Rencana Pengenaan Pajak Jasa Pendidikan Dipersoalkan
Rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai untuk jasa pendidikan dinilai akan berdampak terhadap peningkatan biaya pendidikan. Hal itu dikhawatirkan akan membebani ekonomi masyarakat yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana penghapusan pajak untuk jasa pendidikan yang selama ini dinikmati penyelenggara pendidikan jadi polemik di masyarakat. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai untuk jasa pendidikan dinilai akan berdampak terhadap peningkatan biaya pendidikan. Hal itu dikhawatirkan membebani masyarakat dan mengancam hak pendidikan anak-anak.
Sebagaimana diberitakan di Kompas.id (9/6/2021), sejumlah barang kena pajak atau jasa kena pajak, yang dikenai tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bisa mendapatkan tarif lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan saat ini. Salah satunya disebutkan jasa pendidikan.
Padahal, jasa pendidikan sebelumnya tidak dikenai PPN, seperti tertuang dalam Peraturan Menetri Keuangan Nomor 233/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa dan Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN, yakni penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.
Namun, di draf Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang akan dibahas pemerintah dan DPR, PPN jasa pendidikan dihapuskan. Hal ini tertuang di Pasal 4A (3) ”jenis jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut …g dihapus”. Artinya, g yang merupakan jasa pendidikan dihapus.
Selanjutnya pada Pasal 7 (1), tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) nilai 12 persen. Di subpasal (3) disebutkan, tapi bisa diubah paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Rencana pengenaan pajak jasa pendidikan itu mendapat respons dengan nada menolak dari penyelenggara pendidikan hingga Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, Jumat (11/6/2021), mengatakan, rencana pemerintah mengenakan PPN terhadap jasa pendidikan akan berdampak serius bagi masa depan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, khususnya biaya pendidikan akan makin mahal.
”Pajak jasa pendidikan ini bisa menjadi alasan bagi penyelenggara pendidikan untuk dibebankan kepada masyarakat. Akibatnya, biaya pendidikan akan tinggi,” ungkapnya.
Huda mengatakan, sebagian besar penyelenggaraan pendidikan dilakukan pihak swasta. Tidak dimungkiri ada sekolah swasta yang memasang tarif mahal karena mutu kurikulum maupun sarana dan parasarana penunjangnya di atas standar layanan minimal, bahkan menggunakan kurikulum luar negeri.
Pajak jasa pendidikan ini bisa menjadi alasan bagi penyelenggara pendidikan untuk dibebankan kepada masyarakat. Akibatnya, biaya pendidikan akan tinggi.
”Secara umum, sektor pendidikan masih membutuhkan uluran tangan pemerintah karena keterbatasan sarana prasarana dan lemahnya potensi ekonomi warga sekolah,” kata Huda.
Secara terpisah, Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Saur Panjaitan mengatakan, anggapan keliru jika semua sekolah swasta mahal dan bagus. Kelompok sekolah swasta yang mutunya di atas sekolah negeri atau sering disebut sekolah swasta elite tidak sampai 5 persen. Lalu, sekolah swasta setara sekolah negeri hanya berkisar 15 persen, justru sekitar 80 persen kondisinya di bawah sekolah negeri.
”Pemerintah lebih sering melihat sekolah swasta yang atas. Padahal, banyak sekolah swasta yang butuh uluran. Memang ada dana BOS (bantuan operasional sekolah), tetapi untuk swasta, kan, biaya gaji guru dan investasi sarana prasarana dipenuhi penyelenggara pendidikan sehingga masih butuh dana dari masyarakat,” kata Saur.
”BMPS sangat terkejut, prihatin, kecewa, dan khawatir sekali dengan rencana pengenaan PPN jasa pendidikan. Kami meminta pemerintah lebih bijak serta ikut membantu sekolah swasta di dalam situasi penuh perjuangan saat ini,” kata Saur.
Sekretaris Jenderal BMPS menambahkan dana sekolah operasional sekolah swasta bergantung pada jumlah siswa yang dikelola. Pada masa pandemi Covid-19, banyak sekolah swasta menjerit dari sisi keuangan karena pemasukan dana SPP cukup berkurang sehingga mengganggu dana operasional sekolah.
Mobilitas sosial
Ketua Umum Yayasan Perguruan Al-Iman, Citayam, Kabupaten Bogor, E Afrizal Sinaro mengatakan, jika penarikan PPN dari institusi pendidikan terjadi, kebijakan ini dinilai tidak cerdas dan pemerintah dituding ”kalap”.
Menurut Afrizal, seharusnya dalam kondisi sulit saat ini akibat setahun lebih pandemi Covid-19, sekolah swasta mendapat dukungan pemerintah. Sekolah swasta kesulitan menutup biaya operasional sekolah, termasuk untuk membayar gaji guru. Sebab, sebagian besar wali murid tidak sanggup membayar SPP anak mereka.
”Sekolah itu lembaga sosial nirlaba, tidak mencari keuntungan. Banyak sekolah swasta menerima anak-anak yatim dan dhuafa, yang tidak membayar SPP. Kami minta agar rencana PPN untuk jasa pendidikan dibatalkan. Masa depan bangsa bergantung pada pendidikan masyarakatnya,” kata Afrizal.
Huda menilai, tidak tepat jika sektor pendidikan dijadikan obyek pajak. Dengan Sistem Universal Service Obligation, akan lebih tepat digunakan untuk memeratakan akses pendidikan. Dengan sistem ini, sekolah-sekolah yang dipandang mapan akan membantu sekolah yang kurang mapan.
Di webinar perayaan Hari Ulang Tahun Ke-6 Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) bertajuk ”Indonesia Negara Maju 2045, Apa Kata Ilmuwan?” beberapa waktu lalu, ilmuwan dari Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, mengatakan, pandemi Covid-19 memperparah ketimpangan multidimensi di Indonesia. Kini, kesenjangan makin tajam seiring tidak meratanya akses internet untuk pembelajaran jarak jauh.
Menurut Teguh, pendidikan menjadi kunci mobilitas masyarakat. Dari penelitian mobilitas 1993-2014 yang mengkaji hubungan kondisi orangtua dan anak menunjukkan, anak-anak yang tidak mendapat pendidikan bermutu memperoleh penghasilan rendah dan terjebak dalam kelompok masyarakat kelas menengah bawah. Karena itu, pendidikan berkualitas yang terjangkau harus bisa diakses semua anak di mana pun.