Meski asesmen nasional berbeda dengan ujian nasional, di lapangan banyak sekolah yang memandangnya sama. Sehingga sekolah pun berupaya mempersiapkan siswanya dengan tambahan belajar dan uji coba.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Asesmen nasional yang untuk pertama kalinya akan digelar secara bertahap sesuai jenjang pendidikan mulai akhir September hingga November diyakini sebagai paradigma baru pendidikan nasional yang berdampak pada perubahan pembelajaran berkualitas di kelas dan sekolah. Di tahun 2021, asesmen nasional memetakan pembelajaran literasi, numerasi, serta karakter siswa serta lingkungan belajar di sekolah yang terdampak pademi Covid-19.
Sekolah pun diyakinkan untuk tidak ”memoles” siswa dengan uji coba layaknya ujian nasional. Siswa kelas V SD, kelas VII SMP, dan kelas XI SMA/SMK sederajat dipilih secara acak di setiap sekolah dengan jumlah terbatas. Namun, ajakan tersebut belum mampu membangkitkan rasa percaya diri guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan yang selama ini terbiasa dengan ritual ujian nasional (UN) berdampak tinggi pada siswa. Kegiatan pemantapan dan uji coba atau try out nyatanya menjamur di seolah secara daring, bahkan melibatkan bimbingan belajar.
Seorang siswa kelas VII di salah satu SMP swasta di Solo, Jawa Tengah, Ainun, Senin (13/9/2021), diminta guru untuk masuk ke sekolah karena masuk dalam daftar 50 siswa yang terpilih mengikuti asesmen nasional (AN) pada Oktober nanti. Siswa dipilih secara acak oleh Kemendikbudristek dari tiga rombongan belajar kelas VII di sekolah tersebut. Sebanyak 45 siswa menjadi peserta tetap, lima lainnya cadangan.
Sebenarnya, sekolah Ainun belum menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Namun, siswa terpilih bergantian harus hadir ke sekolah untuk menjalani geladi bersih AN. Peserta diuji coba mengerjakan soal AN yang terdiri dari asesmen kemampuan minimum (AKM) di bidang literasi dan numerasi serta survei karakter dengan menggunakan komputer sekolah. Sejumlah kendala terjadi. Ada komputer yang tidak bisa mengakses soal karena terkendala jaringan internet.
Uji coba AN tak hanya sekali dijalani Ainun. Sejak dua bulan lalu, semua siswa kelas VII di sekolah Ainun mengikuti pelajaran tambahan khusus persiapan AN usia belajar daring. Pembelajaran jarak jauh dijalani siswa mulai pukul 07.30-11.30. Setiap Senin-Rabu, usai pelajaran, semua siswa belajar mengerjakan soal-soal AKM dan survei karakter.
Sekolah juga pernah diajak satu bimbingan tes untuk melakukan uji coba AN. Orangtua siswa pun mendapatkan sosialisasi pelaksanaan AN dari pihak bimbingan belajar yang menggelar uji coba daring. Ternyata, uji coba serupa oleh lembaga bimbingan tersebut dilakukan di banyak sekolah di Solo.
Sekitar dua minggu lalu, nama peserta AN keluar, termasuk Ainun. Sekolah semakin intensif melatih siswa terpilih untuk mantap mengerjakan soal-soal literasi dan numerasi serta survei karakter.
”Saya agak bingung saat mengerjakan survei karakter. Ada soal cerita gitu dan pilihan jawabannya membuat bingung,” kata Ainun.
Tetap khawatir
Dalam pandangan Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, stigma ganti menteri ganti kurikulum/aturan kini muncul kembali. Berbagai permasalahan klasik ujian nasional berbasis komputer (UNBK) tentu saja tidak akan terhapus dari memori publik meskipun UNBK telah berganti menjadi asesmen nasional berbasis komputer (ANBK). ”Publik masih bingung antara UNBK dan ANBK. Ingatan publik lebih kepada ANBK sama dengan UNBK. Jadi ada kekhawatiran akan menjadi beban peserta didik, padahal tidak demikian”, ujar Heru.
Permasalahan klasik muncul ketika pelaksanaan AN ini diseragamkan dengan moda daring sepenuhnya dan semi daring serta berbasis komputer. Permasalahan kesiapan infrastruktur dan ketersediaan komputer juga jaringan sekolah selama UNBK masih menjadi kendala bagi banyak sekolah di daerah. ”Masih ditambah lagi situasi pandemi Covid-19 yang meniadakan PTM patut di pertanyakan. Apalagi di tingkat pendidikan dasar dan atau sekolah yang berada di wilayah terpencil atau blankspot, ANBK sulit dilaksanakan,” ujar Mansur, Wakil Sekjen FSGI.
Publik masih bingung antara UNBK dan ANBK. Ingatan publik lebih kepada ANBK sama dengan UNBK. Jadi ada kekhawatiran akan menjadi beban peserta didik, padahal tidak demikian.
Mansur menambahkan, apabila ANBK dipaksakan saat ini, FSGI khawatir data yang akan diperoleh tidak cukup valid untuk menvonis level mutu pendidikan Indonesia. Apalagi pelaksanaan ANBK saat ini akan dijadikan data dasar pendidikan Indonesia.
Di acara Ngobrol Pintar Seputar Edukasi Pendidikan bertajuk ”Mengidentifikasi Guru Radikal dan Intoleran dengan AN” beberapa waktu lalu, Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu menyayangkan AN dipaksa dilakukan saat sekolah baru melaksanakan PTM. Para guru dan siswa seharusnya butuh dukungan untuk memprioritaskan fokus memulihkan kondisi pembelajaran dan interaksi yang berkualitas.
Henny juga mempertanyakan survei lingkungan belajar untuk guru dan kepala sekolah, khususnya tentang keberagaman. Jika isi survei seperti yang sudah beredar yang mempertanyakan sikap para guru dan kepala sekolah, bisa jadi memudahkan reka sepakat agar aman.
”Yang penting dalam kebinekaan adalah kesadaran dan pembuktian dalam keseharian. Apa bisa ini ditangkap dengan soal-soal dalam AN,” ujar Henny.
Praktisi pendidikan Aulia Wijiasih mengatakan, berkutat terus pada survei lingkungan belajar, yang selama ini juga sudah dilakukan lewat survei penjaminan mutu pendidikan (PMP), belum menjamin terjadi perubahan.
”Saya pernah menjadi auditor dan evaluator PMP dan melihat rapor mutu sekolah. Saya melihat standar nasional untuk sarana dan proses di sekolah hancur, tapi kualitas kelulusan bintang tujuh alias pada baik-baik. Yang dibutuhkan sekarang komitmen semua pihak sekolah, dinas, pemda, dan pemerintah untuk benar-benar jujur pada mutu dan bergerak bersama memperbaikinya secara berkelanjutn,” ujar Aulia.
AN beda dengan UN
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim yang melakukan kunjungan kerja memantau persiapan PTM dan AN di Solo, Senin (13/9/2021), mengatakan, saat ini, pelaksanaan AN memasuki tahap geladi bersih untuk memastikan seluruh faktor yang mungkin menghambat pelaksanaan telah diatasi. Setelah semua simulasi dan geladi selesai, pelaksanaan AN untuk satuan pendidikan akan dimulai pada minggu ke-4 September 2021 dengan sasaran pertama adalah SMK dan Paket C, kemudian disusul oleh SMA, SMP, dan SD/sederajat.
”AN sangat berbeda dengan UN sehingga tidak perlu persiapan khusus dan tidak perlu khawatir. AN juga dilaksanakan mengikuti peraturan yang berlaku dan protokol kesehatan yang ketat,” kata Nadiem.
Nadiem menegaskan, AN tidak menimbulkan konsekuensi apa pun bagi individu siswa, guru, maupun kepala sekolah. ”Sudah disampaikan berkali-kali bahwa AN tidak menimbulkan konsekuensi terhadap inidividu siwa, guru, maupun kepala sekolah. Tidak ada konsekuensi juga ke anggaran untuk sekolah, maupun ke lulusan. Bahkan, data tidak akan dipresentasi sebagai individu, tetapi agregasi sekolah,” jelas Nadiem.
AN bertujuan untuk mendorong perubahan positif dalam cara guru mengajar, cara kepala sekolah memimpin pembelajaran di sekolahnya, dalam pengawasan sekolah, dan cara pemerintah daerah mengevaluasi diri dalam penganggaran agar lebih berorientasi pada kualitas pembelajaran. ”Jadi, tujuan AN itu sebenarnya memantik perubahan. AN merupakan evaluasi terhadap sistem pendidikan,” ujar Nadiem.
Di acara rapat dengar pendapat bersama Komissi X DPR beberapa waktu lalu, Nadiem juga menegaskan, jika ada sekolah yang minta melakukan bimbingan, ditambah berbayar, tidak ada gunanya sama sekali. Jika hendak meningkatkan AKM, daya literasi ditingkatkan dengan membaca buku sebanyak mungkin. Numerasi terkait logika ditingkatkan dengan pembelajaran yang mendorong siswa berpikir kritis dan butuh metode pembelajaran yang baik.
Nadiem mengatakan, AN tidak memiliki konsekuensi terhadap siswa dan sekolah. AN lebih merupakan pemetaan mutu pendidikan untuk mengetahui sejauh mana ketertinggalan dan mana daerah serta sekolah yang paling membutuhkan bantuan.
”Kita tidak ada data sama sekali untuk menguantifikasi dampak learning loss. Justru dengan ada pandemi Covid-19, jauh lebih penting lagi data ini untuk intervensi yang tepat kepada sekolah dan daerah yang paling membutuhkan,” kata Nadiem.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengibaratkan AN ini sebagai cek kesehatan menyeluruh secara gratis untuk sekolah-sekolah, untuk pemda. ”Supaya kita tahu apa yang perlu dirawat dan diobati,” ujar Anindito.
Pada hari pertama AN, para peserta akan mengerjakan soal latihan selama 10 menit, soal literasi selama 90 menit dan survei karakter selama 30 menit. Selanjutnya, pada hari kedua para peserta mengerjakan soal numerasi selama 90 menit dilanjutkan dengan survei lingkungan belajar selama 30 menit.
Anindito mengatakan, jika AN ditingkatkan artificial akan merugikan semua pihak. ”TIdak ada jalan pintas meningkatkan hasil AN. Sebab, harus dilakukan perbaikan cara mengajar dan kepemimpinan sekolah,” kata Anindito.