Seandainya Waktu Bisa Diputar Ulang...
Di usianya yang baru 17 tahun, LA, asal Lombok Timur, NTB, telah tiga kali menikah. Tetapi, pernikahan-pernikahan itu hanya mendatangkan kemalangan. Kini ia menyesal dan berharap bisa mengulang waktu.
Nyesel ku merariq kodeq/ tetari kebelang mate/ ndaraq untung sebulan/ terus ku teseang ( Ku menyesal menikah dini, tergoda “nakalnya” pandang mata. Belum jalan satu bulan, aku diceraikan).
Merariq kodeq – Dipopulerkan Penyanyi Sasak, Siti Jumainah
Panas terik di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Jumat (16/4/2021) siang memaksa para warga untuk berteduh sejenak. Termasuk LA (17) yang tinggal sekitar 26 kilometer barat daya Selong, ibu kota Lombok Timur.
Di sebuah berugak (saung), LA terlihat duduk sambil memangku anak perempuannya AAC, yang baru berusia delapan bulan. “Ini anak saya. Dari pernikahan ketiga,” kata LA.
Baca juga: Tamparan Keras Perkawinan Anak
Menurut LA, dalam usianya yang sekarang, ia sudah menikah tiga kali. Ketiga pernikahan itu terjadi antara tahun 2018 hingga 2020.
Suami pertamanya juga warga Lombok Timur, tetapi beda desa. Mereka berkenalan lewat media sosial. Saat itu, LA baru berusia 14 tahun, masih duduk di bangku SMP.
“Kami pacaran sekitar lima bulan. Kemudian memutuskan menikah beberapa hari sebelum saya menerima pengumuman kelulusan. Saya tidak tahu, saya hanya ingin menikah,” kata LA.
Orang tua LA awalnya menolak. Apalagi mereka ingin anaknya tetap melanjutkan pendidikan. Tiga kali proses belas (memisahkan) LA dari calon suaminya. Tetapi LA tetap ngotot kembali ke calon suaminya yang saat ini berusia sekitar 20 tahun. Mereka akhirnya dinikahkan.
Baca juga: Kasus Perkawinan Anak Masih Banyak Terjadi
“Tetapi kami cuma menikah dua bulan. Dia tidak mau bekerja, hanya keluyuran. Belum lagi, saya tidak kuat karena tinggal menumpang di rumah mertua,” tutur LA.
Mereka bercerai. Setelah itu, LA tidak langsung pulang ke kampungnya tapi menumpang di rumah teman di desa tetangga. Di sana, ia berkenalan dengan kakak temannya yang kemudian menjadi suami keduanya.
Tetapi pernikahan itu hanya berjalan empat bulan. Selain selingkuh, perangai suaminya berubah dratis. Sikap baik selama pacaran berganti ringan tangan dan LA kerap menjadi sasaran kekerasan. “Kalau sedang marah, apa saja di dekatnya dilempar ke saya,” tutur LA.
Pernikahan ketiga yang berlangsung tahun lalu, meski masih bertahan, namun menurut LA juga tidak jauh dari kondisi sebelumnya. Ia menyebutnya dengan istilah “neraka jelang” atau kemiskinan yang begitu menyiksa.
Baca juga: Merdekakan Anak Dari Jerat Perkawinan Anak
Suaminya, seorang duda asal Kota Mataram yang dikenal karena sering datang ke kampungnya, bekerja serabutan. Sebelum pulang ke kampungnya karena hamil besar, LA sempat tinggal di Mataram bersama mertuanya. “Satu rumah ditempati banyak orang. Mertua, saudara-saudara suami, juga saya,” kata LA.
Saat ini, LA dan suami serta anaknya memilih tinggal di kampungnya. Akan tetapi, karena suaminya tidak bisa akur dengan mertua, mereka akhirnya mencari tempat tinggal lain.
Mereka kemudian menempati satu rumah kosong milik kerabat yang sedang bekerja di Malaysia. “Kalau nanti dia pulang dari Malaysia, entah kami tidak tahu mau tinggal di mana lagi,” kata LA.
Menurut LA, jika mengingat apa yang dialaminya selama tiga tahun terakhir, ia mengaku sangat menyesal. Keputusannya menikah dini, ternyata berdampak buruk kepadanya.
Baca juga: Perlu Kolaborasi Untuk Memutus Rantai Perkawinan Anak
“Seperti kata orang, kalau bisa memutar waktu lagi, saya tidak akan memilih ini. Saya mau sekolah. Bahkan kalau bisa jadi sarjana,” kata LA.
Tetapi menurut LA, semua sudah terlanjur. Sekarang, yang ingin dilakukannya adalah bagaimana bisa membesarkan anaknya. Oleh karena itu, ia berharap suatu hari punya rumah tetap.
“Semoga dia tidak ikut seperti ibunya (menikah dini). Dia harus sekolah tinggi-tinggi. Biar punya hidup lebih baik. Tidak bertemu neraka seperti saya,” kata LA sambil mengusap air mata.
Saat ini, untuk kebutuhan sehari-hari, LA mengandalkan bantuan keluarganya, mulai dari perlengkapan makan hingga membeli popok.
NR (48), ibu LA mengaku sedih melihat nasib anaknya. Ia telah melakukan berbagai cara agar dulu LA tidak menikah di usia dini dan tetap sekolah seperti kakak-kakaknya, tetapi gagal.
Baca juga: MUI dan Pemerintah Berkomitmen Mencegah Perkawinan Anak
Sekarang, yang bisa mereka lakukan, kata NR, adalah tetap ada untuk LA dan anaknya. “Semoga ini bisa dilihat orang tua lain. Agar memberi perhatian dan terus mengingatkan anak-anaknya (agar tidak menikah dini),” kata NR yang sehari-hari berjualan kelontong.
