Sketsa-sketsa pelukis S Sudjojono akan ditampilkan selama enam bulan di Museum Tumurun, Solo, Jawa Tengah. Semangat dan nilai pada sketsa serta lukisan tersebut menggambarkan nasionalisme yang relevan dengan masa kini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 38 sketsa karya maestro lukis Sindudarsono Sudjojono akan dipamerkan kepada publik di Museum Tumurun, Solo, Jawa Tengah. Pameran itu menitikberatkan pada profil S Sudjojono serta salah satu obyek lukisannya, yaitu Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, penguasa Kerajaan Mataram.
Pameran berjudul ”Mukti Negeriku: Perjuangan Sultan Agung Melalui Goresan S Sudjojono” itu berlangsung mulai Sabtu, 28 Agustus 2021, hingga 28 Februari 2022. Untuk sementara pameran dapat diakses secara daring. Ketika situasi pandemi Covid-19 membaik, publik dapat bertandang ke pameran secara terbatas.
Pemilik Museum Tumurun, Iwan Lukminto, pada Jumat (27/8/2021) mengatakan, pameran ini merupakan hasil kerja sama dengan S Sudjojono Center. Selain sketsa, lukisan reproduksi Sudjojono yang menggambarkan pertempuran antara Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen juga ditampilkan.
Lukisan tersebut dibuat pada tahun 1974 atas permintaan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk peresmian Museum Sejarah Jakarta. Lukisan aslinya terpajang di Museum Sejarah Jakarta. ”Sebanyak 38 sketsa ini akan dipamerkan di Indonesia untuk pertama kali. Penting bagi kita untuk memahami dan mengedukasi masyarakat tentang dua sosok (Sudjojono dan Sultan Agung) luar biasa ini,” ucap Iwan.
Sebelumnya, sekitar 20 sketsa Sudjojono ditampilkan dalam pameran di Bentara Budaya Jakarta pada 7-18 Juni 2017. Perwakilan Sudjojono Center sekaligus putri Sudjojono, Maya Sudjojono, mengatakan, pameran yang kini ditampilkan di Museum Tumurun melengkapi sketsa yang ditampilkan di Jakarta empat tahun lalu.
Sketsa lukisan
Sketsa-sketsa tersebut merupakan bagian penting dari lukisan legendaris Sudjojono. Ia menghabiskan waktu tiga bulan untuk melakukan riset di Jakarta, Solo, dan Belanda sebelum melukis. Hasil risetnya dituangkan dalam bentuk sketsa dan catatan.
Ia kemudian menghasilkan lukisan berukuran 300 x 1.000 sentimeter yang dibuat selama tujuh bulan. Lukisan dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama menggambarkan kebesaran Sultan Agung. Untuk menggambarkannya, Sudjojono membuat lima sketsa. Ia mempelajari posisi duduk, posisi tangan, ekspresi wajah, hingga pakaian kebesaran sultan.
Bagian kedua menggambarkan peperangan antara pejuang Kerajaan Mataram dan pihak Belanda. Kurator pameran Santy Saptari mengatakan, Sudjojono menggambar 31 sketsa untuk bagian ini. Sudjojono meriset sejumlah hal, seperti baju yang dikenakan, ikat kepala, dan pose tubuh dalam pertempuran.
”Menurut Sudjojono, 70 persen (lukisan) harus benar dan berdasar pada fakta riset. Sebanyak 30 persen sisanya imajinasi dari riset itu,” kata Santy.
Bagian ketiga menggambarkan pertemuan Jan Pieterszoon Coen dengan Kyai Rangga yang diutus Sultan Agung. Mereka berunding, tetapi berujung pertempuran. Sudjojono menggambarkan keduanya berdiri di posisi yang sejajar.
Menurut Sudjojono, 70 persen (lukisan) harus benar dan berdasar pada fakta riset. Sebanyak 30 persen sisanya imajinasi dari riset itu.
Santy mengutarakan, Sudjojono berupaya menggambarkan bagian itu secara obyektif, tidak memihak. ”Ia menyampaikan bahwa orang Barat dan Indonesia sederajat. Selain itu, bekerja sama penting untuk memikirkan masa depan, serta pentingnya berunding daripada berperang,” ujarnya.
Relevan
Pameran ini dinilai sarana tepat bagi publik untuk belajar sejarah Indonesia dan sejarah perkembangan seni rupa. Keduanya bisa dipelajari melalui sosok Sudjojono dan Sultan Agung.
Sejarah mencatat Sultan Agung sebagai sosok yang cerdas, kuat, dan arif. Di bawah pimpinannya, Kerajaan Mataram menjadi salah satu kerajaan besar yang disegani di Nusantara. Ia juga merupakan raja pertama di Nusantara yang menolak kehadiran Belanda.
Sementara itu, Sudjojono merupakan pelukis yang juga pemikir. Sudjojono menilai seni seharusnya menjadi solusi isu publik. Ia menggelorakan semangat kebangsaan, kemerdekaan, dan harga diri bangsa di kalangan seniman masa lampau. Ia juga berperan dalam pengembangan seni rupa modern Indonesia.
”Dalam era global dengan berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia, nilai-nilai yang dibahas pada lukisan dan sketsa menjadi semakin relevan. Ini merupakan pengingat akan pentingnya kesadaran berbangsa dan bernegara,” ucap Santy.
Maya Sudjojono menambahkan, pameran ini diharapkan berkontribusi untuk pengetahuan publik. Ia berharap pameran juga membangun kepedulian masyarakat terhadap sejarah dan seni, khususnya bagi anak muda.