Angkat Hasil Penelitian Arkeologi Menjadi Bacaan Populer
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menerbitkan sejumlah buku hasil penelitian para tim peneliti. Buku itu dinilai menjembatani arkeologi dengan masyarakat awam.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan ilmu pengetahuan membuat arkeologi tidak lagi berorientasi ke masa lalu saja, tetapi juga isu masa kini. Karena itu, temuan penelitian arkeologi perlu menjadi bacaan populer untuk publik.
Hal itu mengemuka pada penerbitan buku hasil Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) secara daring, Selasa (21/12/2021). Ada tiga buku yang didiskusikan pada kegiatan ini, yaitu Cerita dari Flores, Liang Bua dari Manusia Purba Hingga Manusia Modern; Grogol: Kampung Majapahit yang Sirna; serta Meretas Kearifan Lokal di dalam Kancah Modernisasi.
Kepala Puslit Arkenas I Made Geria melalui perwakilannya mengatakan, ketiga buku tersebut mengungkapkan peradaban manusia zaman dulu. Nilai peradaban masa lalu bisa dijadikan acuan untuk merunut sejarah manusia dan peradaban di Nusantara.
”Ini juga dapat menjadi refleksi atau acuan perencanaan pembangunan kebangsaan ke depan,” katanya.
Dalam tanggapannya mengenai buku Meretas Kearifan Lokal di dalam Kancah Modernisasi, dosen Fakultas Interdisiplin Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Mirza Ansyori, menilai, kearifan lokal merupakan nilai yang menjadi aktivitas manusia, kemudian menjadi artefak. Artefak itu nantinya diteliti arkeolog.
”Arkeologi tidak hanya mempelajari masa lalu, tetapi juga nilai atau informasi yang masih relevan dan dapat diimplementasikan saat ini. Penelitian soal kearifan lokal dapat membahas bagaimana menjawab masalah lingkungan, mitigasi bencana, hingga pembangunan berkelanjutan dari peninggalan arkeologis,” kata Mirza.
Kearifan lokal dinilai tepat sebagai referensi mencari solusi isu masa kini. Ini karena kearifan lokal berisi akumulasi pengetahuan masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kendati belum semua kearifan lokal dapat dijelaskan secara ilmiah, kearifan lokal melekat dalam laku hidup masyarakat.
Kearifan lokal juga mengajarkan cara manusia hidup selaras dengan alam. Ini mendorong manusia memanfaatkan secukupnya, tidak dieksploitasi berlebihan.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Semiarto Aji Purwanto, berpendapat, kearifan lokal mesti dipertahankan. Namun, cara mempertahankannya kini masih menjadi perdebatan antara cukup dikonservasi, didokumentasikan, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
”Jika dipraktikkan di komunitas pada keseharian, niscaya akan terjadi perubahan (kearifan lokal) dari waktu ke waktu,” kata Semiarto.
Sementara itu, Managing Director National Geographic Indonesia Mahandis Yoanata Thamrin dalam ulasan buku Cerita dari Flores, Liang Bua dari Manusia Purba hingga Manusia Modern mengatakan, buku hasil penelitian Puslit Arkenas merupakan media belajar arkeologi. Pembahasan yang ringan dan ringkas memudahkan masyarakat awam memahami proses penelitian dan hasilnya. ”Ini mampu menjembatani sains dengan publik,” ucapnya.
Menurut sejarawan sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso, penelitian arkeologi berkaitan dengan ilmu sejarah. Keduanya saling melengkapi dan memperkaya, seperti yang ada di buku Grogol: Kampung Majapahit yang Sirna.
Penelitian tentang situs Grogol di Trowulan, Jawa Timur, dinilai mengungkap lapisan pengetahuan baru soal kerajaan Majapahit. Penelitian tim Puslit Arkenas tersebut antara lain menyibak kondisi lingkungan alam Grogol, kehidupan dan peralatan hidup masyarakat di masa lalu, hingga pola permukiman masyarakat.
”Sebagai hasil penelitian dari 2017 hingga 2019, buku ini berhasil mengungkap temuan penting tentang permukiman, gaya hidup, serta interaksi manusia dengan lingkungan dalam periode 500 tahun. Ada pula penjabaran arti penting Grogol sebagai permukiman yang dekat pusat pemerintahan Majapahit,” katanya.