Tiga hari
LA bukan satu-satunya yang menikah pada usia anak dan bercerai ketika usia pernikahan mereka belum genap setahun. Di salah satu desa di Lombok Tengah, pasangan S (15) dan NH (12) bercerai setelah lima bulan tinggal bersama.
S dan NH menikah pada September 2020 lalu. Saat menikah, keduanya masih sama-sama berstatus pelajar sekolah menengah pertama. S duduk di kelas dua SMP, sementara NH di kelas satu SMP.
Baca juga: Ditengarai Mengarah Perdagangan Anak, Polisi Harus Selidiki Promo Perkawinan Anak
Mereka diperkenalkan teman lewat “video call” dan berbagai nomor. Setelah itu berkomunikasi lewat ponsel. Tiga hari jalan, mereka menikah.
Menurut S, ia awalnya hanya ingin pacaran. Ia tidak menginginkan pernikahan itu karena terkesan “dipaksa”. Orang tua NH meminta ia menikahi anaknya. Alasannya, ia mengantar NH pulang terlalu malam saat mereka pergi jalan-jalan.
“Sebenarnya sudah coba negosiasi. Tetapi keluarga perempuan menolak. Kami sempat mengantar NH pulang, tetapi oleh orangtuanya diantar lagi ke sini,” kata Rohani (45), bibi S.
Setelah menikah, mereka tinggal bersama di rumah S. Rumah itu juga ditempati ibu dan kakak S. Sementara ayahnya, telah meninggal dunia.
Baca juga: Bom Waktu Perkawinan Anak
Keduanya juga berhenti sekolah. NH tinggal di rumah, sementara S berkeliling ke pasar-pasar tradisional untuk menjual sabun.
Tetapi dalam perjalanannya, S dan NH kerap bertengkar.Pada Januari lalu, mereka bercerai. NH kemudian kembali ke rumah orangtuanya. Setelah itu, mereka tidak pernah berkomunikasi lagi.
Apa yang dialami LA, S dan H, hanya dua dari begitu banyak kasus pernikahan usia anak di Nusa Tenggara Barat, khususnya Lombok yang muncul ke permukaan. Seperti fenomena gunung es, masih banyak yang mengendap dan tidak terungkap.
Perceraian dini, putus sekolah, ekonomi yang rentan, hingga kekerasan dalam rumah tangga adalah hal-hal yang kerap mengikuti pernikahan usia anak di Lombok. Termasuk masalah kesehatan baik pada perempuan, juga anak-anak mereka.
Baca juga: Menghapus Perkawinan Anak
“Mengapa anak-anak jangan menikah dulu, karena mental, pengalaman mereka masih sangat labil. Suami dan istri ini akan dibebani banyak hal dari kehidupan sehari-hari, keluarga dan lainnya. Belum lagi perempuan rentan keguguran, kematian, hingga anak cacat lahir,” kata Mahmudah Kalla, aktivis perempuan sekaligus Direktur Yayasan-Lembaga Advokasi Rakyat untuk Demokrasi.
Upaya pencegahan bukan tidak dilakukan. Mulai dari tingkat provinsi, kabupaten kota, hingga level desa sudah bergerak. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga lembaga dan pihak terkait lainnya.
Berbagai regulasi, mulai dari peraturan daerah, peraturan bupati, hingga peraturan desa untuk mencegah pernikahan usia anak telah dibuat. Sosialisasi ke masyarakat hingga level keluarga juga tidak henti dilakukan.
Menurut Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak NTB Sukron, meski telah ada berbagai upaya, pernikahan usia anak di Lombok memang masih terus terjadi. Salah satu persoalan utama terletak pada keluarga.
Baca juga: Dunia Mencegah Perkawinan Anak di Masa Pandemi
Pernikahan usia anak, misalnya, kata Sukron, kerap dianggap sebagai solusi penyelesaian masalah keluarga. Terutama jika dikaitkan dengan masalah ekonomi atau kemiskinan. Selain itu, juga terkait kontrol, pola asuh, dan kedekatan emosional dengan anak.
Hal serupa juga dikatakan Ketua Forum Pemerhati Perempuan dan Anak Desa Pandan Wangi, Jerowaru, Lombok Timur Ahmad Zahidun. Menurut Zahidun, dalam kasus pernikahan usia anak yang mereka tangani, terkesan ada “eksploitasi” secara ekonomi oleh orangtua.
Sehingga selain orang tua ingin segera lepas tanggung jawab terhadap anaknya, juga demi “pisuke”. Pisuke adalah sejumlah uang dalam pernikahan Lombok yang diberikan keluarga laki-laki ke perempuan.
Niat itu, kata Zahidun, membuat orangtua cenderung mendorong anaknya untuk tetap menikah. Termasuk pada kasus-kasus pernikahan usia anak yang mereka berhasil pisahkan.
“Orangtua perempuan, seperti tetap memaksa. Bahkan setelah itu, anaknya dikasih peluang untuk keluar. Diberi kebebasan,” kata Zahidun.
Pencegahan pernikahan usia anak di Lombok harus dilakukan. Jika tidak, LA dan LA lainnya akan terus muncul di kemudian hari, lengkap dengan masalah pelik yang mereka hadapi.
Dengan begitu, tidak ada yang penyesalan di kemudian hari. Seperti penggalan lirik lagu Merariq Kodeq (Menikah dini) yang dinyanyikan Siti Jumainah dan begitu populer di kalangan masyarakat Sasak, stop perkawinan anak.