Pandemi Jadi Kaca Pembesar Disparitas Layanan Pendidikan
Pandemi Covid-19 membuka disparitas layanan pendidikan di Indonesia. Mereka yang berkecukupan fasilitas semakin berkembang, sebaliknya yang kurang fasilitas kian tertinggal.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pandemi diyakini bukan menjadi faktor penyebab, melainkan kaca pembesar disparitas layanan pendidikan di Indonesia yang semakin menganga lebar. Disparitas layanan pendidikan ini terjadi bukan hanya antar daerah, tapi juga di dalam satu daerah dan menjadi cermin terjadinya kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat Indonesia.
Guru Besar Universitas Katolik Widya Mandala Anita Lie mengatakan, jauh sebelum pandemi Covid-19, learning loss atau hilangnya pembelajaran sudah terjadi pada anak-anak Indonesia yang belajar di sekolah. Berdasarkan data dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan Bank Dunia, capaian lama belajar di Indonesia sudah 12,4 tahun. Namun, lamanya sekolah ini tak selaras dengan kemampuan rata-rata capaian belajar yang hanya mampu mengerjakan setara belajar 7,8 tahun.
"Belajar di sekolah tidak hanya mengajarkan cakupan materi yang banyak, tapi keterampilan atau kompetensi siswa,” kata Anita dalam Seri Webinar Cendekiawan Berdedikasi Kompas IV dengan tema "Pembelajaran di Tengah Pandemi" di Jakarta, Jumat (25/6/2021).
Belajar di sekolah tidak hanya mengajarkan cakupan materi yang banyak, tapi keterampilan atau kompetensi siswa.(Prof Anita Lie)
Menurut Anita, berdasarkan penelitian penggalian pengalaman dan perspektif guru di empat provinsi tentang pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang digelar selama tiga tahun sejak sebelum pandemi hingga pandemi, ditemukan spektrum yang sangat variatif dalam pelaksanaan PJJ. Ada guru yang tidak melaksanakan PJJ karena siswa dan guru tidak punya akses ke internet dan alat komunikasi, ada yang masukk dalam kategori pemula, dasar, menengah, dan lanjutan.
Perpindahan belajar luring ke daring juga tak banyak mengubah model pembelajaran. Jika guru terbiasa berpusat pada siswa, PJJ dapat membantu pembelajaran semakin menyenangkan. Sebaliknya, banyak guru yang selama ini masih berpusat pada perspektif mereka dengan metode ceramah, sehingga PJJ akhirnya lebih seperti model webinar, guru yang banyak bicara (satu arah).
Keterbelahan digital makin tampak nyata selama masa pandemi. Sekolah yang melayani anak-anak kelas ekonomi menengah atas dan tak terkenda akses bisa semakin berkembang dengan PJJ. Sebaliknya, bagi anak-anak yang terkendala akses, mereka akan semakin tertinggal.
“Anak-anak yang tersisih di masa pandemi ini memang sudah tersisih dalam layanan pendidikan sebelum pandemi,” kata penerima Anugerah Cendekiawan Berdedikasi Harian Kompas Tahun 2018 tersebut.
Disparitas layanan pendidikan bukan hanya terjadi antar-daerah, tapi juga di dalam satu daerah. Faktor penandanya bukan status negeri atau swasta, urban atau desa, maupun sekolah penerima atau non-penerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS). “Penandanya kelas sosial ekonomi orangtua siswa,” kata Anita.
Sebagai contoh, di suatu sekolah swasta di Nabire, Papua, pembelajaran daring lancar karena sekolah ini melayani kelompok siswa kelas menenegah atas. Sementara itu di Sidoarjo, Jawa Timur, ada guru yang jarang menggelar PJJ lewat video conference karena siswanya tidak memiliki akses internet.
Siswa akhirnya diminta mengambil materi belajar setiap hari Senin di sekolah, dan yang mengambil ada sekitar 50-70 persen siswa. Di Soe dan Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, sekolah menyediakan kotak di halaman sekolah untuk materi belajar siswa. Adapun, siswa yang mengambil meteri belajar sekitar 10-30 persen.
Menurut Anita, disparitas dan learning loss yang sudah terjadi dalam pendidikan jangan sampai semakin dalam dan tidak tertangani. Pengalaman masa pandemi ini harus dipakai sedemikian rupa untuk memperbaiki kualitas pembelajaran, utamanya dalam pedagogi pendidikan, baik tatap muka maupun daring. Selian itu, perlu diperbaiki pula konten pembelajaran yang lebih menguatkan siswa dalam memahami pembelajaran dengan teknologi digital.
“Pandemi pasti akan bisa teratasi. Ke depan, model belajar campuran, baik hybrid atau blended learning, dengan memanfaatkan teknologi sudah menjadi keharusan. Hal positif yang dicapai di masa pandemi yaitu akselerasi pemanfaatan belajar daring oleh guru dan siswa semakin meningkat, sambil juga mengatasi kelompok yang semakin tertinggal karena pandemi,” ujar Anita.
Mobilitas Sosial
Di webinar perayaan Hari Ulang Tahun Ke-6 Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), bertajuk Indonesia Negara Maju 2045, Apa Kata Ilmuwan? beberapa waktu lalu, ilmuwan dari Universitas Indonesia Teguh Dartanto mengatakan pandemi Covid-19 memperparah ketimpangan multidimensi di Indonesia. Kini kesenjangan semakin diperkuat karena kesenjangan digital.
Menurut Teguh, pendidikan menjadi kunci mobilitas masyarakat. Dari penelitian mobilitas 1993 -2014 yang mengkaji hubungan kondisi orangtua dan anak, bahwa anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan berkualitas mendapatkan penghasilan rendah yang terjebak dalam kelompok masyarakat keleas menengah bawah. Karena itu, pendidikan berkualitas yang terjangkau harus bisa diakses semua anak di manapun.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim yang hadir sebagai narasumber mengatakan, transformasi pendidikan lewat Merdeka Belajar menghadirkan terobosan untuk menciptakan keadilan dalam layanan pendidikan. Keadilan bukan berarti sama atau seragam untuk semua daerah.
Sebagai contoh bantuan operasional sekolah (BOS) yang selama ini besarannya sama untuk semua siswa di seluruh Indonesia, telah diubah dengan mengikuti indeks kemahalan daerah. Ada peningkatan 50-100 persen dana BOS untuk sekolah di daerah yang berbeda-beda.
Nadiem mengatakan, pendidikan sebagai cara untuk meningkatkan mobilitas sosial masyarakat dari kalangan tidak mampu. Lewat kebijakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah yang selama ini dipatok sama sebesar Rp 2,45 juta untuk uang kuliah tunggal per semester, menyebabkan anak-anak berprestasi dari keluarga tidak mampu terkendala masuk program studi terbaik di perguruan tinggi negeri (PTN) ternama. Akibatnya, ada diskriminasi untuk anak-anak penerima KIP kuliah karena PTN dipaksa “rugi”. Namun, kini biaya kuliah untuk penerima KIP Kuliah di prodi terbaik bisa ditanggung pemerintah hingga maksimal Rp 12 juta.
Menurut Nadiem, berbagai kebijakan pendidikan harus bisa memastikan pendidikan jadi mobilitas sosial. Untuk itu, sekolah dan perguruan tinggi kecil harus didorong untuk semakin berkualitas, salah satunya dengan merjer. Selain itu, semangat gotong-royong dalam pendidikan juga dikedepankan supaya bisa saling berbagi fasilitas dan laboratorium, misalnya, di tengah keterbatasan kemampuan pemerintah memenuhi layanan pendidikan berkualitas.