Ketenaran Program Keagamaan Tergantung dari Sosok Pembawa Acara
Ketenaran program keagamaan di televisi konvensional ataupun nonkonvensional tergantung dari ustaz yang menjadi narasumber dibandingkan dengan kedalaman materi pengetahuan agama dalam program acara.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Popularitas program dakwah di televisi bukan ditentukan oleh kedalaman narasi pengetahuan keagamaan. Reputasi program itu tergantung dari guru agama atau ustaz yang menjadi pembawa acara dan kanal televisi yang menyiarkan.
Hal itu menjadi benang merah laporan riset ”Dakwah Digital:Narasi Agama di Platform Online dan Televisi Indonesia” dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Penelitian yang berlangsung pada Juli-Desember 2020 ini menyasar dua kategori televisi. Kategori pertama adalah televisi konvensional yang berisi 16 televisi konvensional, termasuk TVRI, dengan 34 program keagamaan selama Ramadhan dan 34 program keagamaan bukan pada Ramadhan. Kategori kedua ialah televisi alternatif nonkonvensional yang merupakan televisi berbasis satelit parabola dan internet (YouTube). Kategori ini meliputi sembilan televisi dengan 54 program keagamaan.
Sebanyak 2.427 video dikumpulkan selama 2013-2019. Video tersebut lantas di-sampling ulang untuk memperkecil jumlah video yang dianalisis sehingga terjaring 1.010 video dengan total durasi 310 jam. Selain itu, tim peneliti juga mewawancarai 15 orang, yang terdiri dari 12 produser program keagamaan dan 3 perwakilan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kementerian Agama.
Peneliti PPIM UIN Jakarta, Iim Halimatusa’diyah, Kamis (29/4/2021), di Jakarta, mengatakan, kebutuhan untuk terafiliasi secara sosial dengan organisasi, kelompok, dan pandangan keagamaan tertentu sering kali menjadi motivasi bagi fenomena parasosial atau pemujaan terhadap selebritas agama. Narasi sama, tetapi guru agama atau ustaz menyampaikan berbeda, maka popularitasnya berbeda.
Dari penelitian itu diketahui narasumber ustaz yang memengaruhi tingkat popularitas tingkat kepemirsaan(view)tinggi meliputi, antara lain, Hannan Attaki, Syekh Ali Jaber, Budi Ashari, Mama Dedeh, Abdul Somad, dan Quraish Shihab.
Dilihat dari tingkat engagement—kombinasi view, like, dan comment—data media sosial televisi konvensional dan nonkonvensional yang peneliti peroleh, program keagamaan di televisi nonkonvensional punya popularitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan acara di televisi konvensional. Apabila diurutkan, stasiun televisi yang terpopuler ialah Trans7, diikuti TVOne, Cerita Quran Official, Narasi, Shift Media, Yufid TV, Rasil TV, Channel Nahdlatul Ulama, Cokro TV, RCTI, MetroTV, Al-Bahjah TV, iNews TV, Indosiar, Rodja TV, SCTV, TransTV, NU Channel, MNCTV, MU TV, NET., dan TVRI. Narasi yang mewakili pandangan konservatif dan islamis lebih populer dibandingkan dengan narasi yang mencerminkan pemahaman agama yang moderat dan liberal.
Menurut dia, pertimbangan ekonomi menjadi pemicu narasi konservatisme agama tetap berkembang di televisi konvensional. Dari hasil forum grup diskusi diperoleh, motivasi dan orientasi televisi sebagai bisnis dan industri mendorong stasiun televisi untuk menomorsatukan aspek hiburan, profit, dan rating.
Kalaupun muncul narasi moderat di televisi konvensional, lanjut dia, hal itu dipengaruhi oleh faktor pasar dibandingkan dengan keinginan untuk mengarusutamakan moderasi beragama di ruang publik. Dakwah dan diseminasi kebenaran agama bukanlah prioritas utama televisi konvensional. Sebaliknya, di televisi nonkonvensional, dakwah berdasarkan ideologi agama menjadi motivasi utama dalam membangun narasi dan berpengaruh besar dalam proses produksi.
”Masih sedikit anggota tim produksi yang paham soal agama, ditambah lagi orientasi televisi sebagai industri, sehingga produser cenderung memercayakan konten kepada ustaz/narasumber yang dipandang lebih paham agama. Mereka juga mengklaim guru agama yang moderat susah diakses,” ujar Iim.
Sementara pada televisi nonkonvensional, alasan ekonomi tetap dipakai produksi. Namun, motivasi ideologi yang mereka ciptakan tidak selalu mengarah pada akumulasi materi dan uang.
Sejumlah ustaz ataupun guru agama pembawa acara yang muncul di televisi memonetisasi dirinya sendiri. Misalnya, melalui kanal media sosial. Namun, masih ada ustaz yang memiliki motivasi ideologis cenderung tidak menjadikan aspek ekonomi sebagai orientasi utama.
Menurut dia, penelitian itu juga mengelompokkan narasi program keagamaan menjadi lima kategori, yakni akidah (keimanan), akhlak (moralitas), ibadah, syariah (hukum islam), dan jinayat (hukum kriminal Islam). Kecenderungan narasi keagamaan didominasi oleh topik-topik akidah (36,7 persen), disusul akhlak (30,4 persen), ibadah (17,6 persen), syariah (15,1 persen), dan jinayah (0,2 persen).
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Ade Armando, berpendapat, ustaz ataupun guru agama yang menjadi narasumber program agama menentukan arah narasi penyiaran kepada masyarakat. Popularitasnya tercipta diduga karena narasumber itu menjelaskan pengetahuan agama cenderung sederhana dibandingkan dengan akademisi yang umumnya cenderung rumit.
”Dalam perkembangannya, sejumlah program nonkeagamaan di televisi juga menyisipkan narasi keagamaan, bahkan menampilkan tokoh agama. Semua itu bisa dikaji mendalam dengan mencari hubungan produksi dengan pekerja dan pemilik media,” katanya.
Asisten Profesor di Emory University James B Hoesterey berpendapat, media memiliki kekuatan membangun dan meningkatkan citra narasumber pendakwah. Pada saat bersamaan, media juga bisa menjatuhkan reputasi mereka.
Dia mencontohkan AA Gym yang sempat mengalami puncak popularitas sekitar tahun 2000-an. Ketika AA Gym diterpa isu poligami, penonton televisi menghujat dan ketenaran AA Gym anjlok. Namun, belakangan, beberapa stasiun televisi mengangkat kembali reputasinya melalui berbagai program nonkeagamaan.
”Karena belakangan media sosial melejit penggunaannya, kehadiran AA Gym tidak sepenuhnya diterima penonton. Masih ada sejumlah penonton mengingat kasus poligaminya dan berceloteh mengkritik,” ucapnya.
Senada dengan Ade, James berpendapat, paham-paham keagamaan bisa menyelip tersampaikan di program siaran nonkeagamaan. Hal yang tidak jarang terjadi adalah narasumber program saling klaim paham agama.