran yang baru pulang. Masa depan anak-anak harus jauh lebih baik dari orangtua mereka.
Untuk memperlancar pelayanan itu, Donders bekerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia, aparat keamanan, dinas sosial, dinas tenaga kerja dan transmigrasi, serta Dinas Kesehatan Sumba Barat Daya. Selain melibatkan kader-kader desa, mereka juga mendorong aparat desa, kaum muda desa, kader posyandu, dan tim penggerak PKK desa hingga RT/RW untuk terlibat memberdayakan APM. Donders juga menginisiasi perbub untuk perlindungan dan kemandirian hidup APM.
Terkait masalah hukum, Donders melibatkan pengacara dari Yayasan Sarneli di bawah Konggregasi CSsR, Redemptoris. Namun, dalam hal investigasi lapangan tetap dilakukan Donders.
Kegiatan pendampingan ini dijalankan sejak 2014 sampai hari ini. Sebagian besar anak dampingan sukses menjadi mandiri dan menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah menengah.
”Melalui musyawarah rencana pembangunan desa, mereka secara swadaya mengumpulkan uang dan mencari dana untuk bangun rumah pintar di masing-masing desa, shelter, dan jamban keluarga bagi yang belum memiliki. Fungsi Rumah Pintar untuk bertemu, berdiskusi, musyawarah, dan pemberdayaan anak-anak pekerja migran,” katanya.
Kader Pendamping Anak Pekerja Migran Desa Maudana, Kecamatan Wejewa Timur, Sumba Barat Daya, Agustina Linga Langu, mengatakan, jumlah 100 anak pekerja migran di desa itu rutin mendapatkan pendampingan. Akan tetapi, pada masa pandemi Covid-19 ini, pendampingan dilakukan terbatas, yakni dua hingga tiga anak di Rumah Pintar dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Pendampingan diberikan sesuai usia pendidikan anak, yakni PAUD, SD, SMP, dan SMA. Paling penting bagaimana mengajarkan mereka untuk berperangai sopan, jujur, terbuka, disiplin, dan bertanggung jawab atas suatu pekerjaan yang diberikan.
Bagi yang sudah memasuki usia remaja, mereka diajari menanam sayur dan buah-buahan di pekarangan rumah, memasak, beternak, dan mencuci pakaian sekaligus menyeterika. Donders akan bekerja sama dengan sejumlah pengusaha perbengkelan untuk memberi pelatihan kepada anak-anak itu, termasuk kemampuan menyetir kendaraan.
”Beberapa anak binaan sudah menjadi mandiri mencari uang, di samping mengikuti pendidikan formal di sekolah. Mereka tidak harus bergantung dari orangtua, yang saat ini sedang menjadi pekerja migran atau mantan pekerja migran.
Aloysius Bole Ngongo (13), anak binaan Umma Pande Desa Maudana mengatakan, meski ibu kandung menjadi pekerja migran di Malaysia dan tak memiliki ayah sah, ia tetap semangat belajar. Ia sudah duduk di bangku kelas VI SD Maudana sama seperti teman-teman lain. Ia juga bisa memasak sendiri, mencuci pakaian, dan menanam sayuran di pekarangan rumah.
”Terima kasih kepada ibu-ibu pendamping dari Donders, yang sudah berkorban untuk kami. Kami ingin menjadi anak-anak yang berguna untuk diri dan masyarakat sekitar di kemudian hari,” kata Ngongo